Asosiasi Cendekiawan Muslim Dunia Keluarkan Fatwa Pelarangan Normalisasi dengan Israel

Lembaga ini memandang, normalisasi merupakan pengakuan keabsahan otoritas pendudukan di tanah Palestina

BY Edited Wed,09 Sep 2020,05:27 AM

Doha, SPNA - Menanggapi kesepakatan kontroversial UEA-Israel bulan lalu, sekelompok cendekiawan Muslim global pada hari Selasa (08/09/2020) mengeluarkan keputusan fatwa yang melarang normalisasi dengan pendudukan Israel.

Keputusan itu muncul dalam pernyataan Asosiasi Cendekiawan Muslim Dunia (IUMS) yang berbasis di Qatar mengenai normalisasi hubungan dengan Israel, yang menduduki tanah Palestina di Tepi Barat dan kota suci Yerusalem.

Lembaga tersebut menegaskan kembali hak rakyat Palestina untuk mendapatkan kembali tanah mereka.

"Masalah Palestina bukan hanya masalah politik, tetapi masalah yang terkait dengan Masjid Al-Aqsa," ungkap pernyataan itu.

Al-Aqsa, yang terletak di Yerusalem (al-Quds), merupakan situs tersuci ketiga di dunia bagi umat Islam setelah Mekah dan Madinah.

Masalah Palestina adalah "kasus invasi dan pendudukan oleh Zionis di tanah Palestina di bawah Mandat Inggris yang berakhir dengan perpecahan, kemudian pendudukan sebagian besar tanah Palestina," tambah asosiasi itu.

"Dan hari ini mereka ingin menelan apa yang tersisa dari penipuan, pembunuhan, pemindahan, dan penghancuran yang terjadi secara sistematis."

Asosiasi Cendekiawan ini menekankan bahwa perjanjian normalisasi adalah "bukan rekonsiliasi atau gencatan senjata ... melainkan, konsesi tanah yang paling suci dan paling diberkati dan pengakuan keabsahan musuh yang menduduki."

Pada 13 Agustus, Uni Emirat Arab dan Israel mengumumkan perjanjian yang ditengahi AS untuk menormalisasi hubungan mereka, termasuk membuka kedutaan di wilayah masing-masing.

Otoritas Palestina dan faksi-faksi perlawanan mengecam kesepakatan UEA-Israel, dengan mengatakan itu tidak melayani kepentingan Palestina dan mengabaikan hak-hak rakyat Palestina.

Otoritas Palestina mengatakan bahwa setiap normalisasi dengan Israel harus didasarkan pada Prakarsa Perdamaian Arab tahun 2002 dengan prinsip "tanah untuk perdamaian" dan bukan "perdamaian untuk perdamaian" seperti yang diminta Israel.

(T.RA/S: Anadolu Agency)

leave a reply
Posting terakhir