Ramadan di Palestina Bersimbah Darah, Salah Siapa?

Tahun ini, Israel-Palestina kembali memanas. Berawal dari bentrokan di Masjid Al-Aqsa dan berujung agresi Israel atas Jalur Gaza. Meski gencatan senjata berhasil dicapai setelah 11 hari aksi baku serang antara Gaza dan Israel, namun pertanyaan “Mengapa konffik di kawasan ini terus berlangsung?” dan “Siapa yang patus dipersalahkan?” masih terus bergaung.

BY Edited Sat,29 May 2021,04:32 AM
Sumber Gambar: Ahmad GHARABLI / AFP

Palestina kembali bersimbah darah. Ramadan yang seharusnya menjadi bulan bahagia dan suka cita, namun tahun ini, justru menjadi bulan mencekam dengan banyak kematian. Ratusan nyawa warga sipil melayang dan ribuan luka-luka akibat kerusuhan di Yerusalem disusul agresi Israel terhadap Gaza.

Sejak awal Ramadan, kerusuhan dan tindakan brutal terjadi Yerusalem, dimulai saat polisi Israel memasang penghalang di luar Gerbang Damaskus Kota Tua, tempat di mana jemaah sering berkumpul selepas melaksanakan shalat Tarawih. Protes lalu meningkat pasca ancaman penggusuran puluhan keluarga Palestina dari lingkungan Sheikh Jarrah di Yerusalem timur oleh pihak Israel.

Di Hari-hari terakhir Ramadan, ketegangan semakin meningkat. Bentrok mencapai awal klimaksnya pada 7 Mei 2021, bertepatan dengan malam ke-25 Ramadan. Polisi Israel menyerang jemaah shalat Tarawih di Masjid Al-Aqsa, 205 orang terluka. Pasukan Israel juga mencegah Bulan Sabit Merah melintasi pos pemeriksaan militer Qalandiya untuk mengevakuasi korban luka di Al Aqsa. Puluhan Jemaah, termasuk anak-anak dan lansia, dikunci di dalam Masjid Al-Qibli di Kompleks Masjid Al-Aqsa tanpa bantuan medis.

 

 

Beberapa hari berikutnya, intensitas bentrokan, penangkapan dan aksi provokasi yang dilakukan pasukan pendudukan di Masjid Al-Aqsa, justru semakin memuncak. Senin, 10 Mei 2021, pasukan Israel berusaha mengsongkan Masjid Al-Aqsa dengan memukul dan menangkap Jemaah Palestina. Hingga hari itu, sejak awal bentrokan, tercatat 520 warga Palestina terluka. Situasi diperparah setelah kelompok Yahudi ekstremis “Haikal Sulaiman” menyeru warga Yahudi menerobos masuk ke Masjd Al-Aqsa, yang memperingati hari tersebut sebagai hari pendudukan Yerusalem tahun 1967.

Kelompok tersebut juga mengkampanyekan pembunuhan terhadap warga Arab, bahkan melakukan penyerangan ke beberapa rumah warga Palestina di Syaikh Jarrah. Hal ini tentu memicu kemarahan dari pihak Palestina serta meningkatkan ketegangan di kota Yerusalem.

Tindak kekerasan pasukan pendudukan di Masjid Al-Aqsa dan lingkungan Syaikh Jarrah direspon oleh kelompok perlawanan Paestina di Gaza. Mereka memberikan ultimatum kepada pasukan pendudukan Israel untuk menarik semua pasukannya dari kompleks Masjid Al-Aqsa. Bahkan, Al Qassam –sayap militer Hamas, memberi Israel waktu 2 jam untuk membebaskan jemaah yang ditangkap di masjid Al Aqsa. Sedikit pun Israel tidak menggubris peringatan tersebut, yang menyebabkan rudal kelompok perlawanan mendarat di kota Ashkelon. Israel kemudian membalas dengan melakukan serangan udara besar-besaran di Gaza.

Serangan Israel ke Gaza telah meninggalkan banyak kerusakan. Seluruh lingkungan menjadi puing-puing dan ribuan orang terpaksa berlindung di sekolah-sekolah PBB dan fasilitas lainnya. Selama perang 11 hari,  sebelum diakhiri dengan gencatan senjata, setidaknya 241 warga gugur dan 7.802 luka-luka, menurut data yang dirilis Kemeneterian Kesehatan Palestina pada 19 Mei 2021.

Akar Masalah

Banyak media menafsirkan penyebab konflik di Yerusalem yang kemudian berujung bentrok dan agresi di Gaza yang menghilangkan ratusan nyawa, Sebagian menganggap hal ini hanya disebabkan perebutan wilayah, yang lain bahkan menyalahkan Palestina, namun tidak ada yang menjelaskan akar utama dari masalah kemanusiaan ini.

Jika kita kilas balik sejarah pendudukan Palestina dari tahun 1948, maka kita menemukan akar masalahnya dan jika hal ini tidak diselesaikan maka konflik Palestina akan terus berlanjut dan menelan banyak nyawa tak berdosa. 

Bisa disimpulkan bahwa penyebab utama konflik berdarah di Yerusalem di awal Ramadan tahun ini, dan tahun-tahun sebelumnya tak lepas dari Yahudisasi, atau ambisi Israel menjadikan kota suci tersebut sebagai kota Yahudi.

Israel telah beberapa kali melanggar hukum internasional dengan menjajah Yerusalem tahun 1967, lalu mendeklarasikannya sebagai ibukota Yahudi tahun 1980 yang kemudan diaminkan oleh Donald Trump tahun 2017.

Israel lalu melakukan penjarahan ribuan rumah warga Palestina, Syaikh Jarrah hanya salah satunya, dan membangun permukiman ilegal demi meningkatkan populasi Yahudi di sana. Seluruhnya dilakukan atas dasar ambisi “Yahudisasi Yerusalem.”

Dewan Keamanan PBB beberapa kali mengeluarkan keputusan yang menuntut Israel agar mengakhiri pendudukannya terhadap Yerusalem, diantaranya adalah keputusan nomor 465 tanggal 1 Maret 1980, lalu nomor 471 tanggal 5 Juni, dan nomor: 476 tanggal 30 Juni.

Majelis Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1980, dengan suara bulat juga menolak keras keputusan Israel atas penjajahan wilayah Yerusalem dan deklarasi bahwa Yerusalem adalah ibukota Israel.

Majelis Umum PBB menyatakan bahwa tindakan Israel adalah ilegal dan harus segera diakhiri karena telah melanggar hukum internasional.

Sayangnya, kecaman dari PBB tidak membuat Israel tunduk. Bahkan Amerika Serikat tercatat beberapa kali menveto pernyataan DK PBB yang mengutuk pelanggaran Israel di Palestina.   

Tindakan Israel yang berada di atas hukum ini tentu saja ditolak oleh pihak Palestina, sebagian memilih untuk tidak tinggal diam dan melakukan perlawanan. Sejak 1967 sampai hari ini, setiap tahunnya, Yerusalem selalu menyaksikan bentrok panas antara warga Palestina dan pasukan pendudukan Israel (IDF). Bentrok tahun ini memicu reaksi keras dari gerakan perlawanan Gaza yang telah memperingatkan Israel agar menghentikan tindak kekerasan terhadap warga Palestina di Yerusalem. Israel tidak menggubris peringatan tersebut. Akhirnya pejuang Gaza melancarkan serangan roket yang dibalas Tel Aviv dengan melancarkan agresi.

Jejak Yahudisasi di Yerusalem

Yerusalem yang sebelumnya berada dibawah perwalian Yordania direbut Israel dalam perang enam hari tahun 1967. Israel juga merebut Dataran Tinggi Golan, dan Semenanjung Sinai.

Tindakan Israel tidak mendapatkan restu dari Dewan Keamanan PBB yang menetapkan resolusi nomor 252 pada 21 Mei 1968. Melalui resolusi ini PBB menegaskan bahwa perebutan wilayah Palestina melalui agresi militer adalah pelanggaran hukum dan tak dapat diterima. DK PBB juga menyesalkan sikap Israel yang tidak mematuhi putusan Majelis Umum PBB nomor 181 tahun 1948.

DK PBB juga menegaskan status hukum di Yerusalem tidak dapat diubah serta meminta Israel agar segera membatalkan semua tindakan yang cenderung mengubah status hukum di Yerusalem.

Israel lalu menawarkan untuk mengembalikan wilayah tersebut dengan imbalan pengakuan Arab atas hak Israel untuk hidup dan jaminan terhadap serangan di masa depan. Para pemimpin Arab pada saat itu menolak kesepakatan damai, namun, Mesir akhirnya akan merundingkan kembalinya Semenanjung Sinai dengan imbalan pengakuan diplomatik penuh atas Israel.

Pada tanggal 30 Juli 1980, Parlemen Israel (Knesset) menyetujui “Undang-Undang Dasar” yang  menetapkan bahwa Yerusalem Timur dan Barat adalah ibukota Israel.

Undang-undang tersebut menjadi dasar seluruh hukum dan langkah-langkah yang bertujuan untuk mencengkram Yerusalem dan memperkuat kendali Israel. Sejak saat itu Israel menekan warga Arab agar meninggalkan kota mereka lalu memulai praktek ekspansi permukiman ilegal.

Berdasarkan laporan surat kabar resmi pemerintah Palestina, Wafanews, yahudisasi terhadap Yerusalem dilakukan secara terstruktur dan terencana untuk mewujudkan “Yerusalem Metropolitan” yang  memiliki populasi mayoritas dari kalangan penganut agama Yahudi.

Untuk memuluskan rencana tersebut Israel membangun permukiman-permukiman khusus untuk warga Yahudi di sekitar Yerusalem serta menggusur komunitas Palestina dan menghapus segala hal yang berkaitan dengan Arab.

Israel mendirikan permukiman Yahudi pertama tahun 1967 diatas 700 rumah warga Palestina yang telah digusur. Ekspansi permukiman ilegal terus dilakukan Israel di Yerusalem. Sampai tahun 2017 setidaknya Israel telah membangun 27 kompleks permukiman Yahudi dengan populasi mencapai 34.640 jiwa, dimana lebih dari 4.000 hektar dijarah.

Dari tahun 1967 hingga 2020 setidaknya Israel telah menggusur 3.122 rumah warga Palestina dan menyebabkan lebih dari 9.000 warga Palestina menjadi tunawisma. Sementara itu di awal tahun 2021 pemerintah Israel telah merencanakan pembangunan 900 unit perumahan Yahudi ilegal, Syaikh Jarrah menjadi salah satu target operasi ekspansi permukiman tersebut.

Syaikh Jarrah

Syaikh Jarrah adalah sebuah desa Arab yang terletak di wilayah Yerusalem timur. Israel merebut wilayah ini pada tahun 1967. Nama Syaikh Jarrah sendiri diambil dari bernama Husamuddin bin Syarafuddin Al-Jarahi dokter Salahuddin Al-Ayyubi, sekaligus seorang panglima perang yang berjasa membebaskan Yerusalem dari pasukan Salib.

Wilayah Syaikh Jarrah didirikan tahun 1956 atas kerjasama antara UNRWA dan Pemerintah Yordania untuk menampung 28 warga Palestina yang digusur yang diduduki Israel tahun 1948.

 

 

Pada April lalu, Pengadilan Israel mengeluarkan keputusan untuk menggusur keluarga Palestina dari rumah yang dibangun pada tahun 1956 atas klaim asosiasi pemukim Israel bahwa sejumlah rumah tersebut dibangun di atas tanah yang dimiliki oleh orang Yahudi sebelum tahun 1948.

Pertanyaannya sekarang apakah benar rumah tersebut milik seorang warga Yahudi sebelum tahun 1948?

Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh Abdurrauf Ar-Nauth dari Institut for Palestine Studies, rumah tersebut adalah milik warga Palestina yang disewa oleh seorang warga Yahudi yang melarikan diri dari Eropa.

Pada tahun 1892 seorang pemeluk agama Yahudi bernama Yitzhak Rachamim datang dari Eropa ke Yerusalem untuk mencari pertolongan akibat penindasan yang mereka terima. Saat itu dia ditolong oleh seorang warga Palestina bernama Abdurabih bin Khalil bin Ibrahim yang menyewakan lahannya di lingkungan Syaikh Jarrah selama 90 tahun, sejak tahun 1310H sampai 1400H (1881 sampai tahun 1979).

Saat itu undang-undang Usmani tidak membenarkan warga Palestina menjual lahan di Yerusalem kepada warga Yahudi namun mereka boleh menyewakannya.

Setelah mendapatkan persetujuan dari pemerintah setempat, Yitzhak membawa 62 warga Yahudi bersamanya, lalu membagikan lahan tersebut menjadi 62 petak tanah untuk dibangun rumah dan disewakan kepada mereka, dimana lahan tersebut terdaftar atas nama wakaf Abdurrabih. Dokumen tersebut masih tersimpan.

Sampai tahun 1948 mereka membayar sewa, dimana sebagiannya dibayar kepada lembaga wakaf Yerusalem dan mereka hidup berdampingan dengan warga Palestina.

Namun tahun 1948 menjadi titik balik dimana mereka meninggalkan lingkungan Syaikh Jarrah dan melarikan diri menuju wilayah yang diduduki Israel. Saat pemerintah Yordania diangkat sebagai perwalian Yerusalem, lokasi tersebut kemudian terdaftar sebagai properti warga Yahudi karena masa sewa belum berakhir. Atas dasar inilah Mahkamah Israel menuntut warga Palestina yang tinggal di sana untuk  angkat kaki atau membayar sewa.

Sejak saat itu kepemilikan lokasi tersebut menuai kontroversi dimana pihak keluarga Abdurrabih sudah berjuang bertahun-tahun untuk mendapatkan kembali lahan mereka namun belum membuahkan hasil sampai saat ini.

Air susu dibayar tuba, mungkin ini ungkapan yang cocok menggambarkan situasi di Syaikh Jarrah saat ini. Niat baik menolong warga Yahudi yang melarikan diri dari penindasan di Eropa justru dibalas dengan penggusuran terhadpa warga Palestina.

 

 

Kontroversi kepemilikan lahan dan keputusan Mahkamah Israel menggusur rumah warga Palestina atas klaim sepihak inilah yang memicu aksi bentrok dan tindak kekerasan di Yerusalem yang kemudian disusul agresi terhadap Gaza yang menghilangkan ratusan nyawa.

Saat ini, Gaza dan Tel Aviv menyetujui gencatan senjata, namun tidak ada yang dapat memastikan stabilitas di Palestina dapat terus bertahan jika Israel tidak menghentikan ambisi “Yahudisasi” untuk merebut dan menggusur lahan warga Palestina khususnya di Yerusalem.

Jika ada yang pantas untuk disalahkan terkait tragedi tahun ini, maka ambisi Yahudisasi terhadap Yerusalem yang harus disalahkan. Semua pihak harus turut berpartisipasi menghentikan ambisi yang berujung kepada pertumpahan darah ini serta mengubah Yerusalem dari kota perselisihan menjadi kota perdamaian dunia.

(TIM RISET NPC)

leave a reply
Posting terakhir