Pemerintahan Kelima Netanyahu: Latar Belakang Pembentukan dan Kebijakannya Terhadap Palestina

Netanyahu sangat yakin akan kemampuan Israel untuk menahan setiap reaksi Palestina, mengingat kondisi Arab, regional dan internasional seluruhnya saat ini sibuk berurusan dengan pandemi Corona. Perkiraannya adalah bahwa reaksi negara-negara Arab mungkin tidak berada di luar tingkat pernyataan penghukuman, yang merupakan sesuatu yang sudah sangat biasa bagi Israel.

BY Edited Sun,14 Jun 2020,12:17 PM

Jalur Gaza, SPNA - Seminggu sebelum persidangan kasus korupsinya dimulai, pada 17 Mei 2020, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berhasil membentuk pemerintahan kelimanya yang beraliansi dengan Ketua Koalisi Biru-Putih Benny Gantz. Pemerintah ini dibentuk setelah Israel mengalami krisis politik akut yang berlangsung sekitar satu setengah tahun. Dalam rentang waktu tersebut Israel diperintah oleh pemerintahan transisi, dan pemilihan parlemen diadakan sebanyak tiga kali. Hal ini merupakan akibat dari kegagalan partai Netanyahu dalam mendapatkan mayoritas parlemen yang memungkinkannya untuk membentuk pemerintahan.

Latar Belakang Formasi Pemerintah

Berawal dari polarisasi partisan dan politik, serta penolakan kubu anti-Netanyahu untuk berpartisipasi dalam pemerintahannya lantaran dakwaan korupsi yang dituduhkan kepadanya di satu sisi, dan perselisihan pribadi antara dia dan Avigdor Lieberman di sisi lain; Knesset sampai dibubarkan dua kali. Pemilihan umum parlemen juga sampai diulangi dua kali, dikarenakan tidak adanya partai politik utama yang mampu membentuk pemerintahan baru.

Namun begitu, kali ini Netanyahu berhasil, setelah Ketua Partai Koalisi Biru dan Putih Benny Gantz menarik ikrarnya untuk tidak berpartisipasi dalam pemerintahan yang dipimpin oleh Netanyahu dengan alasan krisis pandemi Corona.

Gantz yang merupakan saingan politik Netanyahu sendiri juga sebelumnya telah gagal dalam membentuk pemerintahan. Bahkan partai minoritas pun enggan bergabung dengan koalisi yang berkuasa, justru memilih bersekutu dengan The Joint List yang merupakan aliansi partai Arab di Israel; dan Lieberman malah mendiamkan hal itu.

Sementara itu dua partai esktrimis yang tergabung dalam koalisi Biru dan Putih pula enggan memberikan kepercayaan kepada pemerintah yang berbaikan dengan partai Arab.

Akibatnya, Netanyahu dan Gantz mencapai kesepakatan membentuk pemerintahan darurat untuk menangani pandemi. Mereka sepakat menggantikan pemerintah sementara yang dipimpin oleh Netanyahu selama setahun lebih, dengan perjanjian bahwa mereka akan menggilir kursi perdana menteri secara adil; Netanyahu memimpin di setahun setengah pertama, dan kemudian dilanjutkan oleh Gantz di setahun setengah berikutnya.

Perjanjian ini merupakan pukulan besar bagi kubu anti-Netanyahu, dan melemahkan kemungkinan munculnya kekuatan yang akan menyaingi pemerintah yang sudah berkuasa sejak 2009 ini.

Selain itu, perjanjian ini juga mengakibatkan bubarnya koalisi Biru-Putih lantaran keluarnya partai Yesh Atid di bawah pimpinan Yair Lapid dan Partai Telem yang dipimpin oleh Moshe Yaalon dari persekutuan tersebut.

Sementara itu Gantz dan anggota yang tersisa dari daftar parlementernya tetap mempertahankan nama Biru dan Putih, di mana dalam pemilihan Knesset terakhir, koalisi Biru dan Putih berhasil memenangkan 14 dari 33 kursi.

Sehubungan dengan itu, Gantz kini bagaikan sandera dalam genggaman Netanyahu. Dia tidak akan berani berbuat macam-macam; takut akan kemungkinan diadakannya pemilihan ulang kalau ia ingkari janjinya. Yang penting baginya sekarang hanyalah menduduki kursi Perdana Menteri begitu satu setengah tahun berlalu.

Komposisi dan Karakteristik Pemerintahan

Menurut perjanjian koalisi antara Partai Koalisi Likud dan Biru-Putih, pemerintahan terdiri dari 36 menteri dan 16 wakil menteri yang dibagi sama rata bagi keduanya; masing-masing mendapat kuota 18 menteri dan 8 wakil menteri. Terhitung ada delapan partai yang akan berpartisipasi dalam pemerintahan ini; lima di antaranya berasal dari koalisi Likud dengan 54 deputi di Knesset, dan tiga sisanya milik koalisi Biru dan Putih dengan 19 deputi.

Adapun Partai Koalisi Likud yang akan bergabung dalam pemerintahan antara lain: Partai Likud (36 anggota di Knesset) dengan 14 kursi di kementerian, Partai Shas (9 deputi) yang diwakili oleh dua menteri, Partai Yudaisme Taurat Bersatu (7 deputi) yang diwakili oleh satu menteri, Partai Rumah Yahudi (1 deputi) dengan satu kursi menteri, dan Partai Gesher (1 deputi) yang diwakili oleh satu menteri. 

Adapun dari Partai Koalisi Biru dan Putih, terdiri dari Partai Biru dan Putih (15 deputi di Knesset) dengan 12 kursi menteri dan dapat menambah dua menteri lagi di periode mendatang, Partai Buruh (3 deputi) dengan diwakili dua menteri, dan Partai Derekh Eretz yang baru-baru ini didirikan oleh Yoaz Hendel dan Zvi Hauser (2 deputi) dengan satu kursi menteri.

Pemerintahan yang akan berjalan sesuai gaya dan tekad Netanyahu untuk tetap berkuasa dengan segala cara ini ditandai dengan beberapa ciri khas, di antaranya:

1. Pemerintah aneksasi dan ekspansi; dengan target sebagian besar wilayah Tepi Barat Palestina.  Pemerintah ini juga telah menerima dukungan secara terang-terangan dari Amerika Serikat mengenai aneksasi permukiman.

2. Pemerintah terbesar sepanjang sejarah pemerintahan Israel; memiliki 36 menteri di samping 16 wakil menteri.

3. Pemerintah ini mengalami peleburan dan pemisahan terbesar dalam sejarah Israel;  sejumlah kementerian baru dibentuk, beberapa departemen dalam kementerian dihapus, dan sebagian kementerian lain dileburkan. Semua ini bukanlah atas pertimbangan profesional, melainkan sebagai "suap" untuk menyenangkan mitra koalisi.

4. Perubahan Hukum Dasar Pemerintah dan Hukum Dasar Knesset – yang keduanya berstatus konstitusi – agar selaras dengan kondisi pembentukan koalisi pemerintah.

5. Pemerintahan pertama dalam sejarah Israel dibentuk oleh seorang perdana menteri dengan status "terdakwa", di mana persidangannya sudah dijadwalkan untuk dimulai seminggu setelah pengumuman pemerintahan koalisi tersebut.

6. Pembentukan pemerintah yang disertai dengan perpecahan partai politik yang besar. Hal ini berpunca dari upaya keras Netanyahu dalam membentuk koalisi yang cukup untuk membentuk pemerintahan yang diharapkannya akan menyelamatkannya dari hukuman peradilan. Akibatnya antara lain bubarnya koalisi Biru dan Putih, mundurnya dua anggota Knesset Yoaz Hendel dan Zvi Hauser dari Partai Telem yang kemudian membentuk Partai Derekh Eretz, mundurnya Ketua Partai Rumah Yahudi Rafi Peretz dari koalisi Yamina, dan bubarnya koalisi Buruh-Gesher-Meretz.

Konsesi Netanyahu dan Keuntungan Gantz

Salah satu tujuan utama Netanyahu mengadakan tiga kali pemilihan umum dalam satu tahun adalah untuk memperoleh mayoritas kursi di Knesset yang akan memungkinkannya untuk membentuk pemerintahan yang hanya diisi oleh partai koalisinya.

Selain dapat memberlakukan undang-undang yang menjamin kekebalannya di mata hukum pengadilan, perolehan mayoritas kursi Knesset juga memungkinkannya untuk mempengaruhi komposisi lembaga yang terkait dengan persidangannya dan membatasinya;  seperti Mahkamah Agung, Jaksa Penuntut Umum, penasihat hukum pemerintah, dan polisi.

Namun kegagalannya untuk mendapatkan mayoritas parlemen yang disyaratkan mengharuskannya untuk menghubungi Gantz sembari membujuknya untuk bergabung dengan pemerintahannya. Di antara proposal paling menonjol yang ditawarkannya kepada Gantz adalah pergiliran kursi perdana menteri secara otomatis tanpa perlu diadakannya pemungutan suara baru di Knesset, serta pembentukan pemerintahan dan kabinet politik-keamanan dengan pembagian yang sama rata antara kedua mereka.

Selain memberikan Partai Biru dan Putih kementerian keamanan, luar negeri, peradilan dan kementerian penting lainnya, Netanyahu juga menawarkan pembagian kursi pimpinan Knesset secara merata di antara partai-partai mereka.

Di masa yang sama, Netanyahu juga menyadari bahwa dengan menerima Gantz untuk berpartisipasi dalam pemerintahan – meskipun hanya berupa penggiliran kursi pemerintahan (yang masih diragukan realisasinya) – akan menghilangkan kemungkinan bersinarnya partai koalisi Gantz, atau bahkan bersinarnya Gantz sendiri sebagai saingan Netanyahu.

Selama dekade terakhir, Netanyahu telah memperoleh pengalaman luas dalam manuver politik. Berkali-kali ia berhasil menggeser orang-orang yang berpotensi menjadi saingannya dengan menawarkan posisi di pemerintahannya, seperti Ketua Partai Kadima Shaul Mofaz, Ketua Partai Buruh Ehud Barak, Tzipi Livni dan Ketua Partai Yesh Atid Yair Lapid. Pada masa yang sama juga ia ingin mencegah munculnya saingan dalam tubuh Likud sendiri, ia kelilingi dirinya dengan anggota yang tidak mengancam kepemimpinannya.

Kriteria utamanya dalam menunjuk dan mengangkat menteri adalah kesetiaan pribadi mereka kepadanya, kesediaan mereka untuk membelanya (terutama dalam kasus-kasus korupsi), dan tingkat kesiapan mereka untuk berhadapan dengan pengadilan, penuntutan publik, Mahkamah Agung, dan polisi.

Netanyahu terpaksa melepaskan Kementerian Hukum demi kepentingan Partai Biru dan Putih, meskipun penting sehubungan dengan kasus persidangannya. Namun itu lantaran ia sendiri optimis bisa memastikan dua hal penting lain yang berhubungan dengan persidangannya.

Pertama bahwa ia masih memiliki hak untuk menolak penunjukan siapapun sebagai penasihat hukum dan penuntut umum pemerintah. Kedua posisi ini secara langsung berhubungan dengan kasus persidangannya yang dimulai pada 24 Mei 2020; khususnya mengenai keputusan tentang masalah kompromi antara jaksa penuntut umum dan Netanyahu, jika Netanyahu percaya bahwa kepentingannya mengharuskannya, dan bahwa persyaratan untuk solusi semacam itu juga sesuai dengan kepentingannya.

Kedua, bahwa Netanyahu telah memastikan – menurut perjanjian koalisi koalisi dengan Gantz – bahwa tiga dari sembilan anggota komite pengangkatan hakim akan berasal dari para pendukungnya yang ingin membuat perbedaan dalam komposisi Mahkamah Agung Israel demi kepentingan hakim-hakim sayap kanan dan agamis. Dan ini berarti bahwa Netanyahu memiliki hak untuk menolak penunjukan hakim Mahkamah Agung berdasarkan latar belakang dan kecenderungannya; karena pengangkatan hakim pun membutuhkan persetujuan setidaknya tujuh anggota.

Pemerintah Aneksasi dan Yahudisasi

Netanyahu sangat jelas bertekad bahwa pemerintahnya akan mencakup sebagian besar wilayah Tepi Barat Bumi Palestina dalam beberapa bulan mendatang, dan ini sudah berkali-kali ditekankannya selama kampanye pemilu, sesudahnya, bahkan juga setelah pembentukan pemerintahnya ini.  Ini adalah esensi dari proyek Netanyahu tentang masalah Bumi Palestina sejak ia berkuasa pada 2009, tetapi sikap pemerintahan Barack Obama ketika itu menjadi kendala utama yang menghambat pelaksanaannya. Namun, naiknya Donald Trump ke tampuk kekuasaan Amerika Serikat mengubah keadaan, di mana Trump dan pemerintahannya mendukung sikap ekstrem Israel dalam masalah Bumi Palestina, khususnya yang berkaitan dengan pencaplokan dan pendudukan.

Mengingat situasi Arab dan Palestina yang hancur, Netanyahu percaya bahwa Israel memiliki kekuatan berlebih yang akan memungkinkannya untuk memulai aneksasi wilayah-wilayah besar Tepi Barat yang diduduki, apalagi setelah adanya kesepakatan dengan pemerintahan Trump mengenai waktu, besar wilayah dan rincian pencaplokan. Selain itu, Netanyahu yakin bahwa perjanjian ini masih berada dalam jangkauannya.

Dengan adanya kesepahaman dan dukungan Trump akan sikap esktremnya, Netanyahu telah berusaha untuk menciptakan konsensus (atau semi-konsensus) dalam masyarakat Israel dan antara kekuatan politiknya, dan itu berkenaan dengan kemungkinan untuk bergerak maju dalam masalah aneksasi. Dan ternyata dalam masyarakat Israel sendiri khususnya di antara kekuatan-kekuatan politik, muncul perbedaan pendapat baik mengenai luas aneksasi, waktu aneksasi, dan “apakah aneksasi itu harus dilakukan secara sepihak”.

Perjanjian koalisi antara Likud dan Biru dan Putih menggariskan bahwa keputusan dan undang-undang yang diberlakukan harus sesuai dengan kesepahaman antara Netanyahu dan Gantz, dan bahwa masing-masing dari mereka memiliki hak untuk membatalkan setiap keputusan pemerintah; hanya saja Netanyahu memiliki otoritas untuk mengecualikan subjek wilayah pencaplokan Tepi Barat dari kesepahaman ini. Dengan kata lain, Partai Biru dan Putih memiliki hak untuk menentang aneksasi, tetapi tidak berhak untuk mencegah keputusan ini.

Netanyahu dan Gantz juga sepakat bahwa proses pengambilan keputusan tentang aneksasi atau non-aneksasi dilakukan di Kabinet Politik-Keamanan (16 menteri). Setelah mendengarkan sikap badan militer dan keamanan mengenai masalah ini, hasilnya kemudian akan disajikan kepada pemerintah yang lebih luas untuk dibahas. Jika pemerintah menyetujui aneksasi, masalah tersebut akan disampaikan kepada Knesset, yang memiliki mayoritas untuk mengeluarkan keputusan semacam itu. Selain dari partai pemerintah, ternyata ada juga pihak-pihak dalam oposisi yang mendukung aneksasi, seperti partai Lieberman dan Yaalon. Tidak diketahui sampai sekarang, apakah keputusan aneksasi yang akan diambil oleh pemerintah Israel akan mencakup Lembah Yordan dan wilayah Laut Mati Utara serta semua blok permukiman, ataukah sebagian dari itu.

Kesimpulan

Netanyahu berencana – karena alasan ideologis-politis dan alasan lain yang terkait dengan persidangannya – untuk mencaplok sebagian besar Tepi Barat Bumi Palestina yang diduduki sebelum berakhirnya masa jabatan Trump pada November 2020. Dan ia percaya bahwa Israel, dengan adanya dukungan dari pemerintah Amerika mengenai waktu dan detil pencaplokan, memiliki keberanian dan kekuatan untuk memungkinkannya memulai proses pencaplokan, tanpa perlu mempedulikan sikap orang-orang Palestina, Arab dan seluruh dunia. 

Telah terbukti bahwa keputusan untuk mencaplok Yerusalem dan Golan yang diduduki berlangsung begitu kondisi Arab dan dunia internasional menjadi "lebih baik" dibanding Suriah dan Palestina.  Dan di sinilah pemerintah AS; menyetujui dua langkah berdampak regresif ini (ini tentu saja tidak berarti bahwa Suriah dan rakyat Palestina telah menyerahkan hak mereka, sepertimana tidak berarti bahwa aneksasi ini sah).

Netanyahu sangat yakin akan kemampuan Israel untuk menahan setiap reaksi Palestina, mengingat kondisi Arab, regional dan internasional seluruhnya saat ini sibuk berurusan dengan pandemi Corona. Perkiraannya adalah bahwa reaksi negara-negara Arab mungkin tidak berada di luar tingkat pernyataan penghukuman, yang merupakan sesuatu yang sudah sangat biasa bagi Israel.

Tetapi jika negara-negara Arab dan Otoritas Palestina menunjukkan kesediaan mereka untuk melangkah lebih jauh, termasuk mengambil langkah-langkah efektif untuk menolak aneksasi Israel, dengan cara yang termasuk memutus hubungan dengan negara terkutuk itu baik secara diam-diam maupun publik, menghentikan pemberlakuan protokol keamanan Palestina, serta menghentikan transaksi komersial, terutama yang berkaitan dengan impor gas dan teknologi komunikasi; sudah pasti Netanyahu akan meninjau ulang rencananya, dan tak akan berani menjalankannya.

(T.NA/S: Palinfo)

leave a reply
Posting terakhir