Pengadilan Israel Tuntut Diakhirinya Penerapan Undang-undang Penyatuan Keluarga Palestina

Koalisi pemerintah yang dipimpin oleh Naftali Bennett, pada 6 Juli gagal memperbarui “Undang-undang Kewarganegaraan”, yang melarang pemberian kewarganegaraan kepada pasangan Palestina di Israel.

BY 4adminEdited Thu,13 Jan 2022,12:43 PM

Tel Aviv, SPNA - Pengadilan Israel, sebagaimana dilansir RT Arabic, pada Rabu (12/01/2022), telah menuntut pemerintah Bennett untuk menghentikan penerapan undang-undang yang merampas hak pasangan Palestina untuk tinggal di Israel, di mana legalitas udang-undang tersebut telah berakhir pada Juli lalu.

Mahkamah Agung Israel telah memerintahkan Menteri Dalam Negeri Ayelet Shaked untuk berhenti menyangkal hak pasangan Palestina untuk tinggal di Israel.

“Pasal-pasal yang menjadi dasar hukum administrasi tidak mengizinkan penerapan teks yang sudah tidak ada lagi,” kata Hakim Daphne Barak Erez.

Daphne Barak Erez menekankan bahwa Ayelet Shaked sedang mencoba untuk tetap menerapkan undang-undang yang telah kedaluwarsa pada Juli lalu.

“Tidak ada kantor pemerintah yang dapat membenarkan tindakannya pada undang-undang yang masih dalam tahap perencanaan, hukum harus ditindaklanjuti sebagaimana adanya,” ujar Daphne Barak Erez.

Koalisi pemerintah yang dipimpin oleh Naftali Bennett, pada 6 Juli gagal memperbarui “Undang-undang Kewarganegaraan”, yang melarang pemberian kewarganegaraan kepada pasangan Palestina di Israel.

Koalisi pemerintah gagal mengesahkan undang-undang penyatuan keluarga di Knesset, setelah 59 anggota parlemen Knesset Israel memberikan suara mendukung perpanjangan undang-undang tersebut, sedangkan jumlah anggota yang sama menentangnya. UU Kewarganegaraan tidak memperoleh mayoritas yang disyaratkan selama pemungutan suara pada Juli 2021 di Knesset, untuk pertama kalinya sejak 2003, ketika diperpanjang setiap tahun.

UU Kewarganegaraan pertama kali diberlakukan pada tahun 2003. Undang-undang tersebut awalnya disahkan setelah sekitar 130.000 warga Palestina memasuki Israel melalui reunifikasi keluarga antara tahun 1993 dan 2003, termasuk selama serangan Intifada Kedua.

Kekhawatiran utama yang dinyatakan pada saat itu adalah bahwa sejumlah warga Palestina yang memperoleh status Israel akan terlibat dalam terorisme. Di balik itu, juga ada kekhawatiran terkait demografis di mana lembaga keamanan Israel memperkirakan bahwa sekitar 200.000 warga Palestina akan memperoleh kewarganegaraan atau tempat tinggal Israel setiap dekade jika tanpa adanya undang-undang tersebut.

(T.FJ/S: RT Arabic)

leave a reply
Posting terakhir