Sinyal Penghancuran Al-Aqsha, Akankah Israel Sembelih Sapi Merah pada Idul Fitri?

Khaled Zabarqa menjelaskan bahwa hanya dengan membawa sapi merah dari Texas, Amerika Serikat, merawatnya di Israel, dan mempromosikan prosedur penyucian adalah sebuah indikator yang sangat berbahaya. Ia menunjukkan bahwa salah satu wujud dari situasi berbahaya ini adalah dapat mengembalikan konflik ke titik awal. Membuka terjadinya konflik dan perang agama.

BY 4adminEdited Sun,31 Mar 2024,01:59 PM

Yerusalem, SPNA -  Kelompok Kuil Yahudi berpacu dengan waktu untuk menyelesaikan prosedur Taurat yang akan mengizinkan orang Yahudi melakukan serangan massal ke kompleks suci Masjid Al-Aqsha. Kelompok ini bergerak maju dengan tujuan menghancurkan Masjid Kubah Batu di kompleks suci Masjid Al-Aqsha untuk membangun “Kuil Ketiga” Yahudi.

Bukan tidak mungkin Kelompok Kuil ekstremis ini akan menyembelih “Sapi Merah” di Bukit Zaitun di Yerusalem, di seberang Masjid Al-Aqsha, dengan tujuan menyucikan diri mereka menggunakan abu pembakaran dari Sapi Merah. Hal ini diprediksi akan terjadi pada tanggal 2 April berdasarkan kelender Ibrani atau yang tahun ini jatuh pada tanggal 10 April 2024, yang diperkirakan jatuh pada hari yang sama perayaan Idul Fitri.

Demi persiapan dan tata cara penyembelihan berdasarkan Taurat, Kelompok Kuil Yahudi ekstremis mengadakan konferensi khusus beberapa hari yang lalu untuk membahas persiapan penyembelihan Sapi Merah di Bukit Zaitun. Sapi Merah ini kemudian dibakar dan abunya dicampur di perairan Mata Air Silwan, yang nantinya akan digunakan untuk memurnikan orang-orang Yahudi dari “kenajisan orang mati”.

Persiapan Penyembelihan

Menurut kepercayaan Taurat, “Kepala Rabi di Israel melarang orang Yahudi, menurut “fatwa agama,” untuk menyerbu kompleks sucit Masjid Al-Aqsha, hingga munculnya “Yesus Juruselamat”. Barulah kemudian umat Yahudi diperbolehkan melakukan “pendakian Bukit Kuit”, menyerbu masuk kompleks suci Al-Aqsha dan memulai pembangunan Kuil Ketiga di tanah Al-Aqsha, sesuai dengan kepercayaan “Majelis Hukama Taurat”.

Konferensi yang diselenggarakan Kelompok Kuil Yahudi yang diikuti oleh hampir 100 rabi dari berbagai gerakan keagamaan, diadakan di pemukiman “Shiloh lama”, yang dibangun di atas reruntuhan Khirbet Silun di timur laut Ramallah di Tepi Barat yang diduduki, yang menurut catatan Yahudi adalah pusat “Negara Yudea dan Samaria”.

Para rabi membahas ritual Taurat dan tata cara penyembelihan sapi merah. Berdasarkan laporan Channel 12 Israel, sebanyak lima ekor sapi merah dirawat di pemukiman “Shiloh lama”, yang dibawa dengan penerbangan khusus pada September 2022 dari peternakan swasta di negara bagian Texas, Amerika.

Sapi merah tersebut dibawa pada era pemerintahan Israel sebelumnya yang dipimpin oleh Naftali Bennett dan Yair Lapid, ketika kementerian pemerintah mendanai impor dan perawatan sapi merah.

Mengikuti langkah pemerintahan Bennett-Lapid, pemerintah Israel yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu melanjutkan proyek Sapi Merah, berpartisipasi, mempromosikan, mendukung Konferensi Sapi Merah.

Organisasi Boni yang terdiri dari Kristen evangelis dan Yahudi ekstremis, yang dipimpin oleh Rabi Tzachi Memo, organisasi Mikdash Institute, yang dipimpin Rabi Yisrael Ariel, rabi dari gerakan “Kach”, mengawasi proses tersebut, mulai dari meneliti, merawat sapi merah, menetapkan prosedur Taurat, dan mengadakan konferensi.

Tui Kritik

Juru bicara organisasi arkeolog Emek Shaveh, Uri Ehrlich, mengkritik keras kelompok ekstremis Yahudi yang mengeksploitasi perang di Gaza untuk memaksakan fakta di Yerusalem dan Al-Aqsa, yang akan memicu perang agama. Ia juga mengkritik dukungan pemerintah terhadap proyek Sapi Merah dan pengumuman ritual terkait proyek tersebut. Ehrlich menulis sebuah artikel di situs “Zaman Yisrael”, di mana ia mengulas pergeseran yang disaksikan Israel menuju ekstremisme agama dan pengabaian ajaran demokrasi dan kebebasan, dengan mengatakan:

Ia mengkritik undangan Konferensi Sapi Merah berlogo Kementerian Pendidikan, serta Departemen Kebudayaan Yahudi di Kementerian Pemukiman dan Infrastruktur Nasional.

“Dua kementerian bangga atas kemitraan mereka dalam Konferensi Kuil. Ketika Israel dibajak oleh pemerintah pemukim di Tepi Barat, menjadi jelas bahwa agama Kristen memperkuat pengaruhnya dalam pelayanan Israel,” kata Ehrlinch.

Eksploitasi Perang

Dari sudut pandang Arab dan Islam, peneliti masalah Yerusalem dan Al-Aqsa, Khaled Zabarqa, mengatakan: “Ketika kita berbicara tentang Al-Aqsa, kita harus mengingat tujuan akhir dari kelompok-kelompok ini, mulai dari Kelompok Kuil Yahudi, Kelompok Kristen ekstremis, dan Kaum Evangelis baru. Tujuan ideologis keagamaan mereka terkait dengan keyakinan akhir zaman, yang berfokus pada menargetkan kompleks Al-Aqsha dan pembangunan kuil”.

Khaled Zabarqa menjelaskan dalam wawancaranya dengan Al-Jazeera bahwa kelompok-kelompok ini berusaha sekuat tenaga untuk mencapai tujuan tersebut. Mereka merencanakan untuk membakar Sapi Merah dan membangun Kuil untuk mempercepat terjadinya akhir zaman.

“Masing-masing pihak memiliki konsepnya. Kaum Yahudi ingin mempercepat kedatangan Kristus Juru Selamat, sedangkan kaum evangelis baru ingin mempercepat terjadinya perang Harmagedon,” kata Khaled Zabarqa.

Dengan membaca perkembangan lokal, regional dan internasional, keyakinan Zabarqa diperkuat bahwa kelompok-kelompok ini, yang telah menjadi kelompok paling berpengaruh di dunia dan memiliki kendali dan pengaruh bahkan di sejumlah pemerintahan negara Arab dan Islam tertentu, berusaha sekuat tenaga untuk mempercepat peristiwa-peristiwa yang terjadi. Kelompok ini menggunakan perang di Jalur Gaza untuk mencapai tujuan, sehingga perang tersebut menjadi bagian dari doktrin ini. Doktrin ini milik pihak Yahudi dan Kristen Evangelis.

Khaled Zabarqa menunjukkan bahwa berdasarkan keyakinan Zionis, Sapi Merah harus disembelih dan proses penyucian harus dilakukan menggunakan abunya di akhir zaman, untuk mempercepat Yahudisasi dan penghancuran Masjid Al-Aqsha, untuk membangun Kuil Ketiga Yahudi, terlepas dari dampak ritual ini di tingkat lokal, regional, dan global.

Khaled Zabarqa menekankan bahwa kelompok Yahudi, khususnya Kelompok Kuil percaya bahwa penyembelihan sapi merah, penyucian, dan pembongkaran Al-Aqsha untuk membangun Kuil Yahudi adalah hal-hal yang akan mempercepat “keselamatan” yang telah mereka cari selama dua ribu tahun. Ia menyebut bahwa memperpendek tahapan percepatan keselamatan adalah murni ideologi agama.

Khaled Zabarqa, meniliai bahwa konferensi Sapi Merah, diskusi Taurat untuk menyelesaikan ritual penyembelihan, pembakaran, dan penyucian dengan abu merupakan indikasi masalah yang serius dan berbahaya. Ia menyebut bahwa skema dan konspirasi yang dilancarkan terhadap Al-Aqsha semakin kuat.

Khaled Zabarqa menjelaskan bahwa hanya dengan membawa sapi merah dari Texas, Amerika Serikat, merawatnya di Israel, dan mempromosikan prosedur penyucian adalah sebuah indikator yang sangat berbahaya. Ia menunjukkan bahwa salah satu wujud dari situasi berbahaya ini adalah dapat mengembalikan konflik ke titik awal. Membuka terjadinya konflik dan perang agama.

“Jika hal tersebut tidak menyalakan lampu merah dan peringatan bahaya yang sedang dihadapi Al-Aqsha, maka ini artinya kurangnya pemahaman,” Khaled Zabarqa.

Sejak tanggal 7 Oktober hingga saat ini, dengan dukungan Amerika dan Eropa, tentara Israel masih terus melanjutkan agresi terhadap Jalur Gaza dan juga melakukan serangan di berbagai kawasan di Tepi Barat. Pesawat tempur Israel mengebom kawasan di sekitar rumah sakit, gedung, apartemen, dan rumah penduduk sipil Palestina. Israel juga mencegah dan memblokade masuknya air, makanan, obat-obatan, dan bahan bakar ke Jalur Gaza. Israel terus menerus melakukan kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional.

Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, pada Jumat (28/03), mengumumkan bahwa jumlah korban jiwa akibat pemboman Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 lalu telah meningkat menjadi 32.623 orang dan 75.092  lainnya mengalami luka-luka, di mana mayoritas korban korban jiwa pemboman Israel adalah anak-anak dan perempuan.

Sementara itu, berdasarkan laporan pihak berwenang Jalur Gaza dan organisasi internasional, lebih dari 85 persen atau sekitar 2 juta penduduk Palestina di Jalur Gaza terpaksa harus mengungsi setelah kehilangan tempat tinggal dan penghidupan akibat pemboman Israel.

(T.FJ/S: Palinfo)

 

leave a reply