Tel Aviv, SPNA - Orang-orang Yahudi ultra-Ortodoks, sebagaimana dilansir Aljazeera, pada Senin (01/07/2023), telah melakukan aksi protes di Israel sejak beberapa hari. Mereka tidak senang dengan gagasan dan undang-undang yang akan merekrut mereka menjadi tentara Israel.
Dalam beberapa hari terakhir, kelompok Haredim atau Yahudi ultra-Ortodoks bentrok dengan polisi selama protes menentang pencabutan pengecualian wajib militer. Kemarahan bahkan tertuju pada perwakilan Haredim di parlemen Israel. Pada hari Minggu, sekelompok orang menyerang mobil kepala Partai Persatuan Torah Yahudi.
Di negara yang memberlakukan wajib militer, mengapa kelompok ultra-Ortodoks dikecualikan, dan mengapa mereka begitu marah terhadap upaya untuk mengubah hal tersebut?
Yahudi ultra-Ortodoks atau Haredim
Haredim (Haredi dalam bentuk tunggal) adalah istilah Ibrani bagi orang Yahudi ultra-Ortodoks. Mereka adalah sekte Yahudi yang paling taat, memisahkan diri dari masyarakat untuk mengabdikan diri pada ajaran Taurat, doa, dan ibadah.
Haredim memiliki pakaian yang khas, dengan para perempuan mengenakan pakaian panjang dan sederhana serta penutup kepala, sedangkan laki-laki mengenakan jas atau mantel hitam dan topi bulu besar.
Haredim juga mempunyai cara hidup yang berbeda dengan menjaga diri, mengisolasi komunitas mereka sebisa mungkin dari dunia luar, menghalangi interaksi ekonomi yang diperlukan agar tetap “murni”, dan tidak ternoda oleh kepentingan duniawi.
Gerakan Haredim ini telah ada sejak abad ke-19 di Eropa sebagai reaksi terhadap modernisasi dunia, yang dikhawatirkan oleh kaum Haredim akan mengalihkan perhatian orang-orang Yahudi dari pembelajaran agama mereka.
Mengapa Haredim Tidak Perlu Wajib Militer
Israel memiliki pengecualian khusus Yorato Umanuto atau mempelajari Taurat, yang disepakati sebelum negara Israel dibentuk. Pengecualian ini membuat siswa senior Haredim dibebaskan dari wajib militer selama yang mereka lakukan hanyalah mempelajari kitab suci Yahudi di sekolah agama yang dikenal sebagai Yeshiva, yang bergantung pada pendanaan pemerintah.
Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa mempelajari Taurat, atau membacanya, melindungi bangsa Israel dari ancaman. Dan karena kelompok ultra-Ortodoks merupakan kelompok yang relatif kecil di Israel, maka masalahnya tidak dipandang sebagai masalah besar.
Namun, seiring berjalannya waktu, jumlah Haredim di Israel meningkat pesat. Saat ini, terdapat sekitar 13.000 pemuda Yahudi ultra-Ortodoks yang mencapai usia wajib militer pada usia 18 tahun, akan tetapi sekitar 90 persen tidak mendaftar wajib militer. Tahun lalu, 66.000 Haredim tidak mendaftar wajib militer.
Pembantaian di Gaza dan Kekurangan Tentara Israel
Media Israel, pada Senin (01/07), mengungkapkan bahwa lebih dari 900 perwira dari berbagai tingkatan mengajukan pengunduran diri dari dinas militer selama setahun terakhir, dengan tingkat yang hampir belum pernah terjadi sebelumnya. Sebagai pebandingan permintaan tersebut sebelumnya tidak melebihi 150 perwira.
Surat kabar Israel, Haaretz, melaporkan bahwa puluhan tentara cadangan mengumumkan bahwa mereka tidak akan kembali bertugas militer di Gaza, bahkan jika akan dihukum atau diberikan sanksi militer.
Jumlah ini belum termasuk ratusan tentara cadangan di kesatuan militer Israel pergi ke luar negeri setiap bulan tanpa memberi tahu komandan mereka, akibat perang yang terus berlanjut di Jalur Gaza, di mana tentara Israel menderita kerugian besar selama beberapa bulan terakhir.
Sementara itu, media Israel lainnya, Walla, mengatakan bahwa tentara menderita kekurangan tentara dan sedang berupaya membentuk divisi baru untuk melaksanakan berbagai tugas. Divisi baru ini akan dinamai “Divisi David” dan akan mencakup tentara laki-laki dan perempuan yang telah mencapai usia pengecualian, sukarelawan, dan anggota Haredim (Yahudi Ultra-Ortodoks), sehingga Israel mungkin dapat merekrut 40.000 tentara.
Ketika semakin banyak tentara Israel yang terbunuh dan terluka pada saat melakukan perang genosida di Jalur Gaza, keluarga mereka menjadi marah karena ada begitu banyak pemuda sehat yang tidak ikut serta dalam perang. Namun, itu bukan satu-satunya pemicunya.
Selama bertahun-tahun, pemerintah Israel, terutama yang dipimpin oleh partai sekuler, telah mendiskusikan untuk mengakhiri pengecualian wajib militer bagi seluruh warga Israel seiring dengan bertambahnya jumlah komunitas Yahudi ultra-Ortodoks. Mahkamah Agung kemudian pada tanggal 25 Juni memutuskan bahwa militer mulai merekrut siswa Yeshiva.
Sebelumnya telah diputuskan bahwa sekolah agama Yeshiva yang siswanya tidak mendaftar tidak akan menerima dana pemerintah.
Hal ini menimbulkan kemarahan komunitas Haredim, yang telah melobi dan memprotes keras gagasan melakukan dinas militer. Namun, warga Yahudi Israel lainnya menjadi marah pada Haredim, karena mereka hidup dari tunjangan negara yang disubsidi oleh warga Israel lainnya. Hal ini menyebabkan beberapa serangan terhadap pengunjuk rasa Haredim.
Mengapa Haredim Sangat Menentang Dinas Militer?
Ada berbagai alasan mengapa mereka tidak mau ikut wajib militer. Terutama, mereka percaya bahwa bergabung dengan tentara akan mengalihkan perhatian dari tugas mempelajari Taurat, yang menurut mereka Taurat adalah tujuan utama hidup mereka.
Mendaftar juga akan menghilangkan unsur-unsur isolasi yang dimiliki komunitas ultra-Ortodoks dari masyarakat luas, dan banyak yang percaya bahwa prinsip-prinsip Haredi bertentangan dengan prinsip-prinsip militer.
Akomodasi khusus juga harus disediakan jika Haderim ikut dalam militer, seperti Haredim harus bertugas di unit khusus laki-laki, memastikan mereka tidak melakukan kontak dengan perempuan, memperbolehkan waktu sembahyang yang lebih panjang, dan kondisi perumahan yang ketat.
Banyak Haredim juga anti-Zionis, karena mereka percaya bahwa negara Israel hanya dapat didirikan setelah kedatangan sang Mesias (Juru Selamat Yahudi). Beberapa sekte ultra-Ortodoks bahkan menjadi pendukung utama perjuangan Palestina, seperti Naturei Karta.
Genosida Terus Berlanjut
Sejak tanggal 7 Oktober hingga saat ini, dengan dukungan Amerika dan Eropa, tentara Israel masih terus melanjutkan agresi terhadap Jalur Gaza dan juga melakukan serangan di berbagai kawasan di Tepi Barat. Pesawat tempur Israel mengebom kawasan di sekitar rumah sakit, gedung, apartemen, dan rumah penduduk sipil Palestina. Israel juga mencegah dan memblokade masuknya air, makanan, obat-obatan, dan bahan bakar ke Jalur Gaza, di tengah bencana kelaparan yang semakin parah.
Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, pada Rabu (03/07), mengumumkan bahwa jumlah korban jiwa akibat pemboman Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 lalu telah meningkat menjadi 37.953 orang dan 87.266 lainnya mengalami luka-luka, di mana mayoritas korban korban jiwa pemboman Israel adalah anak-anak dan perempuan.
Sementara itu, berdasarkan laporan pihak berwenang Jalur Gaza dan organisasi internasional, lebih dari 85 persen atau sekitar lebih 1,7 juta penduduk Palestina di Jalur Gaza terpaksa harus mengungsi setelah kehilangan tempat tinggal dan penghidupan akibat pemboman Israel.
(T.FJ/S: Aljazeera, Palinfo)