Knesset Gagal Sahkan UU Kewarganegaraan yang Cegah Penyatuan Keluarga Palestina, Tapi…

UU Kewarganegaraan telah mencegah warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat dan Jalur Gaza (daerah yang diduduki Israel) yang menikahi warga Palestina di Israel untuk secara otomatis mendapatkan tempat tinggal dan kewarganegaraan Israel.

BY Edited Thu,08 Jul 2021,09:55 AM

Tel Aviv, SPNA - Parlemen Israel, Knesset, pada Selasa (06/07/2021), gagal mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang mencegah penyatuan keluarga Palestina. Kegagalan ini terjadi akibat hasil pemungutan suara berakhir seri, dengan 59 anggota mendukung dan 59 lainnya menentang, sementara dua anggota abstain.

Kesepahaman yang tidak disahkan antara lain persetujuan terhadap 1.600 permintaan unifikasi dari 45.000 keluarga Palestina dan pembentukan komite yang dipimpin oleh sekretaris pemerintah untuk mencari solusi bagi keluarga yang terdaftar dalam larangan unifikasi keluarga. Kemungkinan pemberian izin pindah dan masuk ke Israel untuk sekitar 9.000 keluarga juga akan dibahas.

“Knesset memberikan suara 59 banding 59 pada undang-undang untuk memperpanjang penyatuan keluarga, yang berarti membatalkannya. Ini adalah preseden sejak penerapan undang-undang rasis yang mencegah keluarga Palestina dari Garis Hijau (Tepi Barat dan Gaza) hidup bersama di Israel berdasarkan hak-hak dasar. Sangat tercela bahwa dua perwakilan Mansour Abbas dan Walid Taha memilih untuk melanjutkan undang-undang ini, yang setiap hari merugikan puluhan ribu keluarga dan anak-anak Palestina (di Israel),” sebut sebuah pernyataan yang dikeluarkan Partai Joint List.

Joint List merupakan aliansi politik empat partai politik Arab di Israel: Balad, Hadash, Ta'al, dan Partai Demokrat Arab.

“Semua anggota Joint List memilih melawan undang-undang tersebut. Para wakil Joint List telah berbicara dari podium Knesset yang menyerukan anggota bersatu untuk menentang undang-undang, tetapi Mansour Abbas dan Walid Taha menolak. Mereka bersikeras untuk memperpanjang larangan penyatuan keluarga Palestina,” tambah pernyataan tersebut.

Sami Abou Shahadeh, anggota dari Partai Joint List di Knesset, menyebutkan bahwa kegagalan perpanjangan undang-undang tersebut adalah kemenangan bagi ribuan keluarga Palestina.

UU Kewarganegaraan telah mencegah warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat dan Jalur Gaza (daerah pendudukan Israel), yang menikahi warga Palestina di Israel untuk secara otomatis mendapatkan tempat tinggal dan kewarganegaraan Israel. Hal ini menyebabkan penderitaan tanpa akhir bagi warga Palestina yang tinggal di seluruh Israel dan wilayah yang telah didudukinya sejak 1967.

Terjadi Kesepakatan dan Kompromi

Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Israel, Ayelet Shaked, mengumumkan telah terjadi kesepakatan dan kompromi penyelesaian terkait UU Kewarganegaraan dengan menyebut bahwa kesepahaman lisan telah tercapai untuk memperpanjang undang-undang tersebut untuk jangka waktu 6 bulan.

“Tidak ada kesepakatan tertulis, tapi kesepahaman telah dicapai, termasuk kesepakatan kubu pemerintah koalisi untuk memperpanjang undang-undang tersebut selama enam bulan dan juga telah disepakati juga pemberian tempat tinggal permanen di Israel kepada 1.600 warga Palestina,” Ayeled Shaked.

Sementara itu, koordinator kubu oposisi, Partai Likud, Yariv Levin, mengatakan bahwa pengumuman Ayeled Shaked berasal dari perjanjian koalisi yang disembunyikan dari Knesset.

“Kesepakatan itu harus ditunjukkan agar bisa dilakukan diskusi mendalam berdasarkan semua informasi tersebut,” kata Yariv Levin.

Sejumlah anggota partai koalisi tidak memberikan suara mendukung perpanjangan undang-undang, termasuk anggota partai Bennett sendiri.

Media Israel melaporkan bahwa RUU tersebut diubah sebagai kompromi dengan partai-partai koalisi yang menentang undang-undang tersebut. Undang-undang yang diamandemen akan memungkinkan perpanjangan enam bulan, selain memberikan hak tinggal kepada 1.600 warga Palestina yang tinggal di Israel. Sebuah komite kemanusiaan akan memilih 1600 dari 9000 orang Palestina yang menikah dengan warga Israel yang tinggal di Israel tanpa status.

UU Kewarganegaraan pertama kali diberlakukan pada tahun 2003 dan diperpanjang setiap tahun. Undang-undang tersebut awalnya disahkan setelah sekitar 130.000 warga Palestina memasuki Israel melalui reunifikasi keluarga antara tahun 1993 dan 2003, termasuk selama serangan Intifada Kedua.

Kekhawatiran utama yang dinyatakan pada saat itu adalah bahwa sejumlah warga Palestina yang memperoleh status Israel akan terlibat dalam terorisme. Di balik itu, juga ada kekhawatiran terkait demografis di mana lembaga keamanan Israel memperkirakan bahwa sekitar 200.000 warga Palestina akan memperoleh kewarganegaraan atau tempat tinggal Israel setiap dekade jika tanpa undang-undang tersebut.

Jessica Montell, kepala Hamoked, kelompok hak asasi manusia Israel yang memberikan layanan hukum kepada penduduk Palestina menyatakan bahwa puluhan ribu keluarga dirugikan oleh undang-undang ini.

(T.FJ/S: RT Arabic, Aljazeera, Times of Israel)

leave a reply
Posting terakhir

Israel Sahkan Undang-undang Kewarganegaraan Diskriminatif untuk Keluarga Palestina

Hukum tersebut mempengaruhi ribuan keluarga Palestina di mana satu pasangan berasal dari tanah 48 (daerah pemerintahan Israel saat ini) dan yang lainnya berasal dari Tepi Barat dan Jalur Gaza. Suami atau istri dari Tepi Barat dan Jalur Gaza dilarang tinggal bersama suaminya di tanah 48, kecuali melalui izin tinggal. Namun, istri atau suami Palestina dari Tepi Barat dan Jalur Gaza tersebut tetap tidak mendapat hak dasar dan dapat diusir atau dideportasi dari keluarga mereka setiap saat.