Yerusalem, SPNA - Berdasarkan laporan statistik terbaru Kementerian Keuangan Palestina pada Minggu (18/08/2024), selama beberapa tahun terakhir, pemerintah Israel telah memotong sekitar 6,93 miliar shekel atau sekitar 2 miliar dolar Amerika Serikat (sekitar 31 triliun rupiah) dari pendapatan pajak Palestina dan menolak mengembalikan dana tersebut, sehingga memperburuk kesulitan keuangan yang dihadapi Otoritas Palestina (PA).
Berdasarkan perjanjian perdamaian sementara yang dimulai sejak awal 1990-an, Israel memungut pajak dan bea cukai atas nama Otoritas Palestina dan mentransfernya ke Otoritas Palestina setiap bulan.
Sejak dimulainya agresi Israel di Gaza pada Oktober 2023, otoritas Israel telah memotong hampir 2,55 miliar shekel atau senilai 680 juta dolar dari pendapatan pajak yang dialokasikan untuk Gaza, dengan rata-rata 255 juta shekel atau senilai 68 juta dolar per bulan.
Pemotongan ini merupakan bagian dari strategi Israel untuk menekan Otoritas Palestina agar menghentikan pembayaran kepada karyawan dan pensiunannya di Gaza, termasuk gaji pegawai pemerintah di sektor-sektor penting seperti kesehatan dan pendidikan.
Selain pemotongan pajak Gaza, Israel telah menahan 3,48 miliar shekel dana yang ditujukan untuk keluarga para martir dan tahanan, praktik yang telah berlangsung sejak Februari 2019. Pemotongan pajak ini rata-rata 53,5 juta shekel per bulan, sementara Israel terus memblokir pencairan dana ini.
Lebih jauh, Israel juga telah menahan lebih dari 900 juta shekel pajak yang dikumpulkan dari para pelancong Palestina di penyeberangan dengan Yordania, sehingga total pemotongan pajak menjadi sekitar 6,93 miliar shekel.
Kementerian Keuangan Palestina telah melaporkan bahwa pemotongan pajak Israel untuk layanan seperti listrik, air, limbah, dan tagihan rumah sakit dari pendapatan pajak telah terkumpul menjadi sekitar 20 miliar shekel sejak 2012.
Israel belum mengaudit tagihan dan pemotongan dari dana kliring, termasuk biaya jangka panjang untuk konsumsi utilitas Gaza, yang rata-rata antara 40-50 juta shekel per bulan.
Langkah-langkah keuangan ini merupakan bagian dari operasi tekanan Israel yang lebih luas terhadap Otoritas Palestina, yang berdampak pada kemampuannya untuk memenuhi kewajiban keuangan kepada warga negaranya, terutama di masa-masa yang penuh krisis ini.
Mengapa Israel Mengendalikan Pendapatan Pajak Palestina?
Sistem pemungutan pajak dan bea cukai yang dilakukan oleh Israel atas nama Otoritas Palestina dan ditransfer ke otoritas tersebut setiap bulan disetujui dalam perjanjian tahun 1994.
Hal ini dikenal sebagai Protokol Paris, perjanjian tersebut dimaksudkan untuk mengelola hubungan ekonomi antara Israel dan wilayah Palestina yang didudukinya hingga penyelesaian damai akhir dicapai antara kedua negara.
Ini disetujui setelah optimisme yang dihasilkan oleh Perjanjian Oslo, yang diratifikasi secara terbuka oleh Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin dan pemimpin Palestina Yasser Arafat di Gedung Putih pada bulan September 1993, di mana protokol ini seharusnya berakhir dalam waktu lima tahun.
Namun, 30 tahun kemudian, penyelesaian keuangan tersebut terus memberikan Israel hal yang disebut oleh Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) sebagai “pengaruh yang tidak proporsional terhadap pengumpulan pendapatan fiskal Palestina, yang menyebabkan kekurangan dalam struktur dan pengumpulan bea cukai yang diakibatkan oleh impor langsung dan tidak langsung ke Palestina”.
Berapa Banyak Uang yang Ditahan Israel?
Pendapatan pajak yang dikumpulkan Israel atas nama Otoritas Palestina berjumlah sekitar 188 juta dolar Amerika setiap bulan. Jumlah ini mencakup 64 persen dari total pendapatan Otoritas Palestina. Sebagian besar dari jumlah ini digunakan untuk membayar gaji sekitar 150.000 karyawan Otoritas Palestina yang bekerja di Tepi Barat dan Gaza, meskipun tidak memiliki yurisdiksi atas Jalur Gaza.
Pada tanggal 3 November, kabinet keamanan Israel memberikan suara untuk menahan total 275 juta dolar dalam pendapatan pajak Palestina, termasuk uang tunai yang dikumpulkan selama bulan-bulan sebelumnya yang masih ada di Tel Aviv.
“Otoritas Palestina tidak jelas menyebutkan tentang berapa banyak pendapatan pajak yang masuk ke Jalur Gaza. Itu kotak hitam. Kadang-kadang mereka mengatakan 30 persen, kadang-kadang 40, kadang-kadang 50,” kata Rabeh Morrar, direktur penelitian di Palestine Economic Policy Research Institute-MAS, kepada Al Jazeera.
Berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh kabinet Israel pada hari Minggu, pendapatan pajak bulanan yang sebelumnya dialokasikan untuk staf Otoritas Palestina di Gaza akan ditransfer ke rekening perwalian yang berbasis di Norwegia. Namun, dana tersebut tidak dapat digunakan untuk membayar pekerja di Jalur Gaza tanpa izin dari Israel.
Satu-satunya anggota pemerintah Israel yang menentang rencana pengiriman dana ke Norwegia adalah Menteri Keamanan Nasional sayap kanan Itamar Ben-Gvir, yang bersikeras bahwa inisiatif tersebut “tidak menjamin bahwa uang tersebut tidak akan sampai ke tangan Nazi dari Gaza”.
Bagaimana Israel Menjalankan “Pengaruh yang Tidak Proporsional” atas Otoritas Palestina?
Negara Israel sering menggunakan kendalinya atas pendapatan pajak Otoritas Palestina sebagai sarana untuk memeras dan menghukum Palestina.
Pada bulan Januari 2023, misalnya, pemerintah Israel yang baru dibentuk (yang dipandang sebagai pemerintah koalisi paling kanan dalam sejarah negara Israel) memutuskan untuk menahan 39 juta dolar Amerika pendapatan pajak Otoritas Palestina setelah keputusan Palestina untuk meminta Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan legalitas pendudukan Israel selama puluhan tahun.
“Pemerasan Israel atas pendapatan pajak kami tidak akan menghentikan kami untuk melanjutkan perjuangan politik dan diplomatik kami,” kata Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh saat itu setelah kabinet keamanan Israel sebelumnya menggambarkan langkah Otoritas Palestina di ICJ sebagai “keputusan untuk melancarkan perang politik dan hukum melawan Negara Israel”.
Apa Dampak Penarikan Dana Publik Israel terhadap Palestina?
“Otoritas Palestina berutang miliaran dolar dalam bentuk utang internal kepada bank-bank lokal, rumah sakit, perusahaan medis, dan sektor swasta. Ada juga utang (yang terutang), misalnya, untuk gedung-gedung milik swasta yang disewakan oleh pemerintah. Mereka belum mampu membayarnya kembali,” ,” kata kata Rabeh Morrar, direktur penelitian di Palestine Economic Policy Research Institute-MAS.
Pada tahun 2021, krisis keuangan Otoritas Palestina, yang diperburuk oleh penolakan berkala Israel untuk membayar total pendapatan pajak Palestina sebelum 7 Oktober. Hal ini mendorong Otoritas Palestina untuk memotong semua gaji sebesar 25 persen.
Sejak November, ketika Israel memutuskan untuk membekukan dana yang dialokasikan untuk Gaza, Otoritas Palestina menolak untuk menerima uang sama sekali sebagai bentuk protes.
Akibat pemboman Israel yang terus berlanjut di Jalur Gaza, yang telah membunuh lebih dari 40.000 penduduk Palestina sejak 7 Oktober dan akibat dari keputusan Otoritas Palestina untuk menolak persyaratan Israel, Otoritas Palestina tidak dapat membayar gaji karyawan selama satu setengah bulan.
Sementara beberapa laporan telah muncul bahwa Otoritas Palestina mungkin akan mengalah dan setuju untuk menerima pembayaran sebagian dari Israel, yang akan melepaskan sejumlah dana yang sangat dibutuhkan bagi banyak stafnya yang kekurangan uang, Tepi Barat yang diduduki tetap berada di bawah kekuasaan suruhan Israel.
Israel memang menangguhkan izin kerja sekitar 130.000 pekerja harian dari Tepi Barat yang diduduki setelah 7 Oktober 2023.
Sejak tanggal 7 Oktober 2023 hingga saat ini, dengan dukungan Amerika dan Eropa, tentara Israel terus melanjutkan genosida penduduk Palestina di Jalur Gaza dan juga melakukan serangan di berbagai kawasan di Tepi Barat. Pesawat tempur Israel mengebom kawasan di sekitar rumah sakit, gedung, apartemen, dan rumah penduduk sipil Palestina. Israel juga mencegah dan memblokade masuknya air, makanan, obat-obatan, dan bahan bakar ke Jalur Gaza.
Israel terus menerus melakukan kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional. Penduduk Palestina di Jalur Gaza hidup dalam kondisi kemanusiaan dan Kesehatan yang memprihatinkan.
Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, pada Kamis (15/08), mengumumkan bahwa jumlah korban jiwa akibat pemboman Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 lalu telah meningkat menjadi sekitar 40.005 orang dan 92.401 lainnya mengalami luka-luka, di mana mayoritas korban korban jiwa pemboman Israel adalah anak-anak dan perempuan. Lebih 10.000 orang dinyatakan hilang, di tengah kerusakan besar-besaran pada bidang kesehatan dan infrastruktur, serta krisis kelaparan yang merenggut nyawa puluhan anak-anak.
Sementara itu, kekejaman Israel juga meningkat di Tepi Barat termasuk Yerusalem timur, di mana 632 penduduk Palestina dibunuh Israel, termasuk 140 anak-anak, sejak 7 Oktober 2023.
Berdasarkan laporan pihak berwenang Jalur Gaza dan organisasi internasional, sekitar 90 persen atau sekitar 1,9 juta penduduk Palestina di Jalur Gaza terpaksa harus mengungsi setelah kehilangan tempat tinggal dan penghidupan akibat pemboman Israel.
(T.FJ/S: Aljazeera, WAFA, Palinfo)