Apa yang Dicapai Israel dengan Pembunuhan Ismail Haniyeh? Ini Pendapat Gideon Levy

Pembunuhan Ismail Haniyeh oleh Israel dalam serangan udara terbaru di Teheran, yang juga mencakup serangan di Beirut, memperburuk ketegangan di Timur Tengah dan meningkatkan risiko perang lebih luas. Gideon Levy menilai bahwa tindakan ini mungkin mencapai keuntungan taktikal bagi Israel, tetapi juga membuka kemungkinan reaksi yang lebih besar dan krisis yang lebih parah. Menurut Levy, langkah tersebut lebih terkait dengan politik domestik Israel daripada strategi militer jangka panjang, dan meskipun ada kebanggaan di kalangan banyak warga Israel, beberapa menyadari dampak berbahaya dari agresi tersebut. Levy juga skeptis mengenai kemampuan AS untuk secara signifikan mempengaruhi kebijakan Israel, menunjukkan bahwa komunitas internasional perlu lebih aktif. Situasi konflik saat ini sangat tidak pasti dan berpotensi mengarah pada eskalasi lebih lanjut atau peluang diplomasi baru.

BY 4adminEdited Thu,01 Aug 2024,03:55 AM
Gideon Levy dalam wawancara bersama Middle East Eye

Jalur Gaza, SPNA - Pembunuhan Ismail Haniyeh, Kepala Sayap Politik Hamas, dalam serangan udara terbaru oleh Israel di Teheran telah memperparah situasi di Timur Tengah da  menambah risiko perang berdarah yang lebih luas di kawasan.

Pembunuhan Haniyeh terjadi hanya beberapa jam setelah serangan udara di Beirut yang menewaskan seorang wanita dan dua anak, serta menargetkan seorang komandan senior Hezbollah.

Jurnalis Yahudi Gideon Levy dalam wawancara dengan Middle East Eye, Rabu (31/07/2024), memberikan pandangannya tentang dampak dari pembunuhan Haniyeh dan implikasinya terhadap konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan Hamas.

Levy menjelaskan bahwa tindakan Israel membunuh Ismail Haniyeh adalah langkah yang sangat berisiko dan penuh dengan konsekuensi. “Ini bukan hanya tentang membunuh seorang tokoh penting dalam Hamas, tetapi juga tentang konsekuensi dari tindakan tersebut. Dengan kematiannya, Israel mungkin telah mencapai sesuatu secara taktikal, tetapi ini juga membuka pintu untuk reaksi yang lebih besar dan menimbulkan malapetakan lebih besar.”

Levy juga menilai bahwa keputusan Israel untuk membunuh Haniyeh mungkin lebih terkait dengan tujuan politik domestik daripada strategi militer jangka panjang. “Israel tidak mencapai apa-apa selain menunjukkan arogansi yang lebih. Saya merasa bahwa ini adalah langkah yang lebih banyak berhubungan dengan politik domestik di Israel daripada dengan situasi di lapangan. Dalam politik domestik, langkah seperti ini bisa dianggap sebagai kekuatan dan keberanian, tetapi dalam jangka panjang, ini bisa sangat merugikan Israel sendiri.

Menurut Levy, reaksi masyarakat Israel terhadap serangan ini sangat beragam. “Di Israel, ada kebanggaan besar di kalangan banyak orang tentang tindakan ini. Mereka merasa ini adalah pencapaian besar dan menunjukkan kekuatan Israel. Namun, di sisi lain, banyak orang Israel yang rasional dan berpikir jernih menyadari betapa berbahayanya langkah ini. Mereka tahu bahwa setiap tindakan yang agresif seperti ini akan memiliki konsekuensi dan bisa mengarah pada konflik yang lebih besar.”

Mengenai peran Amerika Serikat, Levy skeptis tentang kemauan dan kemampuan AS untuk mempengaruhi kebijakan Israel secara signifikan. “Amerika Serikat tidak akan mengubah kebijakan mereka secara mendasar hanya karena tekanan internasional. Pemerintahan Biden mungkin merasa tertekan untuk merespons dengan tegas, tetapi kita harus ingat bahwa dalam politik internasional, kekuatan seperti AS juga memiliki keterbatasan. Komunitas internasional yang lebih luas perlu bertindak, tetapi sejauh ini, mereka belum menunjukkan tekad yang cukup.”

Levy menyimpulkan bahwa masa depan konflik ini sangat tidak pasti dan berada di titik yang sangat kritis. Setiap langkah yang diambil bisa mengarah pada eskalasi yang lebih besar atau mungkin membuka jalan untuk diplomasi baru. Namun, untuk saat ini, situasinya sangat menegangkan dan sulit untuk diprediksi.

Gideon Levy adalah seorang jurnalis dan kolumnis asal Israel yang dikenal karena pandangannya yang kritis terhadap kebijakan pemerintah Israel, terutama terkait konflik Israel-Palestina. Lahir pada 1955 di Tel Aviv, Levy meraih gelar sarjana dalam bidang sosiologi dan ilmu politik dari Universitas Tel Aviv.

Levy memulai karier jurnalisnya sebagai reporter untuk surat kabar Haaretz, salah satu media terkemuka di Israel, di mana ia telah menulis kolom opini sejak 1982. Ia dikenal karena tulisannya yang tajam mengenai isu-isu hak asasi manusia, konflik, dan kebijakan luar negeri Israel.

Levy telah meraih berbagai penghargaan atas karyanya, termasuk Penghargaan Hak Asasi Manusia dari Amnesty International dan Penghargaan Jurnalisme Internasional dari Pemerintah Belanda. Karya-karyanya sering kali menyoroti ketidakadilan dan kekerasan yang terjadi selama konflik Israel-Palestina, serta dampaknya terhadap masyarakat sipil.

(T.RS/S:MiddleEastEye)

leave a reply
Posting terakhir