Sebanyak 3,455 bangunan Israel didirikan di atas tanah warga Palestina

Bethlehem, SPNA - Sebuah diluncurkan pada hari Rabu (23/08/2017). Yang menyatakan bahwa hampir 3.500 bangunan Israel di Tepi Barat didirikan .....

BY 4adminEdited Thu,24 Aug 2017,12:42 PM

Bethlehem, SPNA - Sebuah diluncurkan pada hari Rabu (23/08/2017). Yang menyatakan bahwa hampir 3.500 bangunan Israel di Tepi Barat didirikan di atas tanah milik warga Palestina, dan berisiko dilegalkan secara retroaktif karena undang-undang Regulasiisasi Israel sudah disahkan pada awal tahun ini.

Harian Israel Haaretz melansir data yang dikeluarkan oleh administrasi sipil Israel yang mengungkapkan bahwa 3.455 rumah dan bangunan Israel dibangun di atas tanah warga Palestina di Tepi Barat. Bangunan tersebut dianggap ilegal berdasarkan hukum internasional.

Laporan tersebut merinci bahwa bangunan-bangunan itu didirikan di atas lahan pribadi yang dapat digolongkan dalam tiga kategori:

Pertama mencakup 1.285 banguanan yang didirikan di "lahan pribadi yang jelas" yang tidak pernah dinyatakan sebagai tanah “negara” Israel. Dari jumlah tersebut, 543 telah dibangun di atas tanah yang pemiliknya, warga Palestina, diketahui dan telah mendaftarkan tanah tersebut - disebut sebagai "tanah pribadi reguler" oleh pemerintah sipil.

Bangunan lainnya, berdasarkan foto udara, berdiri di atas tanah yang dibudidayakan oleh orang-orang Palestina selama bertahun-tahun. Menurut undang-undang era Utsmani yang masih berlaku di Tepi Barat, tanah-tanah ini akan dimiliki oleh orang-orang Palestina yang membudidayakannya.

Kedua, mencakup 1.048 bangunan Israel yang "dibangun di atas lahan pribadi yang semula secara keliru dijadikan sebagai tanah negara." Ketiga, terdiri dari 1.122 bangunan yang didirikan di Tepi Barat lebih dari 20 tahun lalu "ketika undang-undang perencanaan hampir tidak diberlakukan di Tepi Barat. "

Secara total, Haaretz melaporkan, sekitar 45 persen bangunan yang berada di atas tanah milik warga Palestina didirikan di "tanah pribadi yang diatur" sementara bangunan lainnya berada di lahan yang memiliki pemilik yang belum dikonfirmasi.

Semua bangunan ini berisiko dilegalkan secara retroaktif karena undang-undang Regularization yang kontroversial di Israel.

Undang-undang tersebut menyatakan bahwa setiap permukiman yang dibangun di wilayah Tepi Barat yang diduduki "dengan itikad baik" – yang sebelumnya tidak diketahui bahwa tanah tersebut dimiliki secara pribadi oleh orang-orang Palestina- dapat diakui secara resmi oleh Israel, melalui bukti dukungan pemerintah dalam pendirian dan beberapa kompensasi yang diberikan kepada pemilik tanah.

Pemerintah Israel telah membela undang-undang tersebut di Mahkamah Agung Israel, dengan mengklaim bahwa pengambilalihan tanah milik Palestina akan menguntungkan orang-orang Palestina, sebab mereka akan menerima kompensasi finansial untuk hal tersebut.

Namun, kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa undang-undang tersebut benar-benar melanggar hukum internasional dan tidak konstitusional. Kelompok hak asasi Israel ACRI mengatakan bahwa mengesahkan undang-undang tersebut adalah "tindakan yang jelas untuk menerapkan kedaulatan" ke permukiman Israel di Tepi Barat, sementara Israel akan terus memerintah orang-orang Palestina dengan hukum militer Israel. ACRI menyebut undang-undang tersebut sebagai "tindakan aneksasi ilegal".

Selain itu, undang-undang tersebut menunjukkan adanya diskriminatif dalam penerapannya. Warga Israel di Tepi Barat akan memperoleh hak-hak mereka atas tanah itu, yang secara nyata telah melanggar hukum internasional. Sementara, penolakan terjadi pada warga Palestina di Tepi Barat, yang justru berhak atas tanah mereka. Hal ini akan semakin meningkatan perebutan lahan di Tepi Barat.

Pada bulan November tahun lalu, LSM Israel Peace Now telah memperingatkan bahwa sekitar 4.000 bangunan Israel dapat diberlakukan secara retroaktif karena undang-undang tersebut.

Sejak pendudukan Tepi Barat, termasuk Al-Quds, pada tahun 1967, sekitar 600.000 orang Israel telah pindah ke permukiman Yahudi di wilayah Palestina, meskipun masyarakat internasional secara rutin mengutuk kegiatan pemukim sebagai penghalang utama bagi perdamaian di wilayah tersebut dan sebuah pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa Keempat.

Sementara itu, pihak berwenang Israel juga telah melakukan langkah berani dalam beberapa bulan terakhir untuk mengkonsolidasikan kontrol atas wilayah Al-Quds, yang secara resmi dianeksasi oleh Israel pada tahun 1980.

Sebuah RUU yang ditujukan untuk mencegah kemungkinan pembagian Al-Quds di kemudian hari, maka melalui Hukum Dasar Israel di Al-Quds meminta persetujuan 80 dari 120 anggota Knesset untuk membuat perubahan pada undang-undang tersebut.

Para menteri sayap kanan Israel telah menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertujuan untuk mencegah pembentukan sebuah negara Palestina di masa depan.

Selama sesi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada hari Selasa, Asisten Sekretaris Jenderal untuk Urusan Politik, Miroslav Jenea, mengatakan bahwa RUU tersebut "dapat memperkuat kontrol Israel atas Al-Quds dan membatasi kedua belah pihak untuk mencapai solusi yang dinegosiasikan sesuai dengan resolusi PBB dan kesepakatan sebelumnya."

Dia juga memperingatkan bahwa langkah tersebut bisa "memicu kekerasan" di wilayah tersebut.

Sementara saat masyarakat internasional telah menghentikan penyelesaian konflik Israel-Palestina melalui penghentian permukiman ilegal Israel dan pembentukan solusi dua negara, para pemimpin Israel malah bergeser, dengan lebih dari 50 persen Menteri di pemerintahan Israel saat ini secara terbuka menyatakan penentangan mereka terhadap sebuah negara Palestina. (T.RA/S: Ma’an News)

leave a reply
Posting terakhir