Tel Aviv, SPNA - Media Israel, pada Senin (01/07/2024), mengatakan bahwa lebih dari 900 perwira dari berbagai tingkatan mengajukan pengunduran diri dari dinas militer selama setahun terakhir, dengan tingkat yang hampir belum pernah terjadi sebelumnya. Sebagai pebandingan permintaan tersebut sebelumnya tidak melebihi 150 perwira.
Surat kabar Israel, Haaretz, melaporkan bahwa puluhan tentara cadangan mengumumkan bahwa mereka tidak akan kembali bertugas militer di Gaza, bahkan jika akan dihukum atau diberikan sanksi militer.
Hal ini terjadi ketika media Israel melaporkan bahwa ratusan tentara cadangan di kesatuan militer Israel pergi ke luar negeri setiap bulan tanpa memberi tahu komandan mereka, akibat perang yang terus berlanjut di Jalur Gaza, di mana tentara Israel menderita kerugian besar selama beberapa bulan terakhir.
Sementara itu, media Israel lainnya, Walla, mengatakan bahwa tentara menderita kekurangan tentara dan sedang berupaya membentuk divisi baru untuk melaksanakan berbagai tugas. Divisi baru ini akan dinamai “Divisi David” dan akan mencakup tentara pria dan wanita yang telah mencapai usia pengecualian, sukarelawan, dan anggota Haredim (Yahudi Ultra-Ortodoks), sehingga tentara mungkin dapat merekrut 40.000 tentara.
Walla mengutip sejumlah sumber militer yang mengatakan bahwa perekrutan tentara dapat berkontribusi pada beberapa tugas, termasuk keamanan perbatasan dan di kawasan Tepi Barat, serta perang multi-front di masa depan.
Demonstrasi Haredim
Sementara itu, akibat pembentukan divisi baru ini, demontrasi Pecah. Polisi Israel membubarkan demonstrasi Yahudi ultra-Ortodoks, yang berlangsung berjam-jam di kota Yerusalem yang diduduki, sebagai protes terhadap keputusan Mahkamah Agung yang memaksa mereka menjalani wajib militer.
Media Israel melaporkan bahwa para demonstran membakar properti umum di kawasan Romema di Yerusalem Barat, sehingga polisi membubarkan demonstrasi tersebut dengan menggunakan air limbah.
Pada Selasa lalu, Mahkamah Agung Israel memutuskan untuk memaksa perekrutan anggota Haredim (Yahudi ultra-Ortodoks) ke dalam tentara Israel untuk menambah kuantitas jumlah tentara yang saat ini sedang menghadapi perlawanan sengit di Jalur Gaza dan berada di bawah tekanan di front selatan Lebanon.
Mahkamah Agung Israel juga memerintahkan pembekuan anggaran sekolah agama berbasis Yahudi ultra-Ortodoks, dan mengatakan dalam keputusannya bahwa tidak ada dasar hukum bagi pemerintah untuk mengecualikan orang Yahudi Haredim dari wajib militer.
Keputusan ini akan menimbulkan kejutan di koalisi Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang sebagian menentang perekrutan mereka.
Haredim
Haredim merupakan sekte Yahudi yang paling taat, memisahkan diri dari masyarakat untuk mengabdikan diri pada mempelajari Taurat, doa, dan ibadah.
Israel memiliki pengecualian khusus, torato umanuto atau mempelajari Taurat, yang disepakati sebelum negara Israel dibentuk. Pengecualian ini membuat siswa senior dibebaskan dari wajib militer selama yang mereka lakukan hanyalah mempelajari kitab suci Yahudi di sekolah agama yang dikenal sebagai yeshiva, yang bergantung pada pendanaan pemerintah.
Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa mempelajari Taurat, atau membacanya, melindungi bangsa Israel dari ancaman. Karena ultra-Ortodoks merupakan kelompok yang relatif kecil di Israel, maka masalahnya tidak dipandang sebagai masalah besar.
Genosida Terus Berlanjut
Sejak tanggal 7 Oktober hingga saat ini, dengan dukungan Amerika dan Eropa, tentara Israel masih terus melanjutkan agresi terhadap Jalur Gaza dan juga melakukan serangan di berbagai kawasan di Tepi Barat. Pesawat tempur Israel mengebom kawasan di sekitar rumah sakit, gedung, apartemen, dan rumah penduduk sipil Palestina. Israel juga mencegah dan memblokade masuknya air, makanan, obat-obatan, dan bahan bakar ke Jalur Gaza, di tengah bencana kelaparan yang semakin parah.
Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, pada Senin (01/07), mengumumkan bahwa jumlah korban jiwa akibat pemboman Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 lalu telah meningkat menjadi 37.900 orang dan 87.060 lainnya mengalami luka-luka, di mana mayoritas korban korban jiwa pemboman Israel adalah anak-anak dan perempuan.
Sementara itu, berdasarkan laporan pihak berwenang Jalur Gaza dan organisasi internasional, lebih dari 85 persen atau sekitar lebih 1,7 juta penduduk Palestina di Jalur Gaza terpaksa harus mengungsi setelah kehilangan tempat tinggal dan penghidupan akibat pemboman Israel.
(T.FJ/S: Aljazeera, Palinfo)