Laporan: Kejahatan Kemanusiaan, Sejauh Mana Praktik Apartheid Israel terhadap Palestina?

Laporan investigasi tersebut merinci bagaimana Israel menerapkan sistem penindasan dan dominasi terhadap rakyat Palestina di mana pun mereka memiliki kendali atas hak-hak mereka, termasuk penduduk Palestina yang tinggal di Israel dan Wilayah Pendudukan Palestina 1967 (Tepi Barat dan Yerusalem Timur, serta Jalur Gaza), serta pengungsi Palestina di negara lain.

BY 4adminEdited Thu,14 Dec 2023,03:50 PM

Yerusalem, SPNA - Pihak berwenang Israel harus bertanggung jawab atas tindakan kejahatan apartheid terhadap penduduk Palestina. Hal ini disampaikan lembaga HAM internasional, Amnesty International, dalam sebuah laporan investigasi.

Laporan investigasi tersebut merinci bagaimana Israel menerapkan sistem penindasan dan dominasi terhadap rakyat Palestina di mana pun mereka memiliki kendali atas hak-hak mereka, termasuk penduduk Palestina yang tinggal di Israel dan Wilayah Pendudukan Palestina 1967 (Tepi Barat dan Yerusalem Timur, serta Jalur Gaza), serta pengungsi Palestina di negara lain.

Laporan investigasi komprehensif yang berjudul “Apartheid Israel terhadap Palestina: Sistem Dominasi yang Kejam dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan”, menguraikan bagaimana perampasan besar-besaran tanah dan properti Palestina, pembunuhan di luar hukum, pemindahan paksa, pembatasan pergerakan kejam, dan penolakan kewarganegaraan terhadap penduduk Palestina adalah semua hal yang terjadi. Semua komponen sistem atau kebijakan ini merupakan bentuk apartheid menurut hukum internasional.

Sistem ini dijaga dengan berbagai pelanggaran, di mana menurut Amnesty International merupakan apartheid, yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana didefinisikan dalam Statuta Roma dan Konvensi Apartheid.

Amnesty International menyerukan kepada Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) untuk mempertimbangkan kejahatan apartheid dalam penyelidikannya saat ini di Wilayah Pendudukan Palestina (Tepi Barat dan Yerusalem Timur), dan menyerukan kepada semua negara untuk menerapkan yurisdiksi internasional untuk membawa para pelaku kejahatan apartheid ke pengadilan.

“Laporan kami mengungkapkan sejauh mana sebenarnya rezim apartheid Israel. Baik bagi mereka yang tinggal di Gaza, Yerusalem Timur, dan wilayah Tepi Barat lainnya, atau di Israel sendiri. Penduduk Palestina diperlakukan sebagai kelompok ras inferior dan secara sistematis dirampas hak-haknya. Kami menemukan bahwa kebijakan kejam Israel berupa pemisahan, perampasan, dan pengucilan di seluruh wilayah yang berada di bawah kendalinya. Ini jelas merupakan apartheid. Komunitas internasional mempunyai kewajiban untuk bertindak,” kata Sekretaris Jenderal Amnesty International, Agnes Callamard.

Agnes Callamard menyebut bahwa tidak ada pembenaran bagi sistem yang dibangun berdasarkan penindasan rasis yang terstuktur dan berkepanjangan terhadap jutaan orang.

“Apartheid tidak mempunyai tempat di dunia kita. Negara-negara yang memilih memberikan kelonggaran bagi Israel akan mendapati diri mereka berada di sisi sejarah yang salah. Pemerintah yang terus memasok senjata kepada Israel dan melindunginya dari akuntabilitas di PBB berarti mendukung sistem apartheid, merusak tatanan hukum internasional, dan memperburuk penderitaan rakyat Palestina. Komunitas internasional harus menghadapi kenyataan apartheid Israel, dan mencari jalan menuju keadilan yang masih belum tersentuh,” kata Agnes Callamard.

Temuan-temuan Amnesty International didasarkan pada kerja keras yang dilakukan oleh sejumlah lembaga Palestina, Israel, dan internasional, yang semakin banyak menyatakan sistem apartheid dalam kondisi di Israel dan/atau di Wilayah Pendudukan Palestina.

Warga Palestina Diperlakukan Sebagai Ancaman Demografis

Sejak didirikan pada 1948, Israel telah menerapkan kebijakan untuk membangun dan mempertahankan mayoritas demografi Yahudi, serta memaksimalkan kendali atas tanah dan sumber daya untuk memberi manfaat bagi warga Yahudi Israel. Pada tahun 1967, Israel memperluas kebijakan ini ke Tepi Barat dan Jalur Gaza. Saat ini, semua wilayah yang dikuasai Israel terus dikelola dengan tujuan memberi manfaat bagi warga Yahudi Israel dan merugikan warga Palestina maupun pengungsi Palestina.

Amnesty International mengakui bahwa orang-orang Yahudi, seperti halnya orang-orang Palestina, mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri, dan tidak menentang keinginan Israel untuk menjadi rumah bagi orang-orang Yahudi. Demikian pula, mereka tidak menganggap bahwa pelabelan Israel sebagai “negara Yahudi” tidak menunjukkan niat untuk menindas dan mendominasi.

Namun, laporan Amnesty International menunjukkan bahwa pemerintahan Israel berturut-turut menganggap warga Palestina sebagai ancaman demografis dan menerapkan langkah-langkah untuk mengendalikan dan mengurangi kehadiran, serta akses mereka terhadap tanah di Israel dan Wilayah Pendudukan Palestina. Tujuan demografis ini diilustrasikan dengan baik oleh rencana resmi untuk melakukan Yahudisasi di wilayah Israel dan Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, yang terus menempatkan ribuan warga Palestina dalam risiko pengusiran atau pemindahan paksa.

Penindasan Tanpa Batas

Perang tahun 1947-1949 dan 1967, kekuasaan militer Israel atas Wilayah Pendudukan Palestina, dan pembentukan rezim hukum dan administratif terpisah di wilayah tersebut, telah memisahkan komunitas Palestina dan memisahkan mereka dari komunitas Yahudi Israel. Warga Palestina dikucilkan secara geografis dan politik, serta mengalami berbagai tingkat diskriminasi tergantung pada status dan tempat tinggal mereka.

Warga Palestina di Israel saat ini menikmati hak dan kebebasan yang lebih besar dibandingkan rekan-rekan mereka di Wilayah Pendudukan Palestina, sementara pengalaman warga Palestina di Jalur Gaza sangat berbeda dengan pengalaman mereka yang tinggal di Tepi Barat. Meskipun demikian, penelitian Amnesty International menunjukkan bahwa seluruh warga Palestina tunduk pada sistem menyeluruh yang sama. Perlakuan Israel terhadap warga Palestina di seluruh wilayah mempunyai tujuan yang sama: untuk memberikan hak istimewa kepada warga Yahudi Israel dalam distribusi tanah dan sumber daya, serta untuk meminimalkan kehadiran dan akses warga Palestina terhadap tanah.

Amnesty International menunjukkan bahwa pemerintah Israel memperlakukan warga Palestina sebagai kelompok ras inferior (dan Yahudi sebagai ras superior), yang ditentukan oleh status Arab mereka yang non-Yahudi. Diskriminasi rasial ini diperkuat dalam undang-undang yang berdampak pada warga Palestina di seluruh Israel dan Wilayah Pendudukan Palestina.

Misalnya, warga negara Palestina di Israel tidak diberi kewarganegaraan, sehingga menimbulkan pembedaan hukum dari warga Yahudi Israel. Di Tepi Barat dan Gaza, di mana Israel mengendalikan pencatatan penduduk sejak tahun 1967, warga Palestina tidak memiliki kewarganegaraan dan sebagian besar dianggap tidak memiliki kewarganegaraan, sehingga memerlukan kartu identitas dari militer Israel untuk tinggal dan bekerja di wilayah tersebut.

Pengungsi Palestina dan keturunan mereka, yang menjadi pengungsi pada konflik tahun 1947-1949 dan 1967, terus ditolak haknya untuk kembali ke tempat tinggal mereka sebelumnya. Hak kembali pengungsi Palestina ke tempat tinggal mereka merupakan hak sah mereka berdasarkan hukum internasional. Pengecualian yang dilakukan Israel terhadap pengungsi Palestina merupakan pelanggaran nyata terhadap hukum internasional yang telah menyebabkan jutaan orang terus-menerus berada dalam pengungsian paksa.

Warga Palestina di Yerusalem Timur yang dianeksasi diberikan izin tinggal permanen, bukan kewarganegaraan, meskipun status ini hanya bersifat permanen dalam nama saja. Hanya simbolis saja. Sejak tahun 1967, lebih dari 14.000 warga Palestina telah dicabut izin tinggal mereka atas kebijakan Kementerian Dalam Negeri, yang mengakibatkan pemindahan paksa mereka ke luar kota.

Status sebagai Warga Negara yang Lebih Rendah

Warga Palestina di Israel, yang mencakup sekitar 19 persen dari total populasi, menghadapi berbagai bentuk diskriminasi terstruktur yang diatur dalam sistem pemerintahan. Pada tahun 2018, diskriminasi terhadap warga Palestina diatur dalam undang-undang konstitusi yang, untuk pertama kalinya, mengabadikan Israel secara eksklusif sebagai “negara bangsa bagi orang-orang Yahudi”. Undang-undang tersebut juga mendorong pembangunan pemukiman Yahudi dan menurunkan status bahasa Arab sebagai bahasa resmi.

Laporan Amnesty International mendokumentasikan bagaimana warga Palestina dilarang untuk membeli ataupun menyewa 80 persen tanah negara Israel. Ini merupakan bagian dari serangkaian undang-undang diskriminatif mengenai alokasi, perencanaan, dan zonasi tanah yang dilakukan Israel.

Situasi di wilayah Negev atau Naqab di selatan Israel adalah contoh utama bagaimana kebijakan perencanaan dan pembangunan Israel dengan sengaja mengecualikan warga Palestina. Sejak tahun 1948, otoritas Israel telah mengadopsi berbagai kebijakan untuk melakukan Yahudisasi Negev atau Naqab, termasuk menetapkan wilayah yang luas sebagai “cagar alam” atau “zona tembak militer”, dan menetapkan target untuk meningkatkan populasi Yahudi. Hal ini menimbulkan dampak buruk bagi puluhan ribu warga Badui Palestina yang tinggal di wilayah tersebut.

Penetapan kawasan “cagar alam" tidak bertujuan untuk melestarikan alam, melainkan untuk merebut tanah Palestina. Cagar alam adalah salah satu alat yang digunakan Israel untuk mengambil alih tanah Palestina. Penetapan kawasan cagar alam membatasi penggunaan tanah oleh orang-orang Palestina. Hal ini dikarenakan pemilik tanah yang tanahnya telah dinyatakan sebagai bagian dari cagar alam tidak dapat membajak, mengolah lahan pertanian, dan melepaskan hewan gembalaan di tanah mereka tanpa persetujuan dari “Petugas Cagar Alam Israel”.

Sejauh ini, Israel telah mendeklarasikan sebanyak 48 kawasan cagar alam di Tepi Barat, dengan total luas mencapai 383.600 dunum atau 38.360 hektare. Total luas ini merupakan 12 persen dari luas Area C dan sekitar 7 persen dari seluruh luas keseluruhan Tepi Barat. Pada pertengahan 2022 lalu, Israel mengumumkan pemaksaan kendali atas tanah di daerah Palestina lainnya, di “Ain al-Auja” dekat Jericho, dengan mengubahnya menjadi kawasan cagar alam.

Sebanyak 35 lima desa Badui Palestina, yang dihuni sekitar 68.000 orang, saat ini “tidak diakui” oleh Israel, yang berarti desa-desa tersebut terputus dari pasokan jaringan listrik dan air nasional, serta menjadi target pembongkaran atau penghancuran berulang kali. Karena desa-desa tersebut tidak memiliki status resmi, penduduknya juga menghadapi pembatasan partisipasi politik dan tidak diikutsertakan dalam sistem layanan kesehatan dan pendidikan. Kondisi ini telah memaksa banyak orang untuk meninggalkan rumah dan desa mereka. Ini merupakan bentuk pengusiran atau pemindahan paksa.

Perlakuan tidak setara yang disengaja selama berpuluh-puluh tahun terhadap warga Palestina di Israel telah membuat mereka selalu dirugikan secara ekonomi dibandingkan dengan warga Yahudi Israel. Hal ini diperburuk oleh alokasi sumber daya negara yang sangat diskriminatif. Pada saat penyebaran Covid-19, paket pemulihan Covid-19 dari Israel, hanya 1,7 persen yang diberikan kepada otoritas lokal Palestina.

Perampasan

Perampasan dan pengusiran warga Palestina dari rumah mereka merupakan pilar penting dalam sistem apartheid Israel. Sejak berdirinya negara Israel telah melakukan perampasan tanah secara besar-besaran dan kejam terhadap warga Palestina, dan terus menerapkan berbagai undang-undang dan kebijakan untuk memaksa warga Palestina masuk ke wilayah kantong-kantong kecil. Sejak tahun 1948, Israel telah menghancurkan ratusan ribu rumah warga Palestina dan berbagai bangunan lainnya di seluruh wilayah yang berada di bawah yurisdiksi dan kendalinya.

Seperti di Negev, warga Palestina di Yerusalem Timur dan Area C Tepi Barat hidup di bawah kendali penuh Israel. Pihak berwenang menolak izin pendirian bangunan bagi warga Palestina di wilayah tersebut, sehingga memaksa mereka untuk membangun bangunan ilegal yang terus menerus dibongkar atau dihancurkan.

Di Tepi Barat, perluasan pemukiman ilegal Israel yang terus berlanjut memperburuk situasi. Pembangunan permukiman ilegal di Tepi Barat telah menjadi kebijakan pemerintah sejak tahun 1967. Permukiman ilegal Israel saat ini mencakup 10 persen tanah di Tepi Barat, dan sekitar 38 persen tanah Palestina di Yerusalem Timur diambil alih antara tahun 1967 dan 2017.

Berdasarkan hukum internasional, Tepi Barat dan Yerusalem merupakan wilayah pendudukan, dan semua kegiatan pembangunan permukiman di atas tanah Palestina tersebut adalah tindakan ilegal dan bertentangan dengan hukum internasional.

Kawasan tempat tinggal warga Palestina di Yerusalem Timur sering menjadi sasaran organisasi pemukim Israel yang mendapat dukungan penuh dari pemerintah Israel. Israel ini berupaya menggusur keluarga-keluarga Palestina dan menyerahkan rumah mereka kepada pemukim. Salah satu kawasan tersebut adalah Sheikh Jarrah, yang telah sering menjadi lokasi protes sejak Mei 2021 ketika banyak keluarga berjuang untuk mempertahankan rumah mereka di bawah ancaman tuntutan hukum pemukim.

Pembatasan Gerak yang Kejam

Sejak pertengahan tahun 1990-an, pemerintah Israel telah memberlakukan pembatasan pergerakan yang semakin ketat terhadap warga Palestina di Wilayah Pendudukan Palestina. Berbagai jaringan pos pemeriksaan militer, penghalang jalan, pagar, dan bangunan lainnya mengendalikan pergerakan warga Palestina di dalam Wilayah Pendudukan Palestina, dan membatasi perjalanan ke Israel atau ke luar negeri.

Pagar sepanjang 700 km, yang masih diperluas Israel, telah mengisolasi komunitas Palestina di dalam “zona militer”, dan mereka harus mendapatkan banyak izin khusus setiap kali memasuki atau meninggalkan rumah mereka. Di Gaza, lebih dari 2 juta warga Palestina hidup di bawah blokade Israel yang telah menciptakan krisis kemanusiaan. Hampir tidak mungkin bagi warga Gaza untuk bepergian ke luar negeri atau ke negara-negara Wilayah Pendudukan Palestina (di Tepi Barat dan Yerusalem) lainnya. Palestina sebenarnya terpisah dari negara-negara lain di dunia.

“Bagi warga Palestina, kesulitan bepergian masuk dan keluar Wilayah Pendudukan Palestina selalu mengingatkan akan ketidakberdayaan mereka. Setiap tindakan mereka harus mendapat persetujuan militer Israel,” kata Sekretaris Jenderal Amnesty International, Agnes Callamard.

Sistem perizinan di Wilayah Pendudukan Palestina merupakan simbol diskriminasi terang-terangan Israel terhadap warga Palestina. Ketika warga Palestina diblokade, terjebak berjam-jam di pos pemeriksaan militer, atau menunggu izin lain datang, pemukim Israel dapat bergerak secara bebas sesuka mereka.

Amnesty International mengkaji setiap pembenaran keamanan yang dijadikan dasar oleh Israel dalam perlakuannya terhadap warga Palestina. Laporan tersebut menunjukkan bahwa, meskipun beberapa kebijakan Israel mungkin dirancang untuk memenuhi tujuan keamanan yang sah, kebijakan tersebut diterapkan dengan cara yang sangat tidak proporsional dan diskriminatif sehingga tidak mematuhi hukum internasional. Kebijakan lain bahkan sama sekali tidak memiliki dasar keamanan yang masuk akal, dan jelas-jelas dibentuk oleh niat untuk menindas dan mendominasi.

Jalan lurus

Amnesty International memberikan sejumlah rekomendasi khusus tentang bagaimana pemerintah Israel dapat membongkar sistem apartheid dan diskriminasi, pengucilan, dan penindasan yang menopangnya.

Amnesty International menyerukan penghentian praktik brutal penghancuran rumah dan penggusuran paksa warga Palestina sebagai langkah pertama. Israel harus memberikan persamaan hak kepada seluruh warga Palestina di Israel dan Wilayah Pendudukan Palestina, sejalan dengan prinsip hak asasi manusia dan hukum kemanusiaan internasional. Negara ini harus mengakui hak para pengungsi Palestina dan keturunan mereka untuk kembali ke rumah di mana mereka atau keluarga mereka pernah tinggal, dan memberikan reparasi penuh kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Skala dan tingginya pelanggaran yang didokumentasikan dalam laporan Amnesty International memerlukan perubahan drastis dalam pendekatan komunitas internasional terhadap krisis hak asasi manusia di Israel dan Wilayah Pendudukan Palestina.

Semua negara dapat menerapkan yurisdiksi universal terhadap orang-orang yang diduga melakukan kejahatan apartheid berdasarkan hukum internasional dan negara-negara yang menjadi pihak pada Konvensi Apartheid mempunyai kewajiban untuk melakukan hal tersebut.

“Tanggapan internasional terhadap apartheid tidak boleh lagi terbatas pada kecaman dan sikap berdalih. Jika kita tidak mengatasi akar permasalahannya, maka masyarakat Palestina dan Israel akan tetap terjebak dalam siklus kekerasan yang telah menghancurkan begitu banyak nyawa,” kata Agnes Callamard.

Sekretaris Jenderal Amnesty International, Agnes Callamard, menyebut Israel harus menghapus sistem apartheid dan mulai memperlakukan warga Palestina sebagai manusia yang mempunyai hak dan martabat yang sama. Sebelum hal ini terwujud, perdamaian dan keamanan akan tetap menjadi harapan yang sulit bagi Israel dan Palestina.

Berdasarkan hukum internasional, Tepi Barat dan Yerusalem merupakan wilayah pendudukan, dan semua kegiatan pembangunan pemukiman di atas tanah Palestina tersebut adalah tindakan ilegal dan bertentangan dengan hukum internasional.

Zionis Israel membangun lebih dari 199 pemukiman ilegal dan 256 pos terdepan ilegal di Tepi Barat dan Yerusalem yang diduduki, di mana lebih dari 900.000 pemukim Israel tinggal, termasuk 350.000 di Yerusalem Timur yang diduduki. Militer dan pemukim Israel ini melakukan serangan hampir setiap hari terhadap penduduk Palestina dan harta benda mereka di Wilayah Pendudukan Palestina.

Meskipun tinggal di wilayah yang sama, penduduk Palestina di Tepi Barat dan Yerusalem tunduk pada hukum militer Israel. Namun, pemukim Israel yang tinggal secara ilegal di pemukiman atau komunitas permanen khusus Yahudi yang dibangun di tanah Palestina, tunduk pada sistem hukum sipil Israel.

(T.FJ/S: Amnesty Internasional)

leave a reply
Posting terakhir