Krisis Air Palestina, Perampasan Hak dan Perampokan Israel

08.11.2022Sejak berdirinya entitas Israel pada tahun 1948, otoritas pendudukan Israel telah berusaha untuk mengendalikan sumber daya air di Palestina. Departemen khusus dibentuk dan segera memulai pelaksanaan sejumlah proyek air. Hal ini tercatat dalam sebuah studi studi berjudul “Proyek dan Rencana Investasi Sumber Daya Air Israel Sejak 1948”, diterbitkan oleh Pusat Informasi Nasional Palestina.

BY 4adminEdited Tue,08 Nov 2022,02:04 PM

Ramallah, SPNA - Air tawar adalah sumber kehidupan, kebutuhan primer, pondasi dasar bagi setiap pertumbuhan peradaban dan lingkungan yang sehat. Setiap kekurangan jumlah air yang dibutuhkan oleh setiap orang dalam masyarakat mana pun hanya akan mengarah pada bencana yang nyata. Ketersediaan atau kekurangan air menjadi masalah hidup dan mati. PBB menekankan bahwa hak atas air bersih adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dicabut.

 

Air dalam Paham Zionisme

Air menempati posisi penting dalam paham strategis Zionis. Hal ini berdasarkan klaim agama dan sejarah palsu yang berakar dari keyakinan mereka pada Taurat. Oleh karena itu, literatur gerakan Zionis, sebelum berdirinya negara pendudukan Israel (di tanah Palestina), berfokus pada pentingnya air bagi kelangsungan hidup negara Zionis. Para pemimpin Zionis tidak pernah berhenti mencari rencana dan menggambar kebijakan untuk mengontrol volume terbesar air negara Arab, baik di Palestina atau di negara-negara Arab.

Berdasarkan sebuah penelitian berjudul “Air dalam Konflik Arab-Israel”, yang diterbitkan oleh Pusat Informasi Nasional Palestina, pada tahun 1850 gerakan Zionis mengirim para ahli dan komite ilmiah untuk mempelajari sumber daya air di Palestina.

Setelah mengadakan Kongres Zionis Pertama pada 1897, Theodore Herzl berkata, “Dalam konferensi ini, kita meletakkan dasar-dasar negara Yahudi dengan perbatasan utara yang membentang ke Sungai Litani”.

Pada tahun 1919, salah satu keputusan terpenting yang diambil oleh Kongres Zionis Sedunia adalah “Liga Bangsa-Bangsa (LBB, sekarang PBB), harus diingatkan bahwa air yang diperlukan bagi irigasi dan tenaga listrik harus dimasukkan ke dalam perbatasan (negara Israel), termasuk Sungai Litani dan kawasan salju Gunung Hermon”.

Pada tahun 1920, Chaim Weizmann mengirim surat kepada David Lloyd George, Perdana Menteri Inggris, di mana dia berkata, “Air Sungai Yordan dan Yarmouk tidak memenuhi kebutuhan negara Yahudi. Sungai Litani dapat mengisi defisit ini dan menyediakan air untuk mengairi kawasan Galilea”.

Pada tahun 1941, Ben-Gurion berkata, “Kita harus ingat bahwa demi kelangsungan hidup negara Yahudi, sungai Yordan dan Litani harus dimasukkan ke dalam perbatasan kita”.

Israel juga mencaplok wilayah Galilea Atas dan sumber airnya selama operasi pendudukan Israel pada tahun 1947.

Serangan Terhadap Sumber Air Palestina

Sejak berdirinya entitas Israel pada tahun 1948, otoritas pendudukan Israel telah berusaha untuk mengendalikan sumber daya air di Palestina. Departemen khusus dibentuk dan segera memulai pelaksanaan sejumlah proyek air. Hal ini tercatat dalam sebuah studi studi berjudul “Proyek dan Rencana Investasi Sumber Daya Air Israel Sejak 1948”, diterbitkan oleh Pusat Informasi Nasional Palestina.

Proyek awalnya adalah pengeringan Danau Houla selama tahun 1950-1957. Pengeringan Danau Houla terkait dengan proyek air di Palestina, serta proyek-proyek kolonial pemukiman Zionis di kawasan tersebut. Tujuannya untuk menguasai Houla, menginvestasikannya, dan mendirikan permukiman di tanah subur Palestina. Pengeringan Danau Houla adalah langkah pertama yang diambil oleh Israel untuk melaksanakan proyek penarikan air Sungai Yordan ke Negev.

Selain itu, otoritas pendudukan Israel melaksanakan rencana “Smith” atau rencana tujuh tahun (1953-1960), yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah air yang dihasilkan dari 810 juta meter kubik pada tahun 1953 menjadi 1730 juta meter kubik pada tahun 1960.

Pada tahun 1964, otoritas pendudukan Israel menerapkan sebuah proyek “Penyalur Air Nasional” untuk mentransfer air sungai Yordan ke gurun Negev, di mana luas kawasannya lebih dari 50 persen wilayah Palestina, dengan dalih penghijauan gurun.

Sejak pendudukan seluruh tanah Palestina pada tahun 1967, otoritas pendudukan Israel memberlakukan kontrol penuh atas sumber daya air Palestina. Pemerintah pendudukan Israel mengeluarkan sejumlah perintah militer yang merampas kebebasan penduduk Palestina terhadap sumber daya air dan mencegah mereka memelihara jaringan air, yang mengabaikan kebutuhan air penduduk Palestina.

Otoritas pendudukan Israel juga mendirikan sejumlah permukiman ilegal di tanah Palestina, di tempat yang memiliki persediaan air tanah segar yang banyak dan menghilangkan akses penduduk Palestina terhadap sumber air mereka.

 

Air dalam Perjanjian Oslo

Perjanjian Fase Interim (perjanjian sementara) mengacu pada pengakuan otoritas pendudukan Israel atas hak air Palestina. Teks perjanjian menyatakan, “Israel mengakui hak air Palestina di Tepi Barat, dan hak-hak itu akan dinegosiasikan untuk mencapai penyelesaian dalam Perjanjian Penyelesaian Akhir”

Pasal kedua dari alinea ke-31 Perjanjian Gaza-Jericho membahas masalah air. Kekuasaan khusus yang meliputi air dipindahkan ke wewenang Otoritas Palestina, tanpa kesepakatan yang membahas masalah hak atas air.

Dalam Perjanjian Oslo II, Pasal 40 (Perjanjian Air dan Saluran Air) mencantumkan dasar di mana rencana pengembangan sektor air dan pelaksanaan proyek tersebut akan dikembangkan selama masa transisi sampai penyelesaian akhir dicapai dalam negosiasi penyelesaian akhir.

Peneliti Palestina, Anas Ibrahim, menunjukkan dalam sebuah penelitian yang diterbitkan oleh Pusat Studi Israel-Palestina, Madar, berjudul, “Kontrol Air Israel, Mata air Tepi Barat Sebagai Tumpuan Praktik Permukiman” menyebut bahwa perjanjian tersebut menetapkan bahwa Israel akan memperoleh 80 persen sumber air tanah dan hanya mengalokasikan sebanyak 20 persen sisanya untuk Palestina.

 

Efek Perjanjian Oslo

Dalam wawancara eksklusif dengan Pusat Informasi Palestina, Direktur Jenderal Asosiasi Ahli Hidrologi Palestina, Abdul Rahman Al-Tamimi, mengatakan bahwa berdasarkan klausul ke-40 Perjanjian Oslo II (Perjanjian Air dan Saluran Air), keputusan tersebut tentang masalah air telah ditunda hingga Perjanjian Penyelesaian Akhir. Ini menunjukkan bahwa masalah dalam Perjanjian Oslo tidak terbatas pada penundaan negosiasi kepemilikan sumber daya air hingga negosiasi status akhir. Namun, ada empat permasalahan pokok terkait status sumber air:

Pertama, adanya pemisahan antara sumber daya air dan layanan, artinya Otoritas Nasional Palestina dapat memberikan layanan kepada penduduk Palestina seperti jaringan air dan waduk, tetapi jumlah air yang diambil dari sumber dikendalikan oleh otoritas pendudukan Israel.

Kedua, tidak membahas hak Palestina atas perairan Sungai Yordan, baik secara isyarat atau pernyataan, meskipun rakyat Palestina mendapat hak sesuai dengan pembagian air Sungai Yordan di titik yang berbeda dan sesuai proyek berbagi bersama yang telah dilakukan, termasuk “Proyek Johnston” dan proyek-proyek lainnya yang menetapkan bahwa bagian Palestina adalah sebesar 250 juta meter kubik, tetapi Palestina tidak dapat memperoleh titik apa pun dari perairan Sungai Yordan.

Ketiga, air di Palestina tetap berada di bawah kendali perusahaan air Israel “Mekorot” untuk mengelola sumber daya air, yang berarti bahwa kekuasaan perusahaan “Mekorot” dan Kantor Administrasi Sipil Israel. Seharusnya pengelolaan ini dialihkan ke Otoritas Palestina, tetapi tidak dialihkan. Penguasaan air tetap berada di tangan otoritas pendudukan Israel.

Keempat, klausul ke-40 Perjanjian Oslo II (Perjanjian Air dan Saluran Air), di mana Komite Air Bersama Israel-Palestina didirikan. Namun, keputusan komite diambil dengan suara bulat, artinya setiap orang Israel di komite dapat menolak proyek Palestina dan oleh karena itu penyelesaian proyek apa pun terkait dengan air, seperti pengeboran sumur atau pengeboran air tanah, sangat sulit diwujudkan.

Abdul Rahman Al-Tamimi menjelaskan bahwa keempat masalah ini telah menyebabkan kekurangan air di antara orang-orang Palestina, akibat meningkatnya populasi Palestina sejak penandatanganan Perjanjian Oslo, tanpa peningkatan jumlah volume jumlah air. Pembelian air dari otoritas pendudukan Israel menjadi solusi sesuai dengan keinginan pihak otoritas pendudukan Israel. Palestina dulu membeli 15-20 juta meter kubik dari otoritas pendudukan Israel, tetapi sekarang jumlahnya mencapai hingga 80 juta meter kubik.

Hal ini berarti bahwa melepaskan diri dari ketergantunngan terhadap otoritas pendudukan Israel terhadap sumber air, tidak mungkin. Inilah yang diinginkan otoritas pendudukan Israel, di mana mereka memiliki 12 pabrik desalinasi air laut dan ingin rakyat Palestina menjadi pasar bagi air ini.

Abdul Rahman Al-Tamimi menyebut bahwa otoritas pendudukan Israel mengurangi jatah air bertujuan menggunakan air untuk mencapai dua tujuan. Pertama, untuk menghilangkan adanya tekanan terkait air yang terdapat di Tepi Barat, khususnya di Lembah Yordan, untuk digunakan bagi keperluan perluasan permukiman ilegal. Kedua dan hal yang paling penting adalah fakta bahwa Palestina telah didorong untuk membeli air dari pabrik penyulingan dengan alasan komersial.

Perwakilan otoritas  pendudukan Israel dalam Perjanjian Oslo, mengatakan bahwa kebutuhan air pada masa depan rakyat Palestina antara 70-80 juta meter kubik, yang akan dipasok kepada rakyat Palestina. Namun, tidak menjelaskan kapan, bagaimana, dan dari mana. Otoritas pendudukan Israel menafsirkan ini sebagai penjualan air yang dihasilkan oleh pabrik desalinasi air laut kepada penduduk Palestina atas dasar komersial atau dagang. Bukan atas dasar hak penduduk Palestina mendapatkan dan memperoleh sumber air.

 

Defisit Air di Palestina

Otoritas Air Palestina menunjukkan di situs webnya bahwa air di Palestina berasal dari dua sumber. Sumber pertama berasal dari air permukaan, seperti sungai dan lembah air, di mana sungai paling penting adalah Sungai Yordan, yang air dan pengairannya telah dikuasai otoritas pendudukan Israel selama lebih dari 63 tahun.

Sumber kedua berasal dari air tanah, yang merupakan sumber utama yang digunakan untuk berbagai kebutuhan hidup, baik untuk minum, pertanian, atau industri di Palestina. Terdapat sekitar delapan cekungan air tanah dari kawasan utara ke daerah selatan Palestina, tetapi otoritas pendudukan Israel memegang kendali penuh atas cekungan ini.

Hasil analisis data Biro Pusat Statistik Palestina mengungkapkan bahwa berbagai kota di Tepi Barat mengalami defisit air, adanya perbedaan jumlah kebutuhan air dan air yang dipasok.

 

Palestina Mendapat Jatah Sedikit

Direktur Unit Pemantau Permukiman Israel di Pusat Penelitian ARIJ, Suhail Khaliliah, mengatakan bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan setiap individu mendapat jatah 100 liter air per orang per hari. Namun, individu Palestina hanya memperoleh antara 70-75 liter per hari, sebaliknya mencapai jatah air individu Israel di wilayah Palestina yang diduduki 1948 (Israel saat ini) mencapai 300 liter per hari.

Sementara itu, pemukim Israel yang tinggal di permukiman ilegal di Tepi Barat mendapat jatah air hingga mencapai 400 liter per hari. Ini merupakan bentuk kebijakan diskriminatif yang dipraktekkan otoritas pendudukan Israel untuk menargetkan penduduk Palestina, sektor pertanian, dan industri milik Palestina di Tepi Barat.

“Otoritas pendudukan benar-benar mengontrol sumber daya air. Tidak peduli dengan orang Palestina yang memiliki hak atas air ini, melainkan dianggap sebagai pengguna yang diberikan layanan air. Selain itu, mereka melarang orang Palestina membangun jaringan air baru atau memelihara jaringan lama. Itulah yang menyebabkan sejumlah besar air bocor dan hilang, yang menyebabkan berkurangnya jatah air yang sampai ke penduduk Palestina,” kata Suhail Khaliliah.

Banyak daerah di Tepi Barat yang sering mengalami pemadaman air karena alasan politik otoritas pendudukan Israel.

“Dalam bidang pertanian dan penggembalaan, misalnya, otoritas pendudukan Israel memutus aliran air dengan tujuan untuk memaksa petani berhenti bercocok tanam dan mengairi lahannya. Sedangkan ongkos untuk membeli air sangat mahal dan melebihi kemampuan ekonomi petani. Inilah yang akhirnya mendorong petani meninggalkan lahannya, yang membuat tanah itu menjadi korban yang mudah bagi para pemukim Israel (untuk dirampas),” sebut Suhail Khaliliah.

Suhail Khaliliah menjelaskan bahwa jatah air penduduk Palestina yang tinggal di kawasan Lembah Yordan adalah terendah. Meskipun kaya air tanah, tetapi akibat praktik kejahatan otoritas pendudukan Israel yang bertujuan menggusur penduduk Palestina dari daerah tersebut, penduduk Palestina hanya mendapat jatah air yang sangat sedikit. Misalnya, di desa Fasayel, hanya mendapat jatah air rata-rata sebanyak 20-25 liter per orang per hari, sedangkan pemukim Israel yang tinggal di permukiman ilegal Fatsa’el yang dibangun di atas tanah desa Fasayel, mendapat jatah 420 liter per orang per hari.

(T.FJ/S: Palinfo, Palestinapedia)

leave a reply
Posting terakhir

Israel Layangkan Surat Perampasan 60 Hektare Lebih Lahan Palestina di Hebron

Anggota Komite Pertahanan Tanah Palestina di kota Hebron, Suleiman Jaafra, mengatakan kepada media lokal bahwa pasukan pendudukan Israel telah memberi tahu sejumlah penduduk Palestina untuk mengevakuasi tanah mereka yang saat ini sedang ditanami pohon zaitun dan anggur, di daerah At-Taybeh, dengan dalih milik negara Israel.