Netanyahu Otak di Belakang Rencana Biden untuk Kirim Bantuan Lewat Laut

Pada 13 Oktober, satu minggu sebelum Netanyahu menyarankan pengiriman bantuan melalui laut, Kementerian Intelijen Israel membocorkan rencana untuk mendeportasi paksa 2,3 juta penduduk Jalur Gaza dengan alasan kemanusiaan. Rencana tersebut mengusulkan agar menjadikan Jalur Gaza sebagai tempat tidak layak huni dan sangat berbahaya bagi kehidupan, sehingga penduduknya secara sukarela memilih untuk meninggalkan Jalur Gaza yang terus menerus dibombardir dan dikepung.

BY 4adminEdited Fri,15 Mar 2024,03:20 AM

Gaza, SPNA - Sumber diplomatik senior Israel, pada Minggu (10/03/2024), melaporkan bahwa Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, merupakan pihak yang memprakarsai rencana pengiriman bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza melalui Siprus bekerja sama dengan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden.

“Netanyahu mengambil inisiatif untuk memberikan bantuan kemanusiaan maritim bagi penduduk sipil di Jalur Gaza, bekerja sama dengan pemerintahan Biden,” kata sumber tersebut.

Menurut sumber tersebut, Netanyahu berdiskusi dengan Presiden Biden mengenai konsep pengiriman bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza melalui laut, setelah proses inspeksi dan pemeriksaan Israel di Siprus. Diskuni ini dilakukan pada tanggal 22 Oktober, hanya dua minggu setelah serangan Israel ke Jalur Gaza dimulai.

“Kemudian, pada tanggal 31 Oktober, Perdana Menteri Netanyahu menguraikan strategi ini kepada Presiden Siprus (Nikos) Christodoulides,” kata sumber tersebut menambahkan.

Selanjutnya, Netanyahu dan Biden membahas proposal tersebut lagi pada 19 Januari. The Jerusalem Post mencatat lebih lanjut bahwa sumber tersebut, yang dipandang dekat dengan Perdana Menteri, menyatakan bahwa Biden hanya melaksanakan rencana Netanyahu, bukan memulai sesuatu yang baru.

Dalam pidato kenegaraan pekan lalu, Biden mengumumkan rencana militer Amerika untuk membangun pelabuhan darurat sementara di lepas pantai Gaza untuk membantu memfasilitasi masuknya bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza melalui laut.

Laporan media menyebutkan bahwa Biden mengusulkan rencana tersebut karena frustrasi atas penolakan Netanyahu untuk mengizinkan bantuan masuk ke Jalur Gaza, di mana warga Palestina mulai meninggal karena kelaparan. Laporan juga menunjukkan bahwa Biden menentang rencana Netanyahu untuk melancarkan invasi darat ke Rafah, kota Palestina di perbatasan Mesir di mana lebih dari 1 juta pengungsi Palestina mengungsi dari serangan genosida Israel.

Sejumlah lembaga kemanusiaan telah memperingatkan bahwa invasi Israel ke Rafah hanya akan menjadi malapetaka yang semakin parah dan berdarah-darah.

Laporan yang menyebutkan bahwa Netanyahu memprakarsai rencana pengiriman bantuan melalui laut yang bekerjasama dengan Joe Biden untuk mewujudkannya menimbulkan kekhawatiran, bahwa pelabuhan sementara tersebut dibangun untuk tujuan lain.

Rencana seperti itu akan mengalihkan tanggung jawab dan kecaman terhadap Israel, karena rezim pendudukan Israel terus menerus menolak izin masuknya bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza sampai hari ini. Hal ini mungkin juga membuka pintu bagi pembersihan etnis.

Pada 13 Oktober, satu minggu sebelum Netanyahu menyarankan pengiriman bantuan melalui laut, Kementerian Intelijen Israel membocorkan rencana untuk mendeportasi paksa 2,3 juta penduduk Jalur Gaza dengan alasan kemanusiaan. Rencana tersebut mengusulkan agar menjadikan Jalur Gaza sebagai tempat tidak layak huni dan sangat berbahaya bagi kehidupan, sehingga penduduknya secara sukarela memilih untuk meninggalkan Jalur Gaza yang terus menerus dibombardir dan dikepung. Penduduk Palestina disebut bisa dipaksa mengungi secara sukarela ke ke Mesir, Yunani, Spanyol, atau bahkan Kanada.

Hal ini, pada akhirnya akan membuka jalan bagi Israel untuk mencaplok Jalur Gaza secara keseluruhan yang sudah ditinggalkan oleh penduduknya, lalu Israel akan membangun permukiman Yahudi di Jalur Gaza. Hal yang seperti ini yang terjadi di tanah bersejarah Palestina ketika Nakba dan terjadi hingga sekarang di Tepi Barat, di mana Israel mengusir atau memaksa penduduknya mengungsi, lalu Israel merampas tanah dan rumah mereka.

Jika setelah pelabuhan sementara Amerika didirikan, tentara Israel melakukan serangan darat ke Rafah, seperti ancaman Netanyahu, hal ini akan memungkinkan Israel untuk memaksa sejumlah besar penduduk Palestina untuk meninggalkan Jalur Gaza melalui laut dan tidak dapat kembali lagi.

Sejak tanggal 7 Oktober hingga saat ini, dengan dukungan Amerika dan Eropa, tentara Israel masih terus melanjutkan agresi terhadap Jalur Gaza dan juga melakukan serangan di berbagai kawasan di Tepi Barat. Pesawat tempur Israel mengebom kawasan di sekitar rumah sakit, gedung, apartemen, dan rumah penduduk sipil Palestina. Israel juga mencegah dan memblokade masuknya air, makanan, obat-obatan, dan bahan bakar ke Jalur Gaza.

Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, pada Kamis (14/03), mengumumkan bahwa jumlah korban jiwa akibat pemboman Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 lalu telah meningkat menjadi 31.341 orang dan 73.13421 lainnya mengalami luka-luka, di mana mayoritas korban korban jiwa pemboman Israel adalah anak-anak dan perempuan.

Sementara itu, berdasarkan laporan pihak berwenang Jalur Gaza dan organisasi internasional, lebih dari 85 persen atau sekitar 1,9 juta penduduk Palestina di Jalur Gaza terpaksa harus mengungsi setelah kehilangan tempat tinggal dan penghidupan akibat pemboman Israel.

(T.FJ/S: The Cradle, Aljazeera)

leave a reply
Posting terakhir