Penggalan kisah perempuan tangguh asal Gaza (Bag. 3)

BY Rara Atto Edited Thu,09 Mar 2017,04:06 PM

Penggalan kisah perempuan tangguh asal Gaza (Bag. 3)

Ayesha Ibrahim, sang pandai besi

Jalur Gaza – SPNA – Di bawah tenda darurat di sebuah jalan berpasir yang berjarak tiga kilometer dari pelabuhan Gaza. Adalah Ayesha Ibrahim (37) bersama putrinya yang berusia 15 tahun, secara bergantian memukuli besi panas dengan palu. Putrinya yang lain memompakan oksigen ke dalam api.

Seperti inilah Ayesha, satu-satunya pandai besi wanita asal Gaza, demi menafkahi ketujuh orang anaknya. Selama 20 tahun, ia dan suaminya mengumpulkan potongan-potongan besi dari jalanan, reruntuhan bangunan, kemudian membentuknya menjadi kapak, pisau, tungku masak, jangkar dan barang-barang lainnya, yang kemudian mereka jual ke pasar.

Perlu waktu tiga hari untuk membuat satu barang. Menempa besi dengan palu memrlukan waktu dan kesabaran. Satu barang biasanya dijual enam Shekel di pasaran, dan mereka mendapatkan bayaran 10 hingga 20 Shekel per hari.

Kilatan cahaya beterbangan saat Ayesha menempa besi-besi tersebut. Tangannya bengkak dan punggungnya terasa sakit. Ini pekerjaan yang sangat keras, apalagi untuk perempuan yang sedang hamil delapan bulan seperti dirinya.

“Hal yang tersulit adalah saat kami tidak memiliki tempat untuk bekerja. Semua orang yang lewat akan melihat,” ungkap Ayesha.

Saat ini suami Ayesha harus mengkonsumsi obat syaraf akibat potongan besi seberat 150 kg menjatuhi tangannya pada suatu malam.

“Itu menjadi malam yang mengerikan. Kami tidak mampu memanggil ambulans. Syukurlah, seorang pria di seberang jalan bersedia menolong dan memaba suami saya dengan mobilnya,” kenang Ayesha. “Di rumah sakit, petugas medis menyuruhnya untuk tinggal. Mereka khawatir jika terjadi infeksi pada lukanya, tapi kami tidak memiliki uang untuk membayar biaya menginap di rumah sakit. Akhirnya, suamiku memilih pulang.” Tambah Aesyah.

Adalah sebuah perjuangan agar tetap bisa meletakkan makanan di atas meja setiap hari. Meskipun lebih dari separuh penduduk Gaza bergantung pada bantuan PBB, kelaurga Aesyahtidaklah memenuhi syarat, karena mereka tidak mampu menunjukkan bahwa merek adalah pengungsi.

Aesyah, yang ayahnya juga seorang pandai besi, menghabiskan masa kecilnya dengan berjualan perabotan di pasar. Ia menikah saat berusia 15 tahun. Saat ini keluarganya hidup menumpang, dan sang pemilik tanah membolehkan mereka untuk tinggal gratis di temapt tersebut. Untuk bisa memiliki rumah sendiri, masih menjadi impian sangat jauh bagi keluarga Aesyah.

Kondisi kehidupan kami sangat sulit, tapi saya tidak punya pilihan kecuali tetap bekerja demi anak-anak saya,” ungkap Aesyah. “ Saya tidak ingin anak-anak menjadi seperti saya dan bekerja sebagaimana saat saya masih muda. Sya ingin masa depan mereka lebih baik.”

 

SPNA Gaza City

Penulis : Mersiha Gadzo.     Penerjemah: Ratna

 

leave a reply