Yerusalem, SPNA - Bersamaan dengan serangan militer di Gaza, partai-partai keagamaan ekstremis dalam koalisi pemerintah Israel memanfaatkan peluang strategis setelah Operasi Badai Al-Aqsha untuk meluncurkan agenda pengusiran sistematis di Tepi Barat yang diduduki.
Kebijakan diam-diam ini didukung oleh beberapa faktor, terutama meningkatnya serangan kekerasan pemukim Israel pasca 7 Oktober, meningkatnya tekanan politik terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, dan pengaruh ekstremis pemukim terhadap koalisi penguasa Israel dan lembaga-lembaga penting pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan
Sebagai contoh, hampir 250 juta dolar Amerika dari anggaran nasional yang dialokasikan untuk biaya perang pada bulan Desember 2023 oleh Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, diarahkan untuk proyek pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat.
Setelah pengumuman Bezalel Smotrich tersebut, Uni Eropa mengkritik ketentuan pendanaan pemukiman ilegal dalam anggaran yang direvisi, dengan tepat menyatakan bahwa perluasan pemukiman ilegal Israel dan pemindahan paksa warga Palestina melemahkan kondisi keamanan di Tepi Barat yang diduduki, dan tidak akan membuat Israel lebih aman.
Perang Diam-diam di Tepi Barat
Tel Aviv secara signifikan memperketat cengkeramannya terhadap penduduk Palestina di Tepi Barat. Hal ini termasuk menghalangi pekerja Palestina untuk bekerja di Israel dan penolakan menteri keuangan untuk mentransfer dana milik Palestina ke Otoritas Palestina (PA) untuk membayar gaji pekerja di Gaza.
Di bidang militer, Israel telah melancarkan operasi besar-besaran di Tepi Barat sejak 7 Oktober, yang mengakibatkan ratusan orang dibunuh dan lebih dari 6.000 penduduk Palestina lainnya ditangkap. Tindakan kekerasan, pemindahan paksa warga sipil, dan serangan pemukim Israel bersenjata, semakin meningkat setelah pemberian senjata kepada pemukim Israel yang meningkat kuat di seluruh wilayah pendudukan Palestina di Tepi Barat, yang dilakukan Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir.
Ben-Gvir, yang memimpin agenda tersembunyi partai-partai nasionalis dan agama dalam pemerintahan koalisi Netanyahu, memanfaatkan peristiwa Badai Al-Aqsha untuk menggusur 25 komunitas Badui Palestina, termasuk 266 keluarga di kaki bukit sebelah timur dekat Ramallah dan Lembah Jordan.
Di bawah tekanan dari koalisi ekstremisnya, Netanyahu telah menghentikan penghancuran pos-pos ilegal Yahudi di Tepi Barat. Hal ini bertentangan dengan rekomendasi Menteri Pertahanan Israel, Yoav Galant, yang berusaha meredakan ketegangan di Tepi Barat ketika konflik berkecamuk di wilayah utara dan selatan Israel.
Pada awal Januari, Smotrich dan Ben-Gvir secara terbuka menyerukan pengusiran penduduk Palestina di Jalur Gaza untuk memberi jalan bagi kembalinya pemukim Zionis ke Jalur Gaza untuk pertama kalinya sejak pengusiran mereka pada tahun 2005. Komentar-komentar kedua menteri ekstremis yang bersifat agresif memicu keretakan baru dengan pemerintahan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Joe Biden, yang dengan tajam mengkritik retorika Tel Aviv yang “menghasut dan tidak bertanggung jawab”.
Misi Blinken di Ramallah
Kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Antony Blinken, baru-baru ini untuk bertemu dengan Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, tidak berfokus pada diskusi pascaperang mengenai Jalur Gaza, seperti yang banyak disarankan oleh Washington. Namun, pada upaya untuk mengendalikan eskalasi di Tepi Barat.
Wilayah Palestina yang diduduki di Tepi Barat saat ini adalah bom waktu yang dapat meledak kapan saja, dalam insiden apa pun, kecil atau besar, dan dapat membahayakan upaya Amerika untuk meredakan dan mengelola eskalasi militer di perbatasan Lebanon.
Tujuan utama Blinken adalah untuk memberikan tekanan pada Otoritas Palestina, yang memerintah Tepi Barat, untuk mencegah dan menghentikan pemberontakan rakyat Palestina yang dapat mengarah pada pembukaan medan perang ketiga melawan Tel Aviv.
Pekan lalu, otoritas keamanan dan militer Israel mengintensifkan peringatan kepada anggota kabinet, mendesak Netanyahu untuk mengurangi ketegangan guna mencegah intifada ketiga, yang mungkin sulit dibendung oleh tentara Israel, di mana pada saat yang sama Israel sedang berfokus pada Jalur Gaza, Lebanon, dan dampak ekonomi signifikan akibat blokade yang dilakukan Yaman.
AS dan Israel Tidak Sependapat
Amerika menghadapi jadwal yang sangat penuh tekanan ketika bersiap untuk pemilihan presiden mendatang. Meskipun ada upaya untuk mencari solusi sementara atas kerusuhan regional yang dipicu oleh perang Tel Aviv di Jalur Gaza, Washington menyadari semakin terjerat dalam krisis di Asia Barat, akibat serangan udara yang dilakukannya baru-baru ini di Yaman.
Hal yang sangat meresahkan Gedung Putih adalah sekutunya, Israel, tampaknya tidak peduli dengan dilema Amerika ini, dan Netanyahu jauh lebih fokus pada masa depan politik pribadinya dan agenda radikal mitra koalisinya, sebuah agenda yang dianggap tidak selaras dengan kepentingan AS secara keseluruhan.
Meskipun ada peringatan terus-menerus tentang situasi yang tidak menentu di Tepi Barat, Perdana Menteri Israel menolak untuk menekan sekutu-sekutunya, karena takut terhadap ancaman berulang kali untuk meninggalkan pemerintahan koalisinya.
Amerika Serikat tidak mampu melakukan eskalasi militer di Tepi Barat karena hal ini mungkin akan berdampak besar terhadap usulan pascaperang di Gaza dan juga terhadap politik dalam negerinya. Otoritas Palestina, yang kini sangat tidak populer di kalangan konstituennya di Palestina, juga merupakan komponen penting dalam proyek-proyek Amerika Serikat di Asia Barat, yang banyak di antaranya tumpang tindih dengan berbagai agenda regional.
Sejak awal perang saat ini di Jalur Gaza, Amerika telah berupaya untuk melibatkan Otoritas Palestina dalam rehabilitasi politik Gaza pascaperang, dengan bekerja sama dengan beberapa negara Arab dan Barat, sebagai langkah awal menuju kembali perundingan solusi dua negara antara Israel dan Palestina.
Jalan menuju “perdamaian yang adil” telah menjadi elemen kunci dalam diskusi antara Washington dan Riyadh, di mana Riyadh menekankan langkah nyata Israel menuju solusi dua negara sebelum mempertimbangkan normalisasi penuh dengan Tel Aviv.
Pada awalnya opsi dua negara yang sulit dipahami merupakan pertimbangan sekunder dalam perundingan normalisasi. Namun, serangan Israel yang brutal di Jalur Gaza, yang telah membunuh lebih dari 24.000 orang, di mana sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, kin telah menjadi komponen utama bagi Arab Saudi.
Riyadh memiliki motivasinya sendiri, baik internal maupun eksternal, dan berpegang teguh pada jalur dua negara. Dengan meningkatnya ketidakpuasan di Amerika atas cara Biden menangani krisis di kawasan ini, Gedung Putih memerlukan terobosan diplomatik di Asia Barat untuk mengamankan perolehan suara dalam pemilu. Namun, jajak pendapat baru-baru ini, yang hampir pasti akan diperburuk oleh serangan yang tidak beralasan di Yaman pada minggu lalu, terus menunjukkan ketidakpuasan pemilih AS (57 persen) terhadap manajemen Biden dalam kebijakan Asia Barat.
Masa Depan Otoritas Palestina yang Tidak Menentu
Adapun hal yang lebih membingungkan lagi adalah perhitungan militer Israel yang didukung AS berbeda dengan perhitungan pemerintahan yang dipimpin Netanyahu. Militer bertujuan untuk mendemobilisasi pasukan cadangan dan beralih ke tingkat agresi yang lebih ringan dan lebih tepat sasaran di Gaza, sejalan dengan saran AS, sementara pada saat yang sama, persiapan sedang dilakukan untuk potensi eskalasi Israel dengan Lebanon.
Banyak hal yang tidak diketahui mengenai koordinasi yang sedang berlangsung antara militer Israel dan Pentagon, dalam hal apakah mereka bersedia melemahkan tujuan dan taktik Tel Aviv di Jalur Gaza. Selain itu adanya kekhawatiran bersama tentang pemerintah sayap kanan Israel yang lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada pertimbangan strategis. Namun menghindari konflik di Tepi Barat merupakan kekhawatiran utama bagi keduanya, oleh karena itu hal ini menjadi titik fokus kunjungan Blinken ke Abbas dan diplomasi dengan Arab Saudi.
Ancaman eskalasi di Tepi Barat juga digunakan sebagai pengaruh AS untuk merebut kembali dana Palestina dari pemerintahan Netanyahu. Kunci dari upaya Amerika Serikat adalah mengamankan Otoritas Palestina yang lemah dan tidak efektif sebagai mitra utama untuk bergerak maju, dan mengubah citra mereka menjadi alternatif yang aman bagi Hamas dan faksi perlawanan lainnya di Gaza.
Sejak 7 Oktober, Otoritas Palestina telah mencari perlindungan politik dengan menyelaraskan diri dengan sikap Mesir dan Yordania, yang memperingatkan Israel dan sekutunya terhadap perpindahan penduduk di Gaza dan Tepi Barat. Hal ini meningkatkan keterlibatan antara Ramallah, Kairo, dan Amman, yang sesuai dengan agenda Washington.
Tidak satu pun dari hal-hal tersebut yang menyamarkan fakta bahwa Otoritas Palestina yang tidak populer, yang kini sangat dibenci sebagai pendukung keruntuhan Gaza, karena dianggap berupaya untuk menggulingkan perlawanan rakyat Palestina. Pada saat yang sama Otoritas Palestina tidak dapat mengelola berbagai medan perang dengan baik, dengan pemerintah Israel yang kebal terhadap tuntutan hukum dengan dukungan Amerika Serikat.
Washington tidak bisa memberikan solusi bagi Palestina dalam beberapa dekade sejak perdamaian dicapai di Oslo, jadi apa yang bisa dilakukan Amerika saat ini? Negara-negara Arab yang kaya tidak tertarik untuk memikul beban Otoritas Palestina, padahal AS pun hampir tidak mampu mempertahankan bantuan hidup mereka. Bahkan pemimpin Uni Emirat Arab, Mohammad bin Zayed, orang Arab yang menjadi tokoh penting dalam Perjanjian Abraham dengan Israel, mengatakan kepada Netanyahu untuk "Pergilah, minta sama Zelensky" ketika Netanyahu datang meminta uang untuk menopang Otoritas Palestina.
Solusi bantuan hanyalah bersifat sementara. Hanya dibutuhkan beberapa percikan untuk menghancurkannya. Ketika pemukim ilegal Israel merajalela di seluruh Tepi Barat, berkat dukungan pemerintahan Netanyahu, Amerika akan menjadi pengasuh penuh waktu sendirian, dalam upaya yang sia-sia untuk mengurus setiap permasalahan. Kita hanya berjarak satu langkah saja dari ledakan.
Bombardir Gaza Terus Berlanjut
Sementara itu, Israel terus membombardir Jalur Gaza dan melakukan kejahtan genosida terhadap penduduk Gaza. Kementerian Kesehatan Palestina di Jalur Gaza, pada Senin (15/01), mengumumkan bahwa jumlah korban jiwa akibat pemboman Israel di Jalur Gaza telah meningkat menjadi 24.285 orang dan 61.154 lainnya mengalami luka-luka, di mana mayoritas korban korban jiwa pemboman Israel adalah anak-anak dan perempuan.
Israel melakukan genosida dengan melakukan pemboman secara brutal terhadap pusat-pusat pemukiman penduduk, tempat ibadah, sekolah, hingga rumah sakit.
(T.FJ/S: The Cradle)