London gelar pameran “Sejarah Bordir Palestina”

London, SPNA - Ratusan orang, Selasa (11/12/2018), berkumpul untuk menghadiri peluncuran London Palestinian History Tapestry Project (PHT), sebuah pameran yang ....

BY 4adminEdited Wed,12 Dec 2018,10:01 AM

London, SPNA - Ratusan orang, Selasa (11/12/2018), berkumpul untuk menghadiri peluncuran London Palestinian History Tapestry Project (PHT), sebuah pameran yang mengangkat sejarah Palestina yang dituturkan langsung oleh orang Palestina.

Pameran yang digelar di P21 Gallery London itu menampilkan 80 helai permadani yang disulam oleh 36 wanita Palestina yang tinggal di Timur Tengah. Permadani-permadani ini masing-masing menggambarkan periode sejarah Palestina yang berbeda. Dari tembok Jericho – yang dianggap sebagai kota yang paling awal berdinding - hingga pendirian gerakan Boikot, Divestasi dan Sanksi (BDS) serta perang 2014 di Gaza. Permadani-permadani itu dipenuhi dengan jahitan yang rumit dan warna-warna cerah.

Acara ini dibuka oleh Shelagh Weir, mantan kurator Timur Tengah di British Museum, yang menggambarkan bagaimana bordir Palestina telah menjadi bagian integral dari budaya Palestina selama berabad-abad.

Dia menjelaskan, “Sebelum Nakba tahun 1948, ada ribuan desa di Palestina. Setiap desa memiliki motif bordir sendiri untuk membedakannya dari yang lain...Sulaman-sulaman yang kaya (akan motif) berasal dari daerah Hebron. Gaun-gaun di sana ditutupi dengan pola jahitan (sulaman) yang rumit.”

“Tentu saja semuanya berubah pada 1948”, lanjutnya, mengacu pada pemindahan paksa terhadap sekitar 750.000 orang Palestina oleh milisi Yahudi.

Dia menggambarkan, “Tiba-tiba orang-orang Palestina tidak bisa mengimpor sutra Suriah dan kain taf seperti yang mereka lakukan sebelumnya. Mereka yang mendekam di kamp-kamp pengungsi tidak mampu membeli bahan-bahan mahal semacam itu. Akhirnya, mereka beralih menggunakan katun DMC - alternatif bahan sintetis dan jauh lebih murah.”

Ini mungkin tederhana. Namun berkat kepandaian mereka, wanita Palestina mampu menjaga kerajinan tradisional mereka tetap hidup. “Setiap katun DMC memiliki sejumlah warna sehingga wanita Palestina terus mengekspresikan identitas desa mereka,” tambahnya.

Kisah para wanita Palestina dalam menghadapi tantangan tersebut telah mencirikan sejarah Palestina. Karl Sabbagh, seorang penulis dan penasihat Inggris-Palestina untuk PHT, memusatkan pidatonya mengenai sejarah Palestina dan berbagai perubahan yang terjadi pada abad ke-20 pada negara tersebut.

Secara ia khusus memfokuskan pada Resolusi PBB 194, yang memutuskan bahwa “para pengungsi yang ingin kembali ke rumah mereka dan hidup berdamai dengan tetangga mereka harus diizinkan untuk melakukannya pada perjanjian awal, dan kompensasi harus dibayarkan atas properti orang-orang yang memilih untuk tidak kembali.”

Sabbagh merefleksikan kontradiksi antara “Hukum Pengembalian Israel” - yang menyatakan bahwa setiap orang Yahudi memiliki hak untuk berimigrasi ke Israel jika mereka ingin melakukannya - dan penolakannya untuk mematuhi resolusi PBB. Sebuah kontradiksi yang dia yakini harus diatasi dengan pemberian hak kewarganegaraan dan imigrasi yang setara bagi semua orang, jika ingin ada solusi terhadap konflik yang berkepanjangan di kawasan itu.

Hal yang menarik dalam pameran tersebut adalah sejarah Palestina dituturkan langsung oleh warga Palestina. Jurnalis Gaza, Jehan Alfarra, menceritakan pengalamannya sebagai seorang wanita Palestina dan keterlibatannya dalam proyek  ini. Dia mengatakan. "Salah satu hal yang mendorong saya untuk mengerjakan proyek  ini adalah di mana saya bisa bertemu dengan wanita Palestina lainnya, entah dari Naqab atau Tepi Barat, yang tidak akan pernah saya temui jika kami semua tinggal di Palestina."

“Kami semua memiliki pengalaman yang berbeda sebagai orang Palestina,” tambahnya. “Di Gaza kami tidak melihat pendudukan seperti mereka yang tinggal di Tepi Barat, di mana mereka mengalami pos pemeriksaan setiap hari. Namun, mereka sama sekali tidak tahu bagaimana rasanya hidup di bawah pengepungan seperti di Gaza.”

“Cukup sering -meskipun kami semua orang Palestina- kami tidak bisa berhubungan dengan orang lain. Bekerja dengan para wanita di proyek permadani ini telah memungkinkan saya untuk belajar lebih banyak tentang orang-orang saya sendiri dan rasa identitas kami sendiri,” jelasnya.

“Di mana pun Anda menemukan orang-orang Palestina, mereka akan memiliki kebanggaan pada sulaman mereka. Itu adalah sesuatu yang menyatukan kami semua,” Alfarra menyimpulkan, dengan sempurna merangkum suasana di tempat itu.

Dipajang di P21 Gallery, London hingga 22 Desember, “Sejarah Bordir Palestina“ merupakan penghormatan yang indah atas sejarah yang telah berusia berabad-abad namun sering terlewatkan.

(T.RA/S: MEMO)

leave a reply
Posting terakhir

Mengapa Israel Rampas Sejarah Islam dan Palsukan Sejarah Palestina?

Pendudukan Israel berusaha memberikan karakteristik Yahudi terhadap berbagai lini kehidupan publik, sejarah, dan warisan Palestina, setelah studi ilmiah dan sejarah telah membuktikan ketidakabsahan narasi Yahudi tentang haknya di Palestina. Pendudukan Israel kemudian memalsukan sejarah dan warisan Palestina demi manfaatnya sendiri, melegitimasi pendudukan Israel di tanah Palestina.