Tel Aviv, SPNA - Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, pada Senin (09/09/2024), mengancam akan "membubarkan" Otoritas Palestina (PA) jika Palestina melanjutkan langkah-langkah diplomatik tanpa kekerasan di PBB untuk mengakhiri pendudukan Israel atas Palestina.
Katz melontarkan ancaman tersebut setelah Otoritas Palestina menyerahkan rancangan resolusi kepada Majelis Umum PBB yang menuntut agar Israel dipaksa untuk melaksanakan keputusan Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag.
Majelis Umum akan memberikan suara pekan depan pada rancangan resolusi tersebut, yang menyerukan penarikan Israel dari wilayah Palestina yang diduduki dalam waktu enam bulan, pembongkaran permukiman ilegal Yahudi, dan memfasilitasi kembalinya penduduk Palestina ke tanah mereka.
Resolusi tersebut juga menyerukan untuk menjatuhkan sanksi kepada pejabat senior Israel, memblokir penjualan senjata ke Israel jika senjata tersebut mungkin digunakan di wilayah Palestina, dan mencegah lebih banyak kedutaan asing didirikan di Yerusalem yang diduduki.
Katz memerintahkan serangkaian langkah yang akan dikoordinasikan dengan Amerika Serikat dan sekutu Israel lainnya untuk menentang keputusan tersebut.
Katz menginstruksikan diplomat Israel, termasuk Duta Besar Israel untuk PBB, Danny Danon, untuk menekankan kepada pejabat AS, Eropa, dan PBB bahwa jika usulan Palestina disahkan, Israel akan mengenakan "sanksi berat" terhadap Otoritas Palestina, menghentikan semua kerja sama, dan mewujudkan "pembubaran" Otoritas Palestina.
Sebaliknya, pejabat intelijen dan keamanan Israel sering memperingatkan tentang runtuhnya Otoritas Palestina, yang mereka anggap membantu dalam mengendalikan penduduk Palestina atas nama Israel dan mencegah perlawanan terhadap pendudukan.
Pada bulan Juli, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kebijakan Israel untuk membangun permukiman di Tepi Barat melanggar hukum internasional dan bahwa Israel telah secara efektif mencaplok sebagian besar wilayah Tepi Barat. Israel secara resmi mencaplok Yerusalem Timur pada tahun 1980-an, yang melanggar hukum internasional.
Putusan Mahkamah Internasional menyatakan bahwa semua negara anggota PBB berkewajiban untuk tidak mengakui perubahan status wilayah tersebut dan bahwa semua negara berkewajiban untuk tidak membantu atau mendukung pemerintahan Israel atas wilayah tersebut dan memastikan bahwa setiap halangan "terhadap pelaksanaan hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri" harus diakhiri.
Tidak ada mekanisme untuk menegakkan putusan Mahkamah Internasional atau resolusi Majelis Umum apa pun terhadap Israel. Namun, The Times of Israel menulis bahwa adanya kekhawatiran di antara para pemimpin Israel bahwa keputusan semacam itu di forum internasional "dapat membesar dan menyebabkan tekanan untuk embargo senjata dan memasukkan permukiman ke dalam daftar hitam".
Israel menduduki Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Dataran Tinggi Golan Suriah selama serangannya terhadap Suriah, Yordania, dan Mesir pada tahun 1967, yang dikenal sebagai Perang Enam Hari.
Resolusi PBB 242 menyerukan pengembalian wilayah yang ditaklukkan selama perang tahun 1967 berdasarkan pada "tidak dapat diterimanya penaklukan wilayah dalam perang."
Sebaliknya, Israel menempatkan wilayah-wilayah ini di bawah pendudukan militer dan memulai proyek permukiman ilegal, yang melibatkan perampasan tanah Palestina untuk membangun komunitas bagi para pemukim Yahudi dan mencaplok wilayah-wilayah tersebut tanpa memasukkan penduduk asli Palestina.
Sejak tanggal 7 Oktober 2023 hingga saat ini, dengan dukungan Amerika dan Eropa, tentara Israel terus melanjutkan genosida penduduk Palestina di Jalur Gaza dan juga melakukan serangan di berbagai kawasan di Tepi Barat. Pesawat tempur Israel mengebom kawasan di sekitar rumah sakit, gedung, apartemen, dan rumah penduduk sipil Palestina. Israel juga mencegah dan memblokade masuknya air, makanan, obat-obatan, dan bahan bakar ke Jalur Gaza.
Israel terus menerus melakukan kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional. Penduduk Palestina di Jalur Gaza hidup dalam kondisi kemanusiaan dan Kesehatan yang memprihatinkan.
Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, pada Selasa (10/09), mengumumkan bahwa jumlah korban jiwa akibat pemboman Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 lalu telah meningkat menjadi lebih 41.000 orang dan 94.761 lainnya mengalami luka-luka, di mana mayoritas korban korban jiwa pemboman Israel adalah anak-anak dan perempuan. Lebih 10.000 orang dinyatakan hilang, di tengah kerusakan besar-besaran pada bidang kesehatan dan infrastruktur, serta krisis kelaparan yang merenggut nyawa puluhan anak-anak.
Berdasarkan laporan pihak berwenang Jalur Gaza dan organisasi internasional, sekitar 90 persen atau sekitar 1,9 juta penduduk Palestina di Jalur Gaza terpaksa harus mengungsi setelah kehilangan tempat tinggal dan penghidupan akibat pemboman Israel.
Sementara itu, kekejaman Israel juga meningkat di Tepi Barat termasuk Yerusalem timur, di mana 691 penduduk Palestina dibunuh Israel, termasuk 140 anak-anak, sejak 7 Oktober 2023. Lebih 5.600 penduduk Palestina terluka akibat kekerasan dan kejahatan tentara dan pemukim ilegal Israel.
(T.FJ/S: The Cradle, Palinfo)