Akibat Tekanan Israel, 25.000 Bayi Palestina Belum Diberi Nama

Proses persetujuan nama dan akta kelahiran bayi Palestina yang baru lahir telah berhenti ketika Otoritas Palestina menghentikan "koordinasi keamanan" dengan Israel Mei lalu.

BY Edited Mon,24 Aug 2020,04:19 PM

Ramallah, SPNA - Otoritas pendudukan Israel menolak untuk mengakui sekitar 25.000 bayi Palestina yang lahir dalam beberapa bulan terakhir, kata Kementerian Dalam Negeri Palestina pada hari Kamis (20/08/2020).

Proses persetujuan nama dan akta kelahiran bayi Palestina yang baru lahir telah berhenti ketika Otoritas Palestina menghentikan "koordinasi keamanan" dengan Israel Mei lalu.

Untuk memaksa PA kembali ke sistem lama, otoritas pendudukan Israel dilaporkan mempersulit berbagai prosedur administratif, termasuk penamaan bayi Palestina yang baru lahir.

“Kementerian mengeluarkan semua dokumen yang diperlukan untuk Palestina termasuk paspor, KTP, akta kematian dan sejak Mei lebih dari 25.000 akta kelahiran,” Wakil Menteri Dalam Negeri PA Yousef Harb mengatakan kepada kantor berita resmi, WAFA.

Menurut Harb, penolakan Israel untuk meresmikan akta kelahiran tersebut adalah bagian dari upaya Israel untuk 'memeras' warga Palestina.

Pendudukan Israel "mempraktikkan pemerasan terhadap rakyat Palestina kami dan ini bukanlah sesuatu yang baru," tambah Harb.

“Kebijakan itu berdampak pada orang tua bayi yang baru lahir karena itu berarti mereka tidak akan diizinkan bepergian ke luar negeri bersama anak-anak mereka," lapor kantor berita Anadolu, Kamis (20/08/2020).

Mei lalu, Presiden PA Mahmoud Abbas menangguhkan semua "koordinasi keamanan" dengan militer Israel - tuntutan populer di kalangan warga Palestina - karena rencana pemerintah Israel untuk secara ilegal mencaplok hampir sepertiga dari Tepi Barat Palestina yang diduduki.

(T.RA/S: QNN)

leave a reply
Posting terakhir

AS Umumkan Nama-nama Negara Anti Kebebasan Beragama

Arab Saudi, oleh Amerika Serikat, ditetapkan sebagai salah satu negara yang tidak menghargai kebebasan beragama. Menlu Amerika mengatakan tidak seharusnya sebuah negara melakukan penindasan atas dasar keyakinan.