Tel Aviv, SPNA - Mantan ombudsman tentara Israel, Jenderal cadangan Yitzhak Brik, dalam kolom opini yang diterbitkan Haaretz, pada Rabu (21/08/2024), mengatakan bahwa negaranya akan menghadapi keruntuhan dalam waktu kurang dari setahun jika perang melawan perlawanan Palestina di Gaza dan perlawanan Lebanon di utara terus berlanjut dengan kecepatannya saat ini.
Yitzhak Brik mengklaim Menteri Pertahanan Yoav Gallant telah mulai sadar, merujuk pada komentar Gallant baru-baru ini di mana ia menyebut janji Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tentang kemenangan total di Gaza sebagai “omong kosong”.
“(Gallant) telah mulai memahami bahwa jika perang regional pecah karena kegagalan mencapai (kesepakatan gencatan senjata), Israel akan berada dalam bahaya. Gallant sudah memahami bahwa perang telah kehilangan tujuannya. Kita tenggelam dalam lumpur, kehilangan pejuang yang terbunuh dan terluka, tanpa peluang untuk mencapai tujuan utama. Memang, negara ini sedang menuju depresiasi. Jika perang gesekan melawan Hamas dan Hizbullah terus berlanjut, Israel akan runtuh tidak lebih dari setahun,” kata Yitzhak Brik, mantan komandan angkatan darat itu menyoroti.
Yitzhak Brik melanjutkan dengan menyebutkan banyak ancaman yang dihadapi Israel 10 bulan setelah serangan genosida di Gaza, termasuk serangan yang semakin intensif di dalam wilayah Gaza, krisis tenaga kerja di angkatan darat karena kerugian besar, ekonomi yang runtuh diperparah oleh seruan global untuk memboikot negara itu, kemungkinan embargo pengiriman senjata, dan hilangnya ketahanan sosial dan kebencian di antara sebagian penduduk. Ia menyebut bahwa hal-hal tersebut dapat memicu dan menyebabkan Israel runtuh dari dalam.
“Semua jalan pangkat politik dan militer membawa Israel ke lereng. Israel telah memasuki putaran eksistensial dan mungkin akan segera mencapai titik balik,” kata Yitzhak Brik menyimpulkan.
Peringatan kerasnya muncul ketika sumber-sumber politik mengungkapkan kepada media Israel pada pekan lalu bahwa Netanyahu “tidak mengubah sikapnya” terkait persyaratan kesepakatan gencatan senjata Gaza setelah berbicara dengan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden.
Negosiasi gencatan senjata akan dilanjutkan di ibu kota Mesir dalam beberapa hari mendatang tanpa kehadiran Hamas, karena kelompok Palestina tersebut telah menolak proposal baru yang didukung Amerika Serikat dan tetap bersikeras menuntut Israel untuk mematuhi persyaratan proposal sebelumnya yang disetujui pada tanggal 2 Juli, dengan mengatakan bahwa perundingan sepihak tersebut memberi Israel lebih banyak waktu untuk terus melakukan perang genosida terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza.
Sejak tanggal 7 Oktober hingga saat ini, dengan dukungan Amerika dan Eropa, tentara Israel terus melanjutkan genosida penduduk Palestina di Jalur Gaza dan juga melakukan serangan di berbagai kawasan di Tepi Barat. Pesawat tempur Israel mengebom kawasan di sekitar rumah sakit, gedung, apartemen, dan rumah penduduk sipil Palestina. Israel juga mencegah dan memblokade masuknya air, makanan, obat-obatan, dan bahan bakar ke Jalur Gaza. Israel terus menerus melakukan kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional.
Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, pada Kamis (22/08), mengumumkan bahwa jumlah korban jiwa akibat pemboman Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 lalu telah meningkat menjadi sekitar 40.256 orang dan 93.144 lainnya mengalami luka-luka, di mana mayoritas korban korban jiwa pemboman Israel adalah anak-anak dan perempuan.
Sementara itu, berdasarkan laporan pihak berwenang Jalur Gaza dan organisasi internasional, sekitar 90 persen atau sekitar 1,9 juta penduduk Palestina di Jalur Gaza terpaksa harus mengungsi setelah kehilangan tempat tinggal dan penghidupan akibat pemboman Israel.
(T.FJ/S: The Cradle, Palinfo)