Ketakutan Israel, Genosida Penduduk Palestina Kembali Fokuskan Solusi Dua Negara

Ini merupakan kemenangan luar biasa bagi Hamas, yang telah berhasil melibatkan diri dalam pembahasan di masa depan, tidak hanya mengenai Gaza tetapi juga Palestina secara keseluruhan. Keputusan taktis gerakan tersebut untuk mendukung perbatasan tahun 1967 tidak hanya bertujuan untuk memposisikan Hamas sebagai negosiator yang kredibel tetapi juga secara strategis menyudutkan pemerintahan koalisi sayap kanan Benjamin Netanyahu.

BY 4adminEdited Fri,10 May 2024,04:09 AM
Peta Perampasan Tanah Palestina oleh Israel.

Gaza, SPNA - Setelah tujuh bulan melakukan serangan militer brutal di Jalur Gaza, sangat jelas terlihat bahwa Israel belum berhasil memberantas pejuang Palestina, khususnya Hamas. Alih-alih memberikan kemenangan militer yang menentukan, negara penjajah Israel justru malah malah terjerumus ke dalam perundingan mengenai solusi dua negara.

Meskipun tidak praktis untuk mendirikan negara Palestina yang benar-benar merdeka dan berdaulat di Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza yang diduduki, akan tetapi skenario ini semakin mungkin terjadi meskipun ada penolakan lama dari pemerintah Israel. Ini merupakan perkembangan yang luar biasa, terutama karena strategi Tel Aviv, seperti yang diutarakan oleh penasihat kebijakan luar negeri Ophir Falk, bertujuan untuk “menghancurkan Hamas” serta kemampuan militer dan pemerintahannya secara keseluruhan. Saat ini, opsi dua negara sedang digaungkan kembali di Washington dan oleh sekutu setia Tel Aviv.

Mantan duta besar AS untuk Israel dan pendukung setia negara pendudukan Israel, Martin Indyk, berpendapat di majalah Foreign Affairs bahwa solusi dua negara kini tampaknya menjadi satu-satunya solusi yang masuk akal. Jauh dari kata “mati”:

“Alasan kebangkitan ini tidaklah rumit. Bagaimanapun, hanya ada sedikit kemungkinan alternatif selain solusi dua negara. Ada solusi Hamas, yaitu penghancuran Israel. Ada solusi dari kelompok ultra-kanan Israel, yaitu aneksasi Israel atas Tepi Barat, pembubaran Otoritas Palestina (PA), dan deportasi penduduk Palestina ke negara lain. Ada pendekatan ‘manajemen konflik’ yang diterapkan oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, selama sepuluh tahun terakhir, yang bertujuan untuk mempertahankan status quo tanpa batas waktu  dan dunia telah melihat bagaimana hal ini berhasil. Ada gagasan mengenai negara binasional (solusi satu negara) di mana orang-orang Yahudi akan menjadi minoritas, sehingga mengakhiri status Israel sebagai negara Yahudi. Tak satu pun dari alternatif tersebut dapat menyelesaikan konflik, setidaknya tanpa menimbulkan bencana yang lebih besar. Oleh karena itu, jika konflik ingin diselesaikan secara damai, solusi dua negara adalah satu-satunya gagasan yang masih bertahan”.

Perlucutan Senjata untuk Menjadi Negara?

Dalam komentar yang dipublikasikan secara luas pada pekan lalu, wakil ketua Hamas di Gaza, Khalil Al-Hayya, secara eksplisit mendukung perbatasan tahun 1967 untuk negara Palestina di masa depan.

Dalam wawancara baru-baru ini dengan AP, Al-Hayya berbicara tentang “negara Palestina yang berdaulat penuh di Tepi Barat dan Jalur Gaza dan kembalinya pengungsi Palestina sesuai dengan resolusi internasional” di sepanjang perbatasan Israel sebelum tahun 1967.

Namun yang paling penting, ia mengisyaratkan bahwa sayap militer Hamas, Brigade Al-Qassam, berpotensi membubarkan diri dan/atau memasukkan kadernya menjadi tentara nasional Palestina:

“Semua pengalaman orang-orang yang melawan penjajah, ketika merdeka dan memperoleh hak-hak dan negaranya, apa yang dilakukan kekuatan-kekuatan tersebut? Mereka berubah menjadi partai politik dan kekuatan tempur mereka menjadi tentara nasional.”

Alih-alih menerima kemungkinan-kemungkinan ini, pemerintah Israel menyebut Al-Hayya sebagai “teroris tingkat tinggi” dan berusaha mengalihkan pembicaraan kembali ke tuntutan keras Israel:

Pemerintahan Perdana Menteri Netanyahu menetapkan misi untuk menghancurkan kemampuan militer dan pemerintahan Hamas di Jalur Gaza, membebaskan para sandera, dan memastikan bahwa Gaza tidak menimbulkan ancaman bagi Israel.

Diplomasi di Doha dan Istanbul

Meskipun Al-Hayya menekankan bahwa pandangannya sejalan dengan sikap historis Hamas, seperti yang diartikulasikan oleh pemimpin spiritual gerakan perlawanan, Syeikh Ahmed Yassin, pada tahun 1998 dan ditegaskan kembali dalam piagam prinsip-prinsip umum dan kebijakan tahun 2017, pernyataan publiknya menyoroti tekanan politik besar yang dihadapi Hamas, terutama dari sekutu politik Qatar dan Turki.

Tekanan-tekanan ini bertujuan untuk mendorong perundingan tingkat tinggi internasional dan regional yang berpotensi mengakhiri konflik dan membangun stabilitas permanen, seperti halnya negosiasi apa pun, ada pertanyaan-pertanyaan penting yang harus dijawab. Siapa yang mempunyai wewenang untuk menegakkan ketentuan-ketentuan ini? Batasan apa yang akan diterapkan? Ini adalah isu-isu penting bagi pendduuk Palestina yang diblokade di Jalur Gaza dan bagi perjuangan mereka yang lebih luas, serta bagi Al-Qassam dan seluruh kelompok perlawanan.

Di balik layar, Qatar dan Turki berperan penting dalam membentuk pendekatan diplomasi baru Hamas. Para pemimpin eksternal gerakan ini, termasuk Khaled Meshal dan Ismail Haniyeh, telah berpartisipasi dalam diskusi yang difasilitasi oleh kedua negara di Doha dan Istanbul.

Awal bulan ini, dalam konferensi pers bersama dengan rekannya dari Qatar, Syeikh Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani, Menteri Luar Negeri Turki, Hakan Fidan, secara eksplisit mendukung hal ini, dan juga menyoroti sikap positif negara-negara barat terhadap peningkatan upaya perdamaian berdasarkan solusi dua negara.

“Dalam pembicaraan politik kami dengan Hamas selama bertahun-tahun, mereka telah menerima negara Palestina yang akan didirikan berdasarkan perbatasan tahun 1967.Mereka mengatakan kepada saya bahwa setelah berdirinya negara Palestina, Hamas tidak lagi membutuhkan sayap militer dan mereka akan terus menjadi partai politik,” kata Hakan Fidan kepada wartawan.

Bola Ada di tangan Israel

Meskipun sekutu barat Israel telah lama berusaha untuk mengecualikan Hamas dari semua proses yang berkaitan dengan Palestina, menjadi sangat jelas bahwa kepemimpinan militer Gaza, khususnya Brigade Al-Qassam, akan memainkan peran penting dalam setiap proses negosiasi.

Ini merupakan kemenangan luar biasa bagi Hamas, yang telah berhasil melibatkan diri dalam pembahasan di masa depan, tidak hanya mengenai Gaza tetapi juga Palestina secara keseluruhan. Keputusan taktis gerakan tersebut untuk mendukung perbatasan tahun 1967 tidak hanya bertujuan untuk memposisikan Hamas sebagai negosiator yang kredibel tetapi juga secara strategis menyudutkan pemerintahan koalisi sayap kanan Benjamin Netanyahu.

Dengan memberi isyarat kesediaan untuk melakukan demiliterisasi sebagai imbalan atas status negara, Hamas bertujuan untuk memberikan tanggung jawab kepada Tel Aviv, mempermainkan kerentanan yang melekat pada pemerintah koalisinya dan berpotensi mempercepat keruntuhannya. Langkah ini tidak hanya meningkatkan pengaruh Hamas dalam setiap negosiasi yang akan datang, akan tetapi juga sejalan dengan kepentingan AS dalam melihat perubahan rezim di Israel.

Jelas bahwa Hamas, baik karena keyakinan, di bawah tekanan, atau karena taktik yang cerdik, telah menjadi mitra penting dalam negosiasi politik yang lebih luas dan berjangka panjang mengenai masa depan Palestina dan kawasan.

Selama bertahun-tahun, gerakan ini sendiri terpaksa terlibat dalam beberapa putaran perundingan tidak langsung dengan Israel, terutama pada akhir dekade pertama milenium ketika Hamas masih bermarkas di Damaskus. Hal ini merupakan bagian dari upaya regional yang lebih besar yang didorong oleh Ankara untuk menghidupkan kembali proses perdamaian.

26 tahun yang lalu, Khaled Meshaal bertemu dengan mantan Presiden AS, Jimmy Carter, di Damaskus selama tur sembilan hari di Asia Barat yang bertujuan untuk memecahkan kebuntuan antara Israel dan Hamas pada awal pemerintahan mereka di Gaza.

Hamas menikmati banyak kelonggaran untuk melakukan manuver politik karena iklim geopolitik pada saat itu. Jimmy Carter melaporkan bahwa Hamas menyatakan kesediaannya untuk menerima negara Palestina dalam perbatasan tahun 1967 jika disetujui oleh Palestina dan mengakui hak Israel untuk hidup secara damai sebagai negara tetangga.

Memaksa Israel untuk Melakukan Keinginan Hamas

Namun saat ini, kekuatan baru Hamas berasal dari dua faktor utama: perlawanan militer yang tak henti-hentinya ditambah Poros Perlawanan di kawasan Timur Tengah di sekitarnya (seperti Hizbullah di Lebanon, dan Ansharullah di Yaman) untuk mendukung sekutu Palestina mereka, dan kecaman global yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap genosida Israel di Jalur Gaza, yang keduanya berdampak tajam dan mengacaukan rencana awal tujuan perang Tel Aviv yang percaya diri.

Alih-alih mengalahkan Hamas, Israel kini berada dalam posisi yang tidak menguntungkan, terlibat dalam negosiasi yang berpusat pada satu hasil yang paling tidak diharapkannya, yaitu solusi dua negara.

Dilema Tel Aviv yang meresahkan juga menunjukkan ketajaman politik Hamas dan kelompok perlawanan Palestina, yang mengakui kegunaan hard power dalam mencapai tujuan politik dan bukan sebagai tujuan akhir, sangat kontras dengan pendekatan Israel dalam konflik ini.

Fakta bahwa tujuh bulan setelah Operasi Badai Al-Aqsha, Hamas tetap mempertahankan serangkaian kemampuannya. Ini tidak hanya menandakan kegagalan tujuan militer dan politik Israel, akan tatapi juga kejatuhan Tel Aviv yang tak terduga. Israel, saat ini, dipaksa melakukan negosiasi mengenai status negara Palestina yang telah mereka hindari selama 30 tahun.

Pergeseran ini tidak diragukan lagi dipicu oleh gerakan protes mahasiswa AS yang belum pernah terjadi sebelumnya dan suara-suara anti-kolonial lainnya di seluruh dunia, sehingga menambah dimensi global pada perjuangan lokal. Perkembangan ini merupakan satu lagi keuntungan bagi Hamas dan satu lagi paku di peti mati bagi pengaruh Israel.

Israel Lanjutkan Serangan

Pada pagi Selasa (07/05), Israel mengumumkan telah mengambil alih penyeberangan Rafah di sisi Palestina dan memotong jalan antara penyeberangan tersebut dengan Jalan Salahuddin. Rekaman video di media sosial menunjukkan tank Israel di persimpangan Rafah. Tentara mulai bergerak menuju penyeberangan Rafah pada Senin malam.

Operasi militer Israel di penyeberangan Rafah itu dimulai dengan pemboman besar-besaran terhadap kota Rafah. Rafah pada saat ini sangat penuh sesak dengan lebih dari satu juta penduduk sipil Palestina, di mana sebagian besar terpaksa mengungsi dari tempat lain di Jalur Gaza selama serangan Israel. Israel mengklaim kota Rafah adalah benteng terakhir Hamas dan kunci kemenangan Israel dalam perang tersebut, di mana Israel telah berencana untuk menyerang kota tersebut selama berbulan-bulan.

Sejak tanggal 7 Oktober hingga saat ini, dengan dukungan Amerika dan Eropa, tentara Israel masih terus melanjutkan agresi terhadap Jalur Gaza dan juga melakukan serangan di berbagai kawasan di Tepi Barat. Pesawat tempur Israel mengebom kawasan di sekitar rumah sakit, gedung, apartemen, dan rumah penduduk sipil Palestina. Israel juga mencegah dan memblokade masuknya air, makanan, obat-obatan, dan bahan bakar ke Jalur Gaza. Israel terus menerus melakukan kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional.

Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, pada Selasa (07/05), mengumumkan bahwa jumlah korban jiwa akibat pemboman Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 lalu telah meningkat menjadi sekitar 34.789  orang dan 78.204  lainnya mengalami luka-luka, di mana mayoritas korban korban jiwa pemboman Israel adalah anak-anak dan perempuan.

Sementara itu, berdasarkan laporan pihak berwenang Jalur Gaza dan organisasi internasional, lebih dari 85 persen atau sekitar 1,9 juta penduduk Palestina di Jalur Gaza terpaksa harus mengungsi setelah kehilangan tempat tinggal dan penghidupan akibat pemboman Israel.

(T.FJ/S: The Cradle, RT Arabic)

leave a reply
Posting terakhir