Ekonomi semakin sulit,  Restoran Mesir di Jalur Gaza terancam tutup

Jalur Gaza -SPNA- “Saat ini Anda berada di Mesir,” demikian bunyi tulisan pendek yang tergantung di depan pintu  salah satu restoran di Jalur Gaza. Ungkapan ini mengisyaratkan betapa sulitnya warga Jalur Gaza melakukan perjalan sampai ke Mesir, kecuali bagi mereka yang benar-benar beruntung berhasil lolos melalui  pintu perlintasan “Rafah” antara Jalur Gaza dan Palestina.

BY Ihsan ZainuddinEdited Sat,27 May 2017,09:50 AM

SPNA - Gaza City

 Ekonomi semakin sulit,  Restoran Mesir di Jalur Gaza terancam tutup

Laporan wartawan SPNA, Abdelhamid Akkila

Jalur Gaza -SPNA- “Saat ini Anda berada di Mesir,” demikian bunyi tulisan pendek yang tergantung di depan pintu  salah satu restoran di Jalur Gaza. Ungkapan ini mengisyaratkan betapa sulitnya warga Jalur Gaza melakukan perjalan sampai ke Mesir, kecuali bagi mereka yang benar-benar beruntung berhasil lolos melalui  pintu perlintasan “Rafah” antara Jalur Gaza dan Palestina.

Jalur Gaza benar-benar terisolir dari dunia luar sejak Israel mulai memberlakukan  blokade pada tahun 2006, tepatnya sejak faksi perlawanan dari kubu Palestina berhasil menyandera prajurit Israel, Gilad Syalit.

Sejak itu, situasi di Jalur Gaza makin terpuruk khususnya dari aspek ekonomi.  Seluruh pintu perbatasan dari berbagai arah ditutup, bahkan persoalan perbatasan makin rumit dari tahun ke tahun. Pintu-pintu perbatasan ini nyaris tidak akan dibuka kecuali melalui perantara atau intervensi dari negara-negara Arab atau dunia internasional.

Meski kondisi sulit seperti itu, namun masih ada celah kehidupan bagi penduduk Jalur Gaza untuk tetap bertahan di tengah puing-puing bangunan yang hancur akibat invasi udara Israel tatkala terjadi perang secara beruntun beberapa tahun lalu.

Hikayat restoran khas Mesir

Sebuah restoran di Jalur Gaza mampu menciptakan suasana dan budaya ala Mesir. Tatkala Anda mencoba mencicipi  hidangan yang disajikan, maka Anda akan merasakan seolah-olah Anda sedang berada di Mesir.

Adalah hal biasa jika warga Mesir berada dan berdomisili di Jalur Gaza, namun menjadi hal  aneh jika salah seorang warga Mesir membuka restoran dengan segala keterbatasan yang dimilikinya.

 

Ide pendirian restoran

Usamah Hasan (55) salah seorang warga Mesir dari provinsi Syarqiyah adalah sosok yang sangat piawai berbahasa Inggris, Perancis, Italia, disamping tetap menggunakan bahasa ibu yaitu, bahasa Arab.

Awalnya Hasan bekerja sebagai guru mata pelajaran bahasa Perancis di Mesir. Selain itu, ia juga bekerja sebagai penerjemah pada sejumlah perusahaan pariwisata di Mesir. Kemudian Hasan memutuskan untuk hijrah ke Italia dan mencoba memulai kehidupan di sana.

Di Italia, Hasan berhasil membuka sejumlah restoran pizza bahkan dia berhasil memiliki  empat restoran italia, disamping juga membukan restoran Mesir dengan menu khas Mesir bernama “Kusyari. ” Namun karena kehidupan yang dinilai terlalu bebas, dan tidak sesuai dengan budaya dan agama ketimuran, maka ia mulai merasa tidak nyaman berada di Italia.

 

Kusyari di Jalur Gaza

Hasan ditakdirkan untuk mempersunting wanita Palestina sejak 27 tahun lalu. Sekitar empat tahun lalu, sang istri memintanya untuk  berkunjung ke Jalur Gaza. Hasan lalu terpikir untuk membuka restoran Mesir dengan menu “Kusyari” di Jalur Gaza, sebab untuk membuka restoran pizza tidaklah semudah yang dibayangkan akibat keterbatasan bahan baku.

Awalnya, masyarakat Palestina di Jalur Gaza sama sekali tidak mengenal “Kusyari,” kecuali melalui tayangan televisi. Namun perlahan setelah restoran ini dibuka, rakyat Palestina mulai menggemari makanan khas Mesir ini.

Restoran itu akhirnya diberi nama dengan sebutan “Nil.” Nama ini dipilih sebagai istilah yang cukup akrab di telinga masyarakat Palestina.  Nil  adalah nama sungai yang sangat terkenal, dan  merupakan salah satu objek wisata di Mesir.

 

Permulaan dan tantangan:

Di awal restoran ini dibuka, respon dan samnbutan masyarakat cukup besar. Namun makin lama karena kondisi ekonomi di Jalur Gaza makin terpuruk, maka jumlah pengunjung pun semakin hari semakin berkurang. Di awal perjalanan restoran ini, Hasan biasanya berhasil menjual 100 sampai 250 orderan (porsi) dengan harga satu porsi  sekitar 4 dollar. Namun kini, yang terjual hanya berkisar 10 sampai 20 porsi setiap hari.

Hambatan teknis yang paling besar yang dialami oleh Hasan adalah pemutusan aliran listrik setiap hari,  dan pasokan gas yang sangat kurang. Kini Hasan berpikir untuk  keluar dari Jalur Gaza, dan kembali ke Italia akibat krisis yang tak kunjung berakhir.

Saat ditanya, apakah dirinya akan menerima pesanan di bulan Ramadan, ia menjawab, jika orderan  banyak, niscaya ia akan sanggupi. Demikian kisah Hasan yang menunjukkan keputusasaan untuk melanjutkan usaha di Jalur Gaza.

 

Komentar salah seorang pelanggan

Dr. Ewadh Esyan, salah seorang pelanggan restoran bercerita, “Setiap kali saya datang ke restoran ini, saya selalu teringat akan kehidupan di Mesir yang  pernah saya  jalani.  Anak-anak saya semua suka dengan makanan khas Mesir ini. Meski Jalur Gaza hidup dalam kondisi terisolir, namun kami bahagia bisa menemukan restoran yang menjual makanan khas Mesir ini.”

Rakyat Palestina khususnya yang berada di Jalur Gaza masih menghadapi situasi sulit akibat krisis berkepanjangan, namun mereka berharap situasi ini bisa kembali pulih. Dan kelak  mereka bisa menjalani kehidupan yang lebih baik lagi, meski hanya untuk menghidupkan sektor usaha-usaha kecil. 

 

Laporan wartawan SPNA Gaza City: Abdelhamid Akkila

Penerjemah: Ihsan

 

leave a reply