Yerusalem, SPNA - Pusat Hukum Independen untuk Hak Asasi Manusia Israel, Adalah, pada Senin (11/07/2022), mengungkapkan bukti baru terkait rencana bersama AS-Israel untuk mendirikan kedutaan di Yerusalem, di atas tanah pribadi milik penduduk Palestina.
“Untuk mengantisipasi kunjungan Presiden Biden ke Israel, ahli waris pemilik asli tanah tersebut, termasuk warga Amerika dan penduduk Palestina di Yerusalem Timur, menuntut segera pembatalan skema (pembangunan) tersebut,” sebut Adalah.
Adalah menambahkan bahwa penelitian dalam catatan arsip mengungkapkan bahwa secara definitif, kepemilikan tanah Palestina yang dialokasikan diperuntukkan Kedutaan Besar AS di Yerusalem.
Pada 15 Februari 2022, Departemen Luar Negeri AS dan Otoritas Tanah Israel mengajukan rencana terbaru kepada Departemen Perencanaan Israel untuk mendirikan kompleks diplomatik Amerika di Yerusalem. Rencana ini dilakukan setelah adanya rencana sebelumnya pada tahun 2008.
Tanah di mana kompleks diplomatik AS akan dibangun tersebut, terdaftar atas nama Israel, sedangkan tanah itu dirampas secara ilegal dari para pengungsi Palestina dan orang-orang Palestina yang terlantar, dengan menggunakan Hukum Properti Absentee Israel 1950.
Pada 20 Maret 1950, otoritas pendudukan Israel menerbitkan Undang-undang Hukum Properti Absentee. Hukum ini mendefinisikan siapa saja yang mengungsi atau meninggalkan perbatasan Palestina yang diduduki sampai November 1947, dengan alasan apapun, terutama karena perang, ia dianggap “absen”, yang berarti ia dianggap tidak ada.
Definisi ini memberikan wewenang kepada otoritas pendudukan Israel dan Unit Penjaga Properti di Kementerian Kehakiman Israel untuk menyita bangunan atau properti orang-orang Palestina yang dianggap absen. Tujuan dari undang-undang tersebut adalah untuk mencegah kembalinya orang-orang Arab-Palestina yang terlantar ke tanah atau properti yang ditinggalkannya sebelum, selama atau setelah perang pendudukan Israel terhadap tanah Palestina.
Ahli waris dari pemilik asli tanah, termasuk warga negara Amerika dan Palestina yang tinggal di Yerusalem Timur, meminta pemerintah Biden dan pemerintah Israel untuk membatalkan skema tersebut, “Skema No. 101-0810796 Kompleks Diplomatik AS, Jalan Hebron, Jerusalem”, yang saat ini sedang dalam tahapan penyelesaian. Prosedur lanjutan akan diajukan ke Komite Perencanaan Distrik Yerusalem.
Pusat HAM Adalah mengingatkan bahwa dokumen dari arsip membuktikan bahwa tanah tersebut milik keluarga Palestina dan untuk sementara disewakan kepada otoritas Mandat Inggris sebelum tahun 1948. Tanah tersebut disita dari pemilik sahnya Palestina pada tahun 1950 setelah pemilik tersebut menjadi pengungsi selama Nakba.
Perjanjian sewa yang diarsipkan memberikan perincian yang jelas tentang pemilik sah tanah tersebut sebelum diambil alih oleh Israel. Dokumen kontrak sewa diungkapkan nama-nama pemilik tanah Palestina, termasuk anggota keluarga Habib, Qilibo, Al-Khalidi, Razak, dan Al-Khalili.
Properti ini juga mencakup sebidang tanah milik wakaf keluarga Syeikh Muhammad Khalili, dari mana keturunannya, termasuk penduduk Yerusalem Timur dan warga negara Amerika, agar dapat dimanfaatkan oleh keturunannnya.
“Fakta bahwa pemerintah AS secara aktif terlibat dengan pemerintah Israel dalam proyek ini menunjukkan bahwa mereka secara efektif melanggar hak milik dari pemilik yang sah dari properti tersebut, termasuk banyak warga AS,” kata sejarawan Rashid Al-Khalidi, warga negara AS dan juga keturunan dari sejumlah pemilik properti tersebut.
(T.FJ/S: RT Arabic)