Penggalan kisah perempuan tangguh asal Gaza (Bag. 2)

BY Rara Atto Edited Thu,09 Mar 2017,03:53 PM

Penggalan kisah perempuan tangguh asal Gaza (Bag. 2)

Madleen Kullab, menjadi tulang punggung keluarga dengan melaut

"Setiap hari anda pergi, namun anda tidak yakin akan kembali, “di pelabuhan Gaza, Madleen Kullab berucap sembari menatap jauh ke arah laut. Ini situasi yang sangat sulit. Ketika pelayaran kami mencapai lima mil, kami mulai ditembaki. Begitu banyak resiko, tapi saya harus tetap melakukan ini.”

Jalur Gaza – SPNA –Sudah hampir satu dekade, sejak Kullab berusia 22 tahun dan harus mengambil alih peran ayahnya sebagai nelayan dan menjadi tulang punggung keluarganya. Sejak ayahnya didiagnosa menderita menyakit myeleti, sebuah kelainan pada tulang belakang, yang mengakibatkannya cacat.

Setiap pagi, Kullab dan dua adik lelakinya berangkat melaut, yaitu 3:00 – 5:00 pagi. Sore harinya, saat matahari mulai terbenam, jala  mulai mereka lemparkan. Ikan sarden adalah sasaran tangkapnya.

“Anda akan menangkap apapun yang memungkinkan untuk ditangkap,” kata Kullab kepada Al-Jazeera.

Pekerjaan ini sangat bergantung pada keberuntungan, karena Israel telah membatasi ruang gerak nelayan Gaza hanya sampai enam mil laut, atau kurang dari sepertiga dari area yang dialokasikan dalam perjanjian Oslo. Sangat sedikit ikan pada aera ini, jumlah tangkapan sangat kurang, bahkan kadang Kullab harus pulang tanpa membawa hasil apapun. Untuk memperoleh kualitas tangkapan yang lebih baik, mereka perlu berlayar setidaknya hingga jarak 10 mil laut.

Saat ia menulusuri dermaga, para nelayan sedang memilah sarden kecil hasil tangkapan untuk dimasukkan ke dalam peti. Pelabuhan itu dipenuhi dengan perahu yang sedang beristirahat di bawah langit yang mendung.

Situasi perekonomian Gaza yang memburuk, telah berdampak langsung pada industri perikanan. Jumlah nelayan menurun dari 10.000 orang di tahun 2000 menjadi 4.000 orang pada tahun lalu. Ada saat dimana para nelayan terkadang harus hidup dadri pinjaman, demikian pula Kullab, yang tidak melaut  saat musim dingin seperti sekarang. Cuaca di laut sangat buruk, gelombang terlalu tinggu untuk kapal kayu sederhana seperti miliknya. Bahkan jika menangkap ikan, hasil tangkapannya hanya mencapai harga 10 Shekel.

“Pekerjaan ini sangat beresiko,” ungkapnya. Namun Kullab harus mencari jalan keluar agar tetap bisa kuliah dan berharap suatu saat nanti bisa menajdi sekretaris.

“Saya ditembak setiap kali melaut...pekerjaan apapun akan selalu lebih baik daripada melaut, bahkan meski pekerjaan itu menghasilkan hanya 10 Shekel,” ungkap Kullab.

Ia pun kembali terkenang saat menyaksikan seorang nelayan, Mohammad Mansour Baker (17 tahun) yang ditembak dan terbunuh saat sedang melaut bersama saudaranya.

“Ada lebih 10 kapal. Kami masih berada pada jarak tiga mil laut saat kapal-kapal Israel mulai menembak kami tanpa alasan,” kisahnya. “Mohammad tertembak di salah satu sisi perutnya, peluru datang dari arah belakangnya, ia pun meninggal seketika.”

SPNA Gaza City

Penulis : Mersiha Gadzo.     Penerjemah: Ratna

 

leave a reply