Uni Eropa Kecam Pembongkaran yang Dilakukan Israel di Tepi Barat

Ini terjadi setelah pasukan Israel menghancurkan sebuah desa Badui untuk kedua kalinya dalam tiga bulan terakhir, menjadikan beberapa keluarga menjadi tunawisma.

BY Edited Sat,06 Feb 2021,11:15 AM

Brussel, SPNA - Israel, Kamis (05/02/2021), mendapat kritikan dari Uni Eropa atas aktivitas pembongkaran yang dilakukan di wilayah Tepi Barat yang diduduki. Ini terjadi setelah pasukan Israel menghancurkan sebuah desa Badui untuk kedua kalinya dalam tiga bulan terakhir, menjadikan beberapa keluarga menjadi tunawisma.

“Pembongkaran besar-besaran ini adalah contoh lain dari tren penyitaan dan penghancuran yang menyedihkan,” ungkap Sven Kuehn von Burgsdorff, utusan Uni Eropa saat mengunjungi Humsa Al Bqai'a yang juga dihadiri oleh Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh.

Tujuh tenda yang menampung 66 jiwa dihancurkan pada hari Rabu (03/02/2021), menurut organisasi nin-pemerintah Israel B'Tselem. Penyitaan beberapa rumah juga terjadi pada hari Senin di desa terdekat, Khirbet Humsa, sebelah utara Lembah Yordania. Pasukan Israel yang dilengkapi buldoser juga merobohkan bangunan baja dan kayu di desa tersebut, seperti yang di tayangkan Reuters TV.

Terlepas dari wabah virus korona, pasukan Israel terus melakukan tindakan kekerasan terhadap penduduk Arab, merobohkan rumah mereka dan mengabaikan tuduhan kejahatan perang di wilayah pendudukan.

Sebanyak 130 penduduk Khirbet Humsah berjanji untuk tetap tinggal di desa. Beberapa dari mereka tidur di kasur dan terpal plastik yang berserakan di tanah berbatu. Rumah tenda dan tempat penampungan hewan di desa itu terakhir dihancurkan pada November lalu. Meskipun begitu, penduduk segera membangunnya kembali.

"Kami tidak akan pergi dari sini. Kami akan tetap di sini. Jika mereka hancurkan, kami bangun kembali," tutur salah seorang penduduk desa, Ibrahim Abu Awad, menurut keterangan yang dimuat Reuters. Ia dan warga Badui lainnya di desa itu mengatakan bahwa mereka khawatir jika pemukim Israel akan merebut tanah kosong itu.

Beberapa kelompok hak asasi menyebutnya sebagai upaya untuk menggusur seluruh komunitas Palestina dari daerah itu. Sementara B'Tselem mengatakan bahwa tentara Israel ingin mengambil tanah penduduk.

COGAT, kantor penghubung Israel dengan Palestina, mengatakan bahwa rumah-rumah itu dibangun secara ilegal dan didirikan di zona latihan militer, yang membahayakan penduduk. Mereka telah ditawari alternatif tempat tinggal.

"Meski ada tawaran, warga menolak untuk secara mandiri memindahkan area tenda yang telah didirikan secara ilegal dan tanpa izin dan persetujuan yang diperlukan," kata COGAT.

Warga Palestina dan kelompok hak asasi mengatakan izin semacam itu hampir tidak mungkin diperoleh dari Israel. Sebuah kelompok hak asasi manusia melaporkan bulan lalu bahwa pihak berwenang Israel menghancurkan 729 bangunan Palestina pada tahun 2020 dengan dalih tidak memiliki izin konstruksi.

Utusan Uni Eropa mengatakan bahwa kegiatan pembongkaran menyebabkan beberapa keluarga kehilangan tempat tinggal selama musim dingin dan di tengah pandemi.

"Kami berharap pihak berwenang Israel menahan diri dari penghancuran lebih banyak bangunan Palestina," katanya.

Sekitar 440.000 pemukim Israel tinggal di antara lebih dari 3 juta warga Palestina di Tepi Barat, wilayah yang direbut oleh Israel dalam perang tahun 1967 dan yang diinginkan warga Palestina sebagai bagian dari negara masa depan.

Selain kegiatan pembongkaran di wilayah pendudukan Palestina, Israel dituduh menahan warga Palestina secara ilegal. Dalam siaran pers pekan lalu, Asosiasi Tahanan Palestina mengatakan bahwa pasukan Israel baru-baru ini menangkap 25 warga Palestina, termasuk anak di bawah umur. Tercatat bahwa para tahanan berasal dari berbagai provinsi di Tepi Barat.

Tentara Israel sering melakukan penangkapan skala besar di Tepi Barat dan Yerusalem Timur yang diduduki dengan dalih mencari orang Palestina yang menjadi  "buron". Mereka menggunakan apa yang disebut "kebijakan penahanan administratif" yang memungkinkan narapidana ditahan tanpa pengadilan untuk periode yang dapat diperpanjang hingga enam bulan. Sementara Israel berpendapat bahwa prosedur tersebut memungkinkan pihak berwenang untuk menangkap tersangka dan mencegah serangan sambil terus mengumpulkan bukti. Para kritikus dan kelompok hak asasi mengatakan sistem itu disalahgunakan.

Menurut Anadolu Agency (AA), data yang dikumpulkan oleh Palestina menunjukkan bahwa Israel menahan sekitar 4.400 tahanan Palestina, termasuk 40 wanita, di dalam penjara, sementara jumlah tahanan anak-anak sekitar 170 dan tahanan administratif (ditahan tanpa dakwaan) sekitar 380.

(T.RA/S: Daily Sabah)

leave a reply
Posting terakhir