Ilan Pappé adalah seorang sejarawan, ilmuwan politik, dan mantan politikus Israel yang dikenal karena pandangannya yang menentang pendudukan Israel terhadap Palestina. Saat ini, ia merupakan profesor di College of Social Sciences and International Studies di University of Exeter, Inggris, serta direktur European Centre for Palestine Studies dan wakil direktur Exeter Centre for Ethno-Political Studies. Pappé lahir di Haifa, 7 November 1954 dan dikenal sebagai salah satu Sejarawan Baru Israel. Ia telah menulis secara ekstensif tentang pengusiran rakyat Palestina tahun 1948 dan menjelaskan bahwa peristiwa tersebut adalah hasil dari pembersihan etnis yang sistemik.
Pappé mendukung solusi satu negara untuk Palestina dan Israel dan dikenal sebagai kritik keras Zionisme serta Negara Israel. Ia telah menyerukan boikot internasional terhadap Israel dan memprakarsai Konferensi Tahunan Hak Kembali rakyat Palestina ke tanah air mereka pada 2008. Pandangan Pappé sering kali menuai kritik, termasuk dari media dan kalangan politik, terutama setelah komentarnya mengenai serangan Hamas terhadap Israel pada tahun 2023. Pada 2024, ia mengungkapkan bahwa ia diinterogasi oleh Departemen Keamanan Dalam Negeri di bandara Detroit.
Jalur Gaza, SPNA – Dalam wawancara dengan Al-Araby, Ilan Pape TV menjelaskan bahwa Zionisme, gerakan yang mendorong pendirian negara Yahudi di Palestina, sebenarnya bermula dari proyek Kristen Evangelis jauh sebelum diadopsi oleh kaum Yahudi.
Ilan Pappé menjelaskan sejarah zionisme dalam wawancara dengan Al-Araby TV, (23/08/2024)
Ide ini dipicu oleh kepercayaan Kristen Evangelikal yang meyakini bahwa pengembalian orang Yahudi ke Palestina akan mempercepat kedatangan kembali Mesias.
Menurutnya, Konsep ini didukung oleh tokoh-tokoh penting seperti beberapa perdana menteri Inggris dan presiden Amerika Serikat pada abad ke-19, yang mempercayai bahwa mengembalikan orang Yahudi ke Palestina adalah bagian dari rencana ilahi.
Zionisme sebagai gerakan politik Yahudi mulai terbentuk pada akhir abad ke-19, terutama sebagai reaksi terhadap peningkatan antisemitisme di Eropa Tengah dan Timur. Kaum Yahudi di wilayah ini menghadapi diskriminasi dan penindasan berat, yang memicu munculnya gagasan di kalangan intelektual Yahudi bahwa solusi untuk mengatasi masalah antisemitisme adalah pendirian negara Yahudi di luar Eropa.
Awalnya, Zionisme tidak secara tegas mengarahkan pandangannya untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina. Para pemimpin Zionis, termasuk Theodor Herzl, mempertimbangkan berbagai lokasi, termasuk Argentina dan Uganda, sebagai calon tanah air bagi orang Yahudi. Namun, karena alasan sejarah dan religius, Palestina akhirnya dipilih sebagai tujuan utama.
Palestina dipilih bukan hanya karena sejarah Yahudi yang terkait dengan wilayah tersebut, tetapi juga karena adanya dukungan dari kekuatan kolonial Eropa, khususnya Inggris, yang memiliki kepentingan strategis di Timur Tengah.
Deklarasi Balfour 1917, di mana pemerintah Inggris menyatakan dukungan untuk pendirian tanah air nasional bagi orang Yahudi di Palestina, menjadi titik balik penting bagi Zionisme. Deklarasi ini dibuat tanpa konsultasi dengan warga Arab Palestina, yang merupakan pribumi pada saat itu.
Para pemimpin Zionis menyadari bahwa Palestina tidak kosong dan dihuni oleh masyarakat Arab Palestina. Namun, mereka melihat ini sebagai tantangan yang bisa diatasi, baik melalui diplomasi maupun kekuatan. Zionisme, pada akhirnya, menggabungkan ide kolonisasi dengan klaim religius atas tanah tersebut.
Para Zionis Kristen mendukung ini dengan alasan bahwa Alkitab memberikan landasan historis dan religius bagi klaim atas Palestina sebagai tanah air Yahudi.
Untuk memenangkan dukungan dari kalangan Yahudi yang pada saat itu kebanyakan religius, para pemimpin Zionis melakukan reinterpretasi Alkitab. Mereka mengubahnya dari teks religius menjadi teks sejarah dan legal yang mendukung klaim mereka atas Palestina. Ini adalah langkah strategis yang penting karena pada awalnya, banyak rabbi besar Yahudi menolak Zionisme. Menurut tradisi Yahudi, kembalinya orang Yahudi ke Palestina hanya bisa terjadi dengan intervensi ilahi, bukan melalui usaha manusia.
Namun, Zionisme berhasil menemukan dukungan dari beberapa rabbi, yang kemudian dikenal sebagai Zionisme Religius. Salah satu tokoh penting dalam gerakan ini adalah Rabbi Abraham Isaac Kook, yang bersama putra dan cucunya, memberikan legitimasi religius kepada proyek Zionisme. Kelompok ini kemudian menjadi pendorong utama pemukiman Yahudi di wilayah Palestina yang diduduki setelah Perang Enam Hari 1967, khususnya di Tepi Barat.
Zionisme Religius melihat kolonisasi Palestina dan pengusiran orang Palestina sebagai kewajiban agama. Pandangan ini berbeda dengan Zionisme sekuler, yang lebih melihatnya sebagai hak dan bagian dari misi peradaban Barat. Penggabungan antara nasionalisme dan agama ini memainkan peran penting dalam politik Israel modern, termasuk dalam kebijakan terhadap wilayah Palestina yang diduduki.
(T.RS/S:Al-ArabyTV)