Israel, Negara yang Ramah Pemerkosa

Oleh: Robert Inlakesh

BY 4adminEdited Tue,19 Mar 2024,12:19 PM

Klaim Israel yang tidak berdasar tentang pemerkosaan yang pada tanggal 7 Oktober telah mendominasi berita utama media barat. Namun, sayangnya kasus-kasus pemerkosaan terhadap penduduk Palestina dan serangan seksual terhadap pemukim Israel, yang terdokumentasi secara kredibel kurang mendapat perhatian.

Bencana kekerasan seksual dan insiden pemerkosaan yang terjadi di Israel tidak terjadi sejak lima bulan yang lalu, akar permasalahannya sudah ada sejak lama. Terdapat konteks penting untuk memahami lingkungan yang penuh kekerasan di Israel.

Masalah Kekerasan Seksual Besar-besaran di Israel

Pada tanggal 8 Februari, media Israel, Haaretz, mengungkap sebuah laporan mengerikan, di mana ada sebanyak 116 berkas terpisah yang merinci contoh-contoh penyerangan seksual dan kekerasan terhadap perempuan dan anak di bawah umur di antara warga Israel yang mengungsi dari permukiman ilegal di utara Israel karena konflik militer yang sedang berlangsung dengan Jalur Gaza dan Lebanon.

Kasus-kasus ini mengemuka dalam komite khusus parlemen Israel, Knesset, mengenai Status Perempuan dan Kesetaraan Gender, di mana ketua komite, Pnina Tamano-Shata (Partai Persatuan Nasional), mengkritik perwakilan polisi karena gagal mengumpulkan data akurat dari setiap hotel mengenai kekerasan dan serangan seksual.

Meskipun adanya perselisihan terkait kurangnya data yang lengkap, insiden-insiden kekerasan seksual yang meresahkan tetap disorot, termasuk kasus pedofilia yang melibatkan seorang pemuda berusia 23 tahun yang menjalin “hubungan dengan seorang gadis berusia 13 tahun, keduanya tinggal di hotel yang sama” dan sebuah kasus pemerkosaan yang terjadi setelah seorang pria yang mengikuti seorang wanita ke kamarnya. Laporan tersebut juga mencatat bahwa lift adalah tempat yang sangat rentan terhadap serangan dan kekerasan seksual.

Kasus kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada sekitar 200.000 pemukim Israel yang saat ini menjadi pengungsi. Terdapat juga klaim valid oleh seorang tentara wanita bahwa dirinya diperkosa oleh rekan prajuritnya selama serangan militer brutal yang sedang berlangsung di Jalur Gaza.

Pelecehan dan kekerasan seksual bukanlah hal baru di kalangan angkatan bersenjata Israel. Menurut laporan Haaretz, “sepertiga perempuan wajib militer di militer telah mengalami pelecehan seksual setidaknya sekali pada tahun sebelumnya (2022)”.

Haaretz mencatat bahwa sebagian besar korban enggan untuk melaporkan kejahatan seksual yang terjadi pada mereka. Haaretz mencatat bahwa sebanyak 70 persen dari perempuan muda yang melaporkan kejahatan yang terjadi pada mereka menyatakan bahwa laporan tidak ditangani sama sekali atau tidak ditangani secara serius.

Pada tahun 2020, adanya krisis kekerasan seksual yang dialami di kalangan militer Israel diakui setelah hanya 31 dakwaan saja diajukan dari total 1.542 pengaduan pelecehan seksual yang terdaftar di lembaga militer.

Ini adalah tuduhan yang mengejutkan terhadap militer yang mengklaim diri sebagai “pasukan paling bermoral di dunia” dan kejahatan seksual dan pemerkosaan tidak hanya terjadi di dunia militer Israel.

Normalisasi Pemerkosaan di Israel

Selain menjadi pusat regional perdagangan manusia dan surga bagi para pedofil, Israel secara konsisten tercatat menempati peringkat tertinggi di Asia Barat terkait kasus-kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual.

Pada tahun 2020, protes meletus di seluruh Israel setelah 30 laki-laki memperkosa seorang gadis berusia 16 tahun yang sedang mabuk. Kejahatan brutal ini mendorong Ilana Weizman, dari lembaga hak-hak perempuan Israel HaStickeriot, mengungkapkan fakta mengerikan bahwa rata-rata satu dari lima perempuan Israel pernah diperkosa selama masa hidupnya, dengan 260 kasus dilaporkan setiap hari.

Pada bulan Maret 2021, tercatat serangkaian kejahatan pemerkosaan berkelompok terhadap anak di bawah umur, dengan korban termuda berusia 10 tahun, yang memicu kekhawatiran luas di Israel atas tingkat kekerasan seksual.

Asosiasi Pusat Krisis Pemerkosaan di Israel (ARCCI), mengatakan bahwa tingkat pelanggaran seksual dengan kekerasan di Israel 10 persen lebih tinggi dibandingkan rata-rata di negara-negara Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dan menyebutnya sebagai “wabah”. Laporan Knesset pada tahun yang sama mengungkapkan bahwa hampir separuh kasus pelecehan seksual antara tahun 2019 dan 2020 melibatkan anak perempuan di bawah umur.

Pada tahun 2016, aktivis dari Jewish Community Watch memperingatkan bahwa Israel menjadi “tempat berlindung yang aman bagi para pedofil”. Jewish Community Watch mencatat bahwa pelaku pelecehan seksual menggunakan Hukum Pengembalian Israel, yang memungkinkan setiap orang Yahudi untuk mengklaim kewarganegaraan dan bisa tinggal di wilayah pendudukan Palestina. Bertahun-tahun kemudian, pada tahun 2020, CBS News merilis laporan berjudul “Bagaimana pedofil Yahudi Amerika bersembunyi dari keadilan di Israel”, yang menunjukkan bagaimana orang-orang ini bisa bebas berkeliaran di Israel, meninggalkan serentetan kasus kriminal yang belum terselesaikan.

Hal yang lebih parah lagi, media Israel melaporkan bahwa 92 persen penyelidikan pemerkosaan sipil ditutup tanpa tuntutan di Israel. Angka yang sangat besar.

Menurut ARCCI, meskipun negara Israel memiliki “undang-undang yang baik” mengenai kekerasan seksual, penegakan hukum yang tidak memadai menyebabkan masyarakat menggunakan “trik hukum” untuk menghindari ganti rugi dan banyak pelaku menghindari penuntutan.

Kadang-kadang, dalam kasus-kasus pemerkosaan dan serangan seksual yang viral, sistem peradilan Israel bertindak, sebagaimana dibuktikan dengan hukuman terhadap mantan presiden Israel, Moshe Katsav, pada tahun 2010, karena memperkosa seorang ajudannya dan melakukan pelecehan seksual terhadap dua wanita lainnya.

Namun, pembebasan Moshe Katsav setelah menjalani hukuman hanya lima tahun dari tujuh tahun hukumannya memicu perdebatan mengenai pembebasan dini pelaku kejahatan seksual. Pada tahun 2022, ARCCI melaporkan bahwa 75 persen pelaku kejahatan seksual di Israel dibebaskan sebelum menyelesaikan hukuman penuhnya.

Israel Jadikan Pemerkosaan sebagai Senjata Melawan Penduduk Palestina

Sejak berdirinya Israel, pemerkosaan telah banyak didokumentasikan dan digunakan sebagai senjata perang melawan penduduk Palestina. Dalam sebuah film dokumenter tahun 2022 yang diberi nama berdasarkan pembantaian Israel di desa Tantura, Palestina, pengakuan mengerikan atas pemerkosaan yang dilakukan oleh Brigade Alexandroni diakui untuk pertama kalinya di depan kamera.

Tercatat juga berbagai kasus pemerkosaan lainnya yang dilaporkan pada periode tersebut: setidaknya tiga pemerkosaan, salah satunya dilakukan terhadap seorang gadis Palestina berusia 14 tahun, yang terjadi selama pembantaian Safsaf pada bulan Oktober 1948.

Pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya seringkali sulit dibuktikan secara meyakinkan, penting untuk dicatat bahwa kaum Zionis awal juga mempersenjatai ancaman kekerasan seksual, terutama seputar pembantaian Deir Yassin pada tahun 1948.

Seperti yang didokumentasikan oleh sejarawan Israel, Ilan Pappe, dalam bukunya “The Ethnic Cleansing of Palestine”, kisah-kisah kekejaman gender yang eksplisit sengaja disebarkan untuk mendorong penduduk desa lain mengungsi. Dalam serangkaian wawancara baru-baru ini yang dilakukan dengan dua orang penyintas Nakba, keduanya mengungkapkan bahwa mereka meninggalkan desa mereka khususnya karena kekejaman pemerkosaan di desa Deir Yassin.

Saat ini, sikap yang sama dalam melakukan seksualisasi terhadap penduduk Palestina terlihat jelas dalam video-video yang tak terhitung jumlahnya yang dipublikasikan secara luas di media sosial dengan persetujuan militer Israel, seperti video yang menampilkan tentara laki-laki Israel memeriksa laci pakaian dalam perempuan Palestina dan bahkan dengan mengejek mengenakan pakaian dalam mereka.

Hal ini ditambah dengan pernyataan yang baru-baru ini disebut oleh panel ahli PBB sebagai “tuduhan yang dapat dipercaya” mengenai penyerangan seksual terhadap perempuan Palestina yang dilakukan tentara Israel di Jalur Gaza. Ini menunjukkan adanya pola yang jelas mengenai kekerasan gender yang terjadi dalam perang tersebut.

Setidaknya ada dua kasus pemerkosaan, serta banyak kasus penghinaan seksual dan ancaman pemerkosaan, juga telah dicatat. Pelapor khusus PBB untuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, Reem Alsalem, menyatakan bahwa “Kita mungkin tidak akan mengetahui berapa jumlah sebenarnya korban dalam jangka waktu lama”.

Pelecehan Seksual yang Sistematis

Pada tahun 2002, selama Intifada Kedua, tentara Israel mengambil alih jaringan TV Palestina di kota Ramallah, Tepi Barat, lalu menyiarkan video porno di beberapa saluran. Mereka sadar bahwa rakyat Palestina adalah masyarakat yang konservatif secara sosial, jelas bahwa hal ini dilakukan dengan maksud untuk mempermalukan Palestina.

Kasus pelecehan seksual yang menonjol baru-baru ini di Tepi Barat terjadi tahun lalu di dekat kota Hebron, yang kemudian ini diselidiki dalam laporan bersama Haaretz-B'Tselem. Pada tanggal 10 Juli, tentara Israel yang berjumlah sekitar 25-30 menyerbu ke rumah keluarga Ajluni, memaksa lima perempuan Palestina untuk telanjang di bawah todongan senjata dan mengancam akan melepaskan anjing penyerang tentara ke arah mereka.

Seorang perempuan bernama Amal dibawa ke kamar pribadi bersama anak-anaknya dan dipaksa melepas pakaiannya.

“Anak-anak juga harus menyaksikan ibu mereka disuruh berbalik dalam keadaan telanjang sambil menangis karena dihinakan. Sekitar 10 menit kemudian ia dan anak-anak dibawa keluar ruangan dalam keadaan pucat dan gemetar,” sebut laporan Haaretz-B'Tselem.

Meskipun tidak mungkin untuk mencatat setiap kasus kekerasan seksual yang dilakukan terhadap perempuan Palestina oleh pasukan Israel, terdapat dokumentasi yang baik bahwa tahanan perempuan telah mengalami beberapa bentuk kekerasan yang paling buruk.

Selama Intifada Kedua, terdapat banyak sekali tuduhan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan di tahanan militer Israel, sebuah tren yang menurut laporan kelompok hak asasi manusia Israel B'Tselem kembali meningkat. B'Tselem mengatakan bahwa tahanan perempuan Palestina yang baru-baru ini dibebaskan dalam pertukaran tahanan Hamas-Israel menjadi sasaran “ancaman pemerkosaan” dan “beberapa kali digeledah secara memalukan” setelah penangkapan yang kejam.

Berikut ini adalah bagian dari kesaksian Lama Al-Fakhouri (47 tahun), yang dicatat oleh B'Tselem setelah ia dibebaskan dari tahanan Israel:

“Penginterogasi datang dan menanyakan saya dalam bahasa Inggris tentang apa yang dilakukan Hamas. Dia menyumpahiku dan menyebutku pelacur. Dia mengatakan ada 20 tentara di ruangan itu dan mereka akan memperkosa saya. Dia terus mengumpat dan mengancam saya dan keluarga saya. Kemudian, seorang tentara wanita datang dan membawa saya ke ruangan lain yang berisi lebih banyak tentara wanita, yang mengatakan kepada saya: 'Selamat datang di neraka.' Mereka mendudukkan saya di kursi dan mulai menertawakan saya dan memanggil saya pelacur lagi dan lagi.”

Berbicara kepada media setelah dibebaskan dari tahanan Israel akhir tahun lalu, Baraah Abo Ramouz mengatakan tentang kondisi mengerikan yang dihadapi oleh tahanan perempuan Palestina:

“Mereka (para tahanan) terus menerus dipukuli. Mereka diserang secara seksual. Mereka diperkosa. Saya tidak melebih-lebihkan. Para tahanan diperkosa.”

Pada tahun 2022, Shin Bet membatalkan kasus pelecehan seksual terhadap seorang perempuan Palestina yang ditahan pada tahun 2015 dengan dalih “kurangnya bukti”. Padahal, seorang dokter dan tentara wanita mengaku telah menyentuh bagian pribadi perempuan Palestina tersebut secara tidak pantas, sedangkan komandan kompi yang memegang kendali mengaku bahwa ialah yang memberikan perintah tersebut. Banding yang diajukan korban menyatakan:

“Dalam situasi di mana tidak ada perselisihan mengenai tindakan yang merupakan pemerkosaan dan sodomi (yang) terdapat cukup bukti. Ketika tidak ada seorang pun yang dihukum, itu sangat keterlaluan.”

Menurut mantan pejabat Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Josh Paul, setelah ia dan rekan-rekannya menerima bukti yang dapat dipercaya bahwa pasukan Israel telah memperkosa seorang anak laki-laki Palestina berusia 14 tahun di pusat penahanan Al-Moskibiyya, Israel menggerebek kantor kelompok hak asasi manusia yang meneruskan informasi tersebut ke Departemen Luar Negeri AS, kemudian menyatakannya sebagai organisasi teroris.

Narasi Palsu yang Memicu Kejahatan Perang

Meskipun pemerintah Israel memaksakan cerita bahwa Hamas melaksanakan operasi pemerkosaan sistematis yang telah direncanakan sebelumnya pada tanggal 7 Oktober. Namun, belum ada penyelidikan independen atau bukti apa pun yang dihasilkan.

Sebuah fakta miris lainnya adalah bahwa layanan penyelamatan ZAKA Israel sangat bergantung pada kesaksian pemerkosaan pada tanggal 7 Oktober, didirikan oleh pemerkosa berantai Yehuda Meshi-Zahav, yang dijuluki Haredi Jeffrey Epstein,” sudah cukup menjelaskan klaim pemerkosaan yang tidak berdasar yang dilakukan oleh pemerintah Israel, yang diperkuat dan dikutip secara luas oleh media Barat, tidak mungkin dianggap serius jika sumber propaganda terkenal seperti ZAKA adalah sumber utamanya.

Kantor Perwakilan Sekretaris Jenderal PBB untuk Kekerasan Seksual dalam Konflik baru-baru ini merilis laporan setelah Perwakilan Khusus PBB, Pramila Patten, menyelesaikan perjalanan delapan hari yang diminta oleh pemerintah Israel.

Laporan mengenai tuduhan kekerasan seksual dibuat oleh tim yang terdiri dari sembilan ahli PBB dan tidak memiliki mandat investigasi. Namun pernyataan dari laporan tersebut menjadi berita utama di media barat, yang menunjukkan bahwa PBB telah mengkonfirmasi narasi Israel, meskipun laporan tersebut sama sekali tidak membuktikannya.

Dalam kasus tuduhan kekerasan seksual yang dilontarkan terhadap Kibbutz Be'eri, yang menjadi sumber sebagian besar tuduhan tersebut, tidak ditemukan bukti. Dua kasus dibantah oleh tim PBB karena dianggap "tidak berdasar".

Dalam salah satu kasus, yang banyak dikutip sebagai bukti pemerkosaan, seorang wanita ditemukan terpisah dari keluarganya dengan celana dalam ditarik ke bawah. Tim PBB mengatakan bahwa "tempat kejadian perkara telah diubah oleh pasukan penjinak bom dan mayat-mayat dipindahkan."

Laporan PBB juga mencatat bahwa interogasi terhadap orang-orang yang diduga ikut serta dalam Operasi Badai Al-Aqsha oleh badan intelijen Israel tidak dapat dianggap sebagai bukti, yang merupakan pukulan besar lainnya terhadap klaim Israel.

Di Kibbutz Kfar Aza, di mana laporan tersebut menyimpulkan “adanya pola berulang dari korban perempuan yang ditemukan dalam keadaan telanjang, 18 orang terikat, dan ditembak, yang menunjukkan bahwa kekerasan seksual, termasuk potensi penyiksaan seksual, atau perlakuan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat, mungkin telah terjadi”.

Hal yang kemudian aneh adalah bahwa laporan tersebut juga mencatat bahwa “verifikasi kekerasan seksual terhadap para korban tidak mungkin dilakukan pada saat ini”, karena tim PBB menemukan bahwa Israel telah mengubah TKP lainnya, penyelidikan independen diperlukan untuk memastikan bahwa TKP tersebut tidak mengalami gangguan yang sama.

Kerugian Akibat Kebohongan Israel

Skandal New York Times baru-baru ini, di mana penyelidikan terhadap kekerasan seksual pada tanggal 7 Oktober dibantah secara langsung oleh anggota keluarga dari seorang perempuan yang mereka klaim telah diperkosa, memberikan pukulan besar terhadap kredibilitas narasi Israel.

Selama konferensi pers Primila Patten, di mana ia membahas temuan misinya di PBB, ia mengakui bahwa mereka belum mewawancarai satu pun korban dan tidak menemukan operasi kekerasan seksual yang sistematis. Tim PBB juga tidak dapat menghubungkan kekerasan seksual dengan kelompok perlawanan Palestina tertentu.

Lebih buruk lagi, kepala Pusat Bukti Forensik Nasional Israel, Chen Kugel, adalah pihak yang bertanggung jawab atas penyebaran propaganda berbagai kekejaman yang telah berulang kali dibantah, seperti kebohongan tentang bayi yang dipenggal.

Di tengah beredarnya klaim-klaim yang belum terverifikasi dan tidak adanya investigasi independen, tuduhan-tuduhan yang gamblang dan tidak berdasar ini memicu meluasnya kekerasan seksual terhadap penduduk Palestina yang rentan.

Israel yang sedang bergulat dengan masalah pelecehan seksual internalnya, memiliki sejarah buruk dalam menggunakan kekerasan berbasis gender dalam yurisdiksi militernya. Kurangnya perhatian media yang tidak proporsional terhadap kekejaman yang dilakukan oleh rezim Israel menggambarkan standar ganda nyata yang dipraktekkan media arus utama Barat.

__________

Penulis adalah analis politik, jurnalis dan pembuat film dokumenter. Dia telah melaporkan dari dan tinggal di wilayah Palestina yang diduduki dan telah bekerja dengan sejumlah media seperti The New Arab, Russian Today, Mint Press, MEMO, Quds News, TRT dan Al-Mayadeen English.

(T.FJ/S: The Cradle)

leave a reply