Paris, SPNA - Pendiri Telegram, Pavel Durov, ditahan oleh otoritas Prancis sebagai bagian dari upaya penyelidikan kejahatan dunia maya. Hal ini disampaikan jaksa Paris dalam sebuah pernyataan pada Senin (26/08/2024).
Miliarder kelahiran Rusia dan pendiri aplikasi pengiriman pesan populer tersebut ditangkap saat mendarat di ibu kota Prancis pada Sabtu malam (24/08/2024).
Pernyataan jaksa menyebutkan 12 pelanggaran berbeda yang sedang diselidiki karena “keterlibatan” dalam kejahatan terorganisir, termasuk transaksi terlarang, pornografi anak, penipuan, dan penolakan untuk mengungkapkan informasi kepada pihak berwenang.
Pernyataan tersebut menambahkan bahwa waktu penahanan Durov telah diperpanjang dan sekarang dapat berlangsung hingga Rabu (28/08/2024).
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, mengkritik otoritas Prancis atas standar ganda mereka setelah penangkapan Durov.
“Saya baru ingat bahwa pada tahun 2018, sekelompok 26 LSM, termasuk Human Rights Watch, Amnesty International, Freedom House, Reporters Without Borders, Committee to Protect Journalists, dan lainnya, mengecam keputusan pengadilan Rusia untuk memblokir Telegram. Barat juga membuat pernyataan serupa,” kata Zakharova.
Telegram telah memainkan peran penting dalam perang informasi yang sedang berlangsung seputar genosida di Gaza. Para pendukung Palestina dapat menggunakan aplikasi tersebut untuk secara bebas berbagi informasi yang mengungkap kejahatan perang Israel yang sedang berlangsung sambil menyoroti upaya Hamas, Hizbullah, Yaman, dan Iran untuk melawan Israel.
Tidak jelas apakah Israel memiliki peran dalam penahanan Durov di Paris pada hari Sabtu. Namun, pada Minggu lalu, media Israel Haaretz melaporkan bahwa “Telegram telah terbukti menjadi tantangan besar bagi Israel sejak dimulainya perang (genosida di Jalur Gaza).” Ini termasuk kebocoran data sensitif dari Israel yang diperoleh oleh peretas dan dirilis di saluran Telegram.
Surat kabar Israel mencatat, “Meskipun banyak perusahaan teknologi telah menyederhanakan mekanisme yang dapat digunakan negara (Israel) untuk menghubungi mereka” dengan tujuan menyensor konten, “Telegram dianggap yang paling tidak kooperatif dari semuanya”.
Haaretz menambahkan, “Lebih dari itu, meskipun banyak platform media sosial telah berinvestasi besar dalam moderasi, yang memungkinkan orang dan organisasi untuk membantu memantau konten - misalnya, penghapusan konten antisemit atau unggahan yang menghasut terorisme atau bahkan penghapusan video dari pembantaian 7 Oktober - Telegram belum melakukannya”.
Israel telah berhasil mengendalikan dan menyensor informasi di aplikasi media sosial lainnya, termasuk Instagram, Facebook, X, dan TikTok, melalui lobi Cyberwell, sebuah LSM yang memiliki hubungan luas dengan intelijen Israel.
Pada tanggal 23 Agustus, saluran Telegram Resistance News Network (RNN) dilarang di seluruh Uni Eropa, yang mendorong mereka untuk mengaktifkan saluran cadangan. Pada tanggal 16 Agustus, perusahaan induk Facebook dan Instagram Meta secara permanen melarang The Cradle dari platform media sosialnya karena diduga melanggar pedoman komunitas dengan “memuji organisasi teroris” dan terlibat dalam “hasutan untuk melakukan kekerasan”.
The Cradle telah melampaui 107.000 pengikut dan mengumpulkan jutaan penayangan karena liputannya tentang genosida Israel terhadap penduduk Palestina di Gaza.
Khawatir dengan gelombang konten pro-Palestina, penduduk Israel di industri teknologi pada akhir tahun 2023 mencoba untuk menghubungi pendiri Telegram di UEA, tempat ia tinggal dan memiliki kewarganegaraan.
Meskipun berhasil menghubungi Durov, “ia tidak menanggapi permintaan pribadi ini untuk meningkatkan moderasi di platform tersebut,” tulis Haaretz.
Penangkapan Durov mengikuti upaya baru-baru ini di negara-negara Barat untuk membungkam jurnalis dan analis yang kritis terhadap Israel.
Pada tanggal 7 Agustus, FBI menggerebek rumah jurnalis Amerika Serikat dan mantan inspektur senjata PBB Scott Ritter, yang berkontribusi pada surat kabar RT dan sangat kritis terhadap kebijakan AS di Ukraina dan Israel.
Penggerebekan di rumah Ritter terjadi 24 jam setelah ia menyatakan dalam sebuah wawancara dengan Hakim Andrew Napolitano bahwa orang-orang Yahudi Israel yang religius mengutip Talmud untuk membenarkan penyerangan seksual dan penyiksaan terhadap tahanan Palestina di kamp penahanan Sde Teiman yang terkenal kejam.
Jurnalis Suriah-Inggris Richard Medhurst ditangkap dan ditahan selama 24 jam setelah kedatangannya di Bandara Heathrow awal bulan ini, ia mengumumkan pada tanggal 20 Agustus.
Medhurst menyatakan melalui media sosial bahwa enam petugas polisi sedang menunggunya saat ia keluar dari pesawatnya di London pada tanggal 15 Agustus, seraya menambahkan bahwa ia diperiksa berdasarkan Undang-Undang Terorisme Bagian 12.
Sejak tanggal 7 Oktober 2023 hingga saat ini, dengan dukungan Amerika dan Eropa, tentara Israel terus melanjutkan genosida penduduk Palestina di Jalur Gaza dan juga melakukan serangan di berbagai kawasan di Tepi Barat. Pesawat tempur Israel mengebom kawasan di sekitar rumah sakit, gedung, apartemen, dan rumah penduduk sipil Palestina. Israel juga mencegah dan memblokade masuknya air, makanan, obat-obatan, dan bahan bakar ke Jalur Gaza.
Israel berusaha menyensor konten media yang mengungkapkan kejahatan yang dilakukan terhadap penduduk Palestina di tengah kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional khususnya di Jalur Gaza.
Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, pada Kamis (22/08), mengumumkan bahwa jumlah korban jiwa akibat pemboman Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 lalu telah meningkat menjadi sekitar 40.256 orang dan 93.144 lainnya mengalami luka-luka, di mana mayoritas korban korban jiwa pemboman Israel adalah anak-anak dan perempuan. Lebih 10.000 orang dinyatakan hilang, di tengah kerusakan besar-besaran pada bidang kesehatan dan infrastruktur, serta krisis kelaparan yang merenggut nyawa puluhan anak-anak.
Sementara itu, kekejaman Israel juga meningkat di Tepi Barat termasuk Yerusalem timur, di mana 632 penduduk Palestina dibunuh Israel, termasuk 140 anak-anak, sejak 7 Oktober 2023.
Berdasarkan laporan pihak berwenang Jalur Gaza dan organisasi internasional, sekitar 90 persen atau sekitar 1,9 juta penduduk Palestina di Jalur Gaza terpaksa harus mengungsi setelah kehilangan tempat tinggal dan penghidupan akibat pemboman Israel.
(T.FJ/S: The Cradle, Palinfo)