Amerika Bangun Pelabuhan di Laut Gaza, Analis Militer Peringatkan Adanya Tujuan Tersembunyi

Sejak tanggal 7 Oktober hingga saat ini, dengan dukungan Amerika dan Eropa, tentara Israel masih terus melanjutkan agresi terhadap Jalur Gaza dan juga melakukan serangan di berbagai kawasan di Tepi Barat. Pesawat tempur Israel mengebom kawasan di sekitar rumah sakit, gedung, apartemen, dan rumah penduduk sipil Palestina. Israel juga mencegah dan memblokade masuknya air, makanan, obat-obatan, dan bahan bakar ke Jalur Gaza.

BY 4adminEdited Mon,11 Mar 2024,05:32 PM
Krisis kemanusiaan di Jalur Gaza

Gaza, SPNA - Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, sebagaimana dilansir Aljazeera, pada Jumat (08/03/2024), mengatakan bahwa ia memperkirakan koridor bantuan laut akan mulai beroperasi antara Siprus dan Jalur Gaza pada awal pekan depan untuk menyalurkan bantuan yang sangat dibutuhkan oleh penduduk Palestina di Jalur Gaza.

Hal ini disampaikan Ursula menyusul pengumuman Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, bahwa ia telah memerintahkan tentara untuk mulai melaksanakan proyek tersebut, yang telah disetujui Israel. Beberapa pengamat menganggapnya sebagai langkah yang menguntungkan Israel.

Ursula menambahkan bahwa bantuan pangan pertama melalui koridor ini dapat meninggalkan Siprus pada Jumat dari pelabuhan kota Larnaca, dalam sebuah percobaan.

 

Inggris Bergabung dengan Amerika

Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, dalam pidato kenegaraannya mengatakan bahwa ia telah menugaskan tentara AS dalam misi darurat untuk mendirikan pelabuhan di pantai Gaza dengan tujuan mengirimkan bantuan kemanusiaan dalam jumlah besar.

Menteri Luar Negeri Inggris, David Cameron, juga mengumumkan bahwa negaranya akan bekerja sama dengan Amerika Serikat untuk membuka koridor laut untuk menyalurkan bantuan langsung ke Gaza.

“Bersama dengan Amerika Serikat, Inggris, dan mitranya mengumumkan pembukaan koridor laut untuk mengirimkan bantuan langsung ke Gaza,” kata David Cameron.

Media Israel mengutip seorang pejabat senior Israel yang namanya tidak disebutkan mengatakan bahwa Tel Aviv mendukung pendirian pelabuhan apung sementara untuk membawa bantuan kemanusiaan kepada penduduk Jalur Gaza.

Menurut pejabat tersebut, inisiatif ini sebenarnya telah dibahas antara Israel dan Amerika Serikat pada waktu lalu dan keduanya sepakat untuk mengoordinasikan pelaksanaannya.

 

Spesifikasi Pelabuhan

Pakar militer dan strategis Yordania, Hisham Khreisat, menjelaskan bahwa gagasan pendirian pelabuhan semacam itu sudah diusulkan sejak 10 tahun lalu. Namun, belum menemui titik terang karena penolakan Israel pada saat itu. Bersamaan dengan perang Israel di Jalur Gaza, seperti yang dikemukakan Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, gagasan ini mencapai kesepakatan, persetujuan dan restu dari Siprus dan Yunani.

Hisham Khreisat menunjukkan bahwa biaya awal proyek ini diperkirakan mencapai sebesar 35 juta dolar Amerika, yang akan dibayar oleh Amerika Serikat. Kedalaman pelabuhan tidak akan kurang dari 17 meter, untuk menampung semua kapal bantuan.

Hisham Khreisat menyatakan bahwa luas pelabuhan tersebut akan mencapai 6 kilometer persegi karena akan mencakup rumah sakit terapung yang merawat sekitar 2,3 juta penduduk sipil Palestina di Jalur Gaza, serta rumah penampungan terapung di kapal yang berada di samping rumah sakit.

Hisham Khreisat menjelaskan bahwa sebuah pelabuhan di Siprus akan dialokasikan, dibiayai oleh Amerika Serikat, sehingga kapal-kapal tersebut dapat mencapai lokasi pelabuhan di tepi kota Khan Yunis di pantai Gaza, dengan memperhatikan jarak dari pelabuhan Siprus tersebut ke pelabuhan Amerika di Gaza diperkirakan berjarak 387 kilometer.

Hisham Khreisat menunjukkan bahwa kapal-kapal tersebut pertama-tama akan pergi ke pelabuhan Ashdod di Israel untuk diaudit dan diperiksa. Setelah itu, kapal dikirim ke Jalur Gaza di bawah kendali Angkatan Laut Israel.

 

Tujuan tersembunyi

Analis militer, Hisham Khreisat, menunjukkan bahwa terlepas dari segala “aspek kemanusiaan” dari hal yang diumumkan Joe Biden dan pengiriman bantuan ke Jalur Gaza serta pendirian rumah sakit terapung untuk merawat korban perang, ada aspek lain dari pelabuhan terapung. Aspek ini berkaitan dengan disinyalir untuk memindahkan atau mengungsikan penduduk Palestina ke Eropa dan menggagalkan segala peran pintu penyeberangan darat Rafah yang berbatasan dengan Mesir.

“Pelabuhan terapung di tepi Gaza tampaknya merupakan bantuan, akan tetapi kenyataannya tujuannya adalah migrasi sukarela (penduduk Palestina) ke Eropa,” kata Hisham Khreisat.

Hisham Khreisat menegaskan bahwa Pembangunan pelabuhan seperti itu tentu akan membuat pintu perbatasan Rafah yang berbatasan langsung dengan Mesir tidak bisa digunakan karena Israel tidak mempercayai perbatasan tersebut. Israel menganggapnya sebagai pintu masuk utama senjata kelompok perlawanan Palestina ke Jalur Gaza, meskipun dengan pemeriksaan yang cukup ketat.

Hisham Khreisat juga mengindikasikan bahwa Biden sangat prihatin dengan dampak invasi tentara Israel ke kota Rafah, selatan Jalur Gaza dan tidak berakhirnya bencana kemanusiaan di Jalur Gaza. Hal ini berdampak besar pada hasil pemilu di Amerika Serikat, di mana mayoritas penduduknya menyerukan gencatan senjata dan penghentian dana kepada militer Israel. Oleh karena itu, pembangunan pelabuhan akan dipercepat demi citra positif Joe Biden.

Beberapa hari lalu, The Washington Post, mengungkapkan bahwa sejak awal perang dahsyat di Jalur Gaza pada 7 Oktober tahun lalu Amerika Serikat menyetujui lebih dari 100 perjanjian penjualan senjata ke Israel dan menyerahkannya.

Penjualan tersebut mencakup ribuan amunisi berpresisi, rudal penghancur bunker, dan bantuan militer mematikan lainnya. The Washington Post menunjukkan bahwa hanya dua penjualan militer ke Israel yang diumumkan sejak awal perang pada tanggal 7 Oktober. Amerika Serikat mengirim miliyaran dolar ke militer Israel, di saat yang sama hanya mengirim bantuan kecil untuk Palestina agar bisa bertahan dalam genosida dan sebagai alat propaganda kemanusiaan.

Tindakan Amerika Serikat untuk membangun pelabuhan di laut Gaza dengan alasan keprihatinan terhadap bencana kemanusiaan hanyalah upaya pencitraan global, di mana pada saat yang sama Amerika Serikat memiliki kekuatan untuk menekan Israel menghentikan Genosida, menghentikan pendanaan militer, dan mampu menekan Israel untuk membuka pintuk perbatasan Rafah agar bantuan kemanusiaan bisa masuk. Amerika juga beberapa kali memveto resolusi gencatan senjata dan masuknya bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza.

Pintu perbatasan atau penyeberangan Rafah dianggap sebagai satu-satunya jalan keluar Jalur Gaza dengan dunia luar. Perbatasan ini memiliki posisi yang cukup penting terutama terkait dengan isu bantuan kemanusiaan yang masuk melalui Rafah pada masa perang, di mana Israel membatasi masuknya bantuan ke Jalur Gaza. Pembatasan masuknya bantuan ke Rafah mengancam tragedy kelaparan, terutama di wilayah utara Jalur Gaza, yang hingga saat ini sudah beberapa orang meninggal dunia akibat kelaparan dan malnutrisi.

Pergerakan orang dan barang dari dan ke Jalur Gaza sebelumnya bisa dilakukan melalui enam pintu penyeberangan: Beit Hanoun (Erez), Karni, Nahal Oz, Kerem Shalom, dan Sufa, selain penyeberangan Rafah yang berbatasan dengan Mesir.

Setelah blokade yang dilakukan Israel terhadap Jalur Gaza sejak tahun 2007, seluruh pintu penyeberangan tersebut ditutup kecuali penyeberangan Rafah dan Beit Hanoun yang diperuntukkan bagi pergerakan individu, dan penyeberangan Kerem Shalom yang diperuntukkan bagi angkutan barang.

 

Panggilan internasional

Pengumuman Amerika, ketergesaan Inggris untuk bergabung dalam proyek ini, dan restu Israel atas langkah-langkah tersebut tidak berhasil menghentikan seruan untuk membuka kembali penyeberangan darat Jalur Gaza agar bantuan kemanusiaan yang telah menumpuk di pintu Rafah segera dapat masuk ke Jalur Gaza.

Juru Bicara Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Jeremy Lawrence, menyerukan penghentian segera perang di Jalur Gaza, pembunuhan penduduk sipil, dan penghancuran Jalur Gaza.

Jeremy Lawrence menyerukan pembukaan penuh penyeberangan perbatasan dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan pergerakan konvoi bantuan kemanusiaan dengan bebas dan aman sampai kepada penduduk sipil di mana pun mereka berada.

Juru bicara Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB memperingatkan bahwa serangan darat apa pun yang dilakukan Israel di Rafah akan mengakibatkan banyak korban jiwa dan meningkatkan risiko kejahatan yang lebih brutal.

Sejak tanggal 7 Oktober hingga saat ini, dengan dukungan Amerika dan Eropa, tentara Israel masih terus melanjutkan agresi terhadap Jalur Gaza dan juga melakukan serangan di berbagai kawasan di Tepi Barat. Pesawat tempur Israel mengebom kawasan di sekitar rumah sakit, gedung, apartemen, dan rumah penduduk sipil Palestina. Israel juga mencegah dan memblokade masuknya air, makanan, obat-obatan, dan bahan bakar ke Jalur Gaza.

Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, pada Senin (11/03), mengumumkan bahwa jumlah korban jiwa akibat pemboman Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 lalu telah meningkat menjadi 31.112 orang dan 72.760 lainnya mengalami luka-luka, di mana mayoritas korban korban jiwa pemboman Israel adalah anak-anak dan perempuan.

Sementara itu, berdasarkan laporan pihak berwenang Jalur Gaza dan organisasi internasional, lebih dari 85 persen atau sekitar 1,9 juta penduduk Palestina di Jalur Gaza terpaksa harus mengungsi setelah kehilangan tempat tinggal dan penghidupan akibat pemboman Israel.

(T.FJ/S: Aljazeera)

 

leave a reply