Wartawan Palestina jadi target utama Undang-Undang “Cybercrime”

Kebebasan berekspresi warga Palestina di media online akan dikriminalisasi jika hal tersebut dianggap berbahaya bagi “keharmonisan sosial”, “keamanan negara”, dan “ketertiban umum”.

BY Rara Atto Edited Fri,18 Aug 2017,12:28 PM
Wartawan Palestina jadi target utama Undang-Undang “Cybercrime”.jpg

Global Voices - Ramallah

Ramallah, SPNA - Hanya bebrapa minggu pasca diadopsinya undang-undang cybercrime yang dianggap penuh kontroversi, Otoritas Palestina (PA) telah menargetkan lima wartawan dengan tudingan bahwa mereka “telah membocorkan informasi kepada pihak yang tidak sejalan dengan pemerintah.”

Pemerintah tidak menjelaskan pihak yang dimaksud tersebut. Namun, empat diantara wartawan tersebut bekerja pada media yang diketahui berafiliasi dengan Hamas, lawan politik dari partai yang berkuasa di Tepi Barat, Fatah.

Pada 8 Agustus lalu, Badan Intelijen Palestina menangkap kelima wartawan tersebut di kota yang berbeda di Tepi Barat. Pasukan kemanan menggrebek rumah dan temapat kerja mereka, kemudian menyita ponsel dan laptop mereka.

Mereka adalah Mamdouh Hamamrah dari Bethlehem dan Ahmed Halayqah dari Hebron, keduanya adalah wartawan dari Al-Quds TV channel; Tariq Abu Zaid dari Nablus, reporter al-Aqsa TV channel; Amer Abu Arafah dari Hebron, reporter Shehab News Agency; dan Qutaibah Qasem dari Bethlehem, seorang wartawan freelance dan bloger media Al Jazeera.

Penangkapan mereka terjadi setelah beberapa minggu President Mahmoud Abbas menandatangani undang-undang cybercrime yang menghalangi kebebasan warga Palestina.

Kebebasan berekspresi warga Palestina di media online akan dikriminalisasi jika hal tersebut dianggap berbahaya bagi “keharmonisan sosial”, “keamanan negara”, dan “ketertiban umum”. Sementara itu, kantor Kejaksaan Agung awalnya menolak mengaitkan antara undang-undang dengan penangkapan tersebut. Namun hal ini sulit diterima, sebab pasal 20 undang-undang telah dijadikan pembenaran atas penangkapan para wartawan tersebut.

Pasal 20 menetapkan bahwa barang siapa yang menggunakan teknologi informasi untuk menerbitkan berita yang “berbahaya bagi keselamatan negara, ketertiban umum atau keamanan internal dan eksternal negara” akan dipenjara setidaknya satu tahun atau membayar denda minimal $1.400.

Pengadilan Rekonsiliasi mengeluarkan perintah untuk menahan para wartawan selama beberapa hari. Namun, Selasa (15/08/2017), mereka kemudian dilepaskan tanpa surat dakwaan. Kerabat para wartawan meyakini bahwa penangkapan tersebut adalah balas demdam bermotif politik atas penangkapan Fouad Jaradeh, seorang repoter televisi resmi Otoritas Palestina (PA) oleh Hamas pada tanggal 8 Juni lalu.

Penangkapan para wartawan tersebut menyebabkan lahirnya kampanye di media sosial dengan hastag #Di mana para wartawan dan #Jurnalisme bukan kriminal. Kampanye tersebut menuntut dilepaskannya para wartawan dan menuding PA memanfaatkan UU cybercrime untuk menekan kebebasan media.

(T.RA/S: Global Voices)

 

 

 

leave a reply
Posting terakhir
3.jpg

Pemuda Palestina di Al-Quds jadi target Israel

Menurut pengacara pembela, penangkapan tersebut dilakukan selama tiga bulan, dan para tahanan diinterogasi atas tuduhan terkait dengan kehadiran, aktivitas dan ketertarikan mereka terhadap berita yang berkaitan dengan Masjid Al-Aqsa.