Beginilah Wajah Tragedi Kemanusiaan di Jalur Gaza Bagi Anak-anak

Tulisan ini ditulis oleh Soraya Ali, jurnalis dan aktivis kemanusiaan yang saat ini menjabat sebagai Manajer Media Global Timur Tengah, Afrika Utara, dan Eropa Timur (MENAEE) Save the Children yang berbasis di Amman, Yordania. Soraya berada di Jalur Gaza pada awal bulan April, mendokumentasikan dampak perang terhadap anak-anak, mengabadikan respons Save the Children, dan berbicara dengan keluarga yang terkena dampak perang genosida Israel.

BY 4adminEdited Wed,01 May 2024,01:35 PM
Anak Palestina berusia 2 tahun, Sened Al-Arabi yang menjadi korban serangan bom Israel. Ia kehilangan pergelangan tangan kirinya.

Gaza, SPNA - Pada hari pertama saya di Rafah, selatan Jalur Gaza, ibu rekan saya Hawa terkena stroke. Akibat tidak tersedia ambulans, di mana sebagian ambulans juga dibom Israel, ibunya dibawa ke rumah sakit yang masih berfungsi sebagian. Ia meninggal dua hari kemudian. “Kesedihan akibat perang ini membunuhnya,” kata Hawa kepada saya.

Saya tiba di Gaza bersama Save the Children, yang tergabung dengan tim dokter anak, ahli bedah, dan rekan pekerja bantuan kemanusiaan untuk mendukung anak-anak yang terkena dampak bencana kemanusiaan yang semakin meningkat. Tidak ada yang bisa mempersiapkan kita untuk menghadapi apa yang terjadi.

Tentu saja, rekan-rekan Save the Children kami di Palestina, seperti Hawa, telah lama tanpa kenal lelah membantu rakyat Palestina sambil menghadap tragedi pribadi.

Sebagian besar staf Save the Children di Palestina terpaksa dipindahkan, banyak yang kehilangan kerabat dekat. Semuanya terkena dampak perang genosida. Sameh Ewida, anggota lama Save the Children di kantor Gaza, meninggal dunia bersama seluruh keluarganya akibat serangan udara Israel pada bulan Desember.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, perang genosida brutal Israel di Jalur Gaza telah membunuh lebih dari 34.000 penduduk Palestina termasuk sedikitnya lebih 13.900 anak-anak, pada akhir April. Serangan udara Israel telah membunuh dokter, perawat, guru dan pekerja kemanusiaan.

Mencoba untuk Tetap Hidup

Pemandangan yang saya saksikan di Rafah akan selalu saya ingat selamanya. Kota kecil ini, yang merupakan rumah bagi 275.000 orang sebelum perang, kini menampung sekitar 1,5 juta penduduk sipil Palestina, yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak.

Drone Israel terus-menerus terbang di atas kepala, dengungnya yang tiada henti merupakan pengingat akan ancaman terhadap anak-anak. Ketika dengungan semakin dekat, sebuah ledakan mengguncang jalanan, biasanya tidak kurang dari beberapa kilometer jauhnya.

Jumlah anak-anak yang berkeliaran di jalanan sangat banyak, hampir seperti kiamat. Anak-anak tersebut tidak mempunyai sepatu, terlihat kekurangan gizi, dan sering sendirian.

Pada bulan Februari, berdasarkan data UNICEF, setidaknya 17.000 anak di Jalur Gaza tidak didampingi atau terpisah dari keluarga,. Angka tersebut kemungkinan jauh lebih tinggi saat ini. Para dokter bahkan terpaksa menciptakan istilah baru yang menyedihkan untuk mengidentifikasi anak-anak ini di rumah sakit. WCNSF (Wounded Child, No Surviving Family). Anak Terluka, Tidak Ada Keluarga yang Selamat.

Penyakit dan infeksi juga menyebar dengan cepat. Akibat keterbatasan waktu dan sumber daya, tenaga kesehatan jarang mampu memberikan diagnosis formal.

Di sebuah rumah sakit keliling, saya melihat anak-anak mengalami ruam, banyak yang mengalami muntah-muntah dan diare berdarah. “Kami melihat penyakit kudis, kutu, dan hepatitis,” kata seorang dokter. Selain penyakit, luka parah dan amputasi telah banyak mengubah hidup korban.

“Kami bahkan merawat seorang wanita hamil yang mengalami luka tembak di perutnya,” salah satu dokter menceritakan.

Saya bertemu dengan seorang anak laki-laki yang berusia tidak lebih dari 12 tahun. Ia sedang mendorong adiknya di kursi roda. Anak kecil tersebut tampak kotor, mengenakan pakaian robek dan kehilangan satu kakinya. Anak ini adalah salah satu dari lebih dari 1.000 anak Palestina di Jalur Gaza yang kehilangan satu atau lebih anggota tubuhnya sejak perang genosida Israel. Data ini merupakan data UNICEF, hingga bulan Desember 2023 dan kemungkinan besar jumlah anak-anak yang anggota tubuhnya hilang pada saat ini telah meningkat akibat pemboman Israel yang tidak berhenti.

Anak-anak ini tidak pergi ke mana-mana. Sekolah-sekolah telah ditutup atau dihancurkan sejak bulan Oktober. Anak-anak Palestina di Jalur Gaza menghabiskan hari-hari dengan berusaha bertahan hidup, berlindung dari pemboman atau mencari makanan dan air. Sekelompok anak-anak bermain dengan kantong plastik bekas, meminta makanan, atau bahkan bola untuk mengisi waktu.

Anak-anak di sini menghadapi kenyataan suram berupa kekurangan gizi, penyakit, keputusasaan, dan bahkan kematian.

Terlalu Bahaya untuk Mendapatkan Makanan

“Begitu banyak orang yang terbunuh, kami bahkan tidak mempunyai kesempatan untuk berduka,” kata rekan saya lainnya di Save the Children, Zainab, menjelaskan.

Pekan lalu, suaminya berhasil mencapai Rafah setelah terjebak di Gaza Utara. Ayahnya yang berusia 70 tahun, yang menderita Alzheimer dan kanker, tidak dapat mengungsi sehingga terpaksa tetap tanggal di Gaza Utara, bagian paling parang yang terkena serangan genosida Israel.

“Keluar mencari makanan terlalu berbahaya. Saya terpaksa memakan sisa makanan yang ditinggalkan tikus,” ungkapnya.

Zainab menjelaskan bagaimana ia nyaris terkena serangan mematikan Israel yang membunuh lebih dari 100 penduduk sipil Palestina yang mati-matian berusaha mengumpulkan tepung.

Berdasarkan Kementerian Kesehatan Palestina di Jalur Gaza, lebih dari 400 penduduk sipil Palestina di Jalur Gaza dibunuh serangan Israel dan sekitar 1.300 lainnya mengalami luka-luka ketika mencoba untuk mendapatkan makanan, obat-obatan, dan bantuan lain yang dapat menyelamatkan nyawa keluarga mereka.

Tidak Ada Alasan

Prosedur dan proses untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan ke dalam dan sekitar Jalur Gaza sangatlah menantang, dengan adanya pembatasan ketat Israel. Bantuan apa pun yang masuk harus mendapat izin dari Israel. Israel menolak barang-barang yang diklaim memiliki potensi “penggunaan ganda”, baik untuk tujuan keperluan sipil atau militer.

Dalam beberapa minggu terakhir, kita telah melihat seluruh truk bantuan ditolak karena peraturan ini karena mengangkut barang-barang sekecil bungkusan kurma atau gunting. Bahkan ketika bantuan tersebut berhasil masuk Jalur Gaza, tantangan selanjutnya masih ada: kelangkaan bahan bakar, meningkatnya risiko, dan tidak memadainya jaminan keselamatan bagi pekerja kemanusiaan yang bertanggung jawab atas pengiriman bantuan.

Bantuan kemanusiaan yang masuk ke Jalur Gaza sangat terbatas dan jumlahnya sangat tidak memadai. Kita perlu melihat lebih banyak bantuan kemanusiaan yang masuk dengan lebih cepat. Hal yang paling penting saat ini adalah kita membutuhkan gencatan senjata segera dan permanen.

Waktu Habis

Sebelum tanggal 7 Oktober, sekitar 80 persen penduduk Palestina di Jalur Gaza bergantung pada bantuan kemanusiaan. Pada saat ini, kebutuhannya jauh lebih besar dari sebelum serangan Israel. Tanpa gencatan senjata dan akses penuh terhadap bantuan, anak-anak akan terus menderita.

Berdasarkan data Save the Children, hampir 26.000 anak atau lebih dari 20 persen populasi anak di Gaza, telah dibunuh Israel atau mengalami luka-luka akibat serangan Israel selama enam bulan perang genosida.

Kematian anak-anak ini merupakan bukti kegagalan dunia dalam melindungi mereka. Komunitas internasional harus segera meningkatkan upayanya untuk menekan Israel, karena waktu telah habis.

Satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan banyak keluarga Palestina di Jalur Gaza saat ini adalah dengan gencatan senjata. Dewan Keamanan PBB meminta gencatan senjata sementara, akan tetapi masa implementasinya pada puasa Ramadhan kemarin tidak membuahkan hasil. Semakin banyak anak yang menderita akibat lambannya tindakan tersebut. Gencatan senjata harus dilaksanakan sekarang dan dipertahankan secara pasti. Tidak ada alternatif lain.

Penggunaan senjata peledak yang terus menerus dilakukan oleh Israel di daerah padat penduduk sipil memiliki dampak yang sangat buruk terhadap anak-anak, yang sering menjadi korban ledakan.

Negara-negara tertentu harus segera menghentikan pengiriman senjata, alat-alat militer, suku cadang, dan amunisi kepada pihak-pihak yang berperang yang berisiko digunakan untuk melakukan pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional. Jika tidak mampu melakukan hal ini, ini adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan.

(T.FJ/S: Save The Childen)

leave a reply
Posting terakhir