Jalur Gaza, SPNA - Pasca serangan Toufan Al-Aqsa yang dilancarkan pejuang Palestina pada 7 Oktober lalu, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyebabkan ratusan sandera Israel dibawa ke Gaza, Israel memberikan respon dengan keras.
Mereka telah menjatuhkan lebih dari 18.000 ton bom di Gaza, menewaskan hampir 20.000 warga Palestina - sebagian besar perempuan, anak-anak, dan lansia - dalam 2 bulan penuh serangan udara tanpa henti.
Seorang pejabat tinggi PBB mengundurkan diri dari jabatannya, menyebut peristiwa di Gaza sebagai "kasus genosida yang sesungguhnya" di mana pemerintah Barat "sepenuhnya terlibat". Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bersumpah bahwa negaranya tidak akan menyerah hingga Hamas dieliminasi.
Saat serangan mengerikan ini memasuki minggu ke enam, masalah energi bisa menambah kompleksitas baru dalam perang yang sedang berlangsung.
UNCTAD sebelumnya telah melaporkan bahwa cadangan migas yang signifikan telah ditemukan di lepas pantai Jalur Gaza dan di wilayah Tepi Barat yang diduduki serta di tempat lainnya.
“Wilayah Pendudukan Palestina terletak di ladang migas yang cukup besar, di Area C Tepi Barat yang diduduki dan laut Mediterania di lepas Jalur Gaza. Namun, pendudukan Israel menghalangi warga Palestina untuk mengembangkan ladang migas mereka dan mendapatkan manfaat dari aset tersebut,” ungkap studi yang dilakukan UNCTAD pada tahun 2019.
Dalam konteks ini, masalah kedaulatan atas ladang gas di Gaza menjadi isu vital bagi Israel.
Perjanjian Oslo II yang ditandatangani pada tahun 1995 memberikan yurisdiksi maritim kepada Otoritas Palestina di perairannya hingga 20 mil laut dari pantai, oleh karena itu, PA menandatangani kontrak eksploitasi gas selama 25 tahun dengan British Gas Group (BGG) pada November 1999.
Pada tahun 2000, dua sumur yang dibor oleh British Gas di lepas pantai Gaza mengungkap cadangan migas diperkirakan sekitar 1,4 triliun kaki kubik. 60% persen dari cadangan tersebut adalah milik Palestina.
Pada Juli 2000, Perdana Menteri Israel memberikan izin keamanan kepada BG untuk mengebor sumur pertama yaitu: Marine 1, sebagai bagian dari pengakuan politik oleh Israel bahwa sumur tersebut berada di bawah yurisdiksi PA.
Setelah Rusia menyerbu Ukraina pada Februari 2022, Eropa mencoba mencari pasokan energi alternatif dan menghidupkan kembali inisiatif Palestina untuk mengekstrak gas alam di lepas pantai Gaza. Diharapkan bahwa proyek senilai 1,4 miliar USD ini - melibatkan Otoritas Palestina, Mesir, Israel, dan Hamas - dapat produksi gas dapat dimulai pada Maret 2024.
Proyek tersebut bisa menjadi dasar kerja sama saling menguntungkan antara Palestina dan Israel. Namun, dengan eskalasi dramatis konflik Israel-Palestina dalam beberapa minggu terakhir, proyek ini tidak lagi tampak akan terwujud dalam waktu yang dapat diprediksi.
Sebagai gantinya, pada 29 Oktober, ketika perang terus berlanjut tanpa ada tanda gencatan senjata, pemerintahan Netanyahu memberikan 12 lisensi kepada enam perusahaan, termasuk BP Inggris dan ENI dari Italia, untuk eksplorasi gas alam di wilayah Cekungan Mediterania negara tersebut.
Sumber daya baru minyak dan gas alam di Laut Tengah Timur ini diprediksi memiliki nilai sekitar 524 miliar USD. Namun, menurut laporan PBB, sebagian besar aset tersebut harus diperoleh dari wilayah yang diduduki Palestina.
Selain itu, dalam KTT G20 di New Delhi pada September, AS dan Uni Eropa mengumumkan dukungan mereka untuk membangun koridor ekonomi yang menghubungkan India dengan Timur Tengah dan Eropa.
Dalam konteks ini, isu kedaulatan atas ladang migas Gaza menjadi sangat penting bagi Israel.
Netanyahu menggambarkannya sebagai “proyek kerjasama terbesar dalam sejarah”, dia menambahkan: "Negara Israel, akan menjadi persimpangan sentral dalam koridor ekonomi; kereta api dan pelabuhan kita akan membuka pintu gerbang baru dari India melalui Timur Tengah menuju Eropa, dan sebaliknya.”
Rencana Israel adalah menjadi eksportir utama gas dan sebagian minyak. Dalam 20 tahun terakhir, negara ini telah bertransformasi dari pengimpor bersih bahan bakar fosil menjadi eksportir gas alam.
Pernyataan perang Netanyahu pada Oktober 2023 terhadap Gaza merupakan kelanjutan dari invasi Israel sebelumnya ke Gaza pada 2014 yang menelan 2.104 korban jiwa, Tujuan militer yang mendasari pendudukan Gaza adalah pengusiran warga Palestina dari tanah air mereka.
Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, mengatakan bahwa rencananya adalah “mengeliminasi segalanya,” dan menteri lain, Gideon Sa'ar, mengatakan bahwa Gaza “harus menjadi lebih kecil pada akhir perang”. Selain itu, sebuah konsep dasar pemerintah Israel mengusulkan untuk merelokasi 2,3 juta penduduk Jalur Gaza ke Semenanjung Sinai Mesir.
Namun, tujuan utama bukan hanya menghancurkan Hamas dan/atau mengusir Palestina dari tanah air mereka, melainkan juga merampas sumber daya gas Gaza yang bernilai miliaran dolar.
Artikel ditulis oleh Seyed Hossein Mousavian dan dipublikasi oleh Middle East Eye, 15/11/2203.
(T.RS/S:MiddleEastEye)