Tel Aviv, SPNA - Situasi dalam institusi militer Israel terus memanas pasca serangan 7 Oktober yang dilancarkan oleh Hamas. Serangan tersebut berhasil mengejutkan Israel dan membongkar kelemahan dalam sistem pertahanan negara tersebut, khususnya pada unit intelijen. Sebagai tanggapan atas kegagalan ini, Kepala Staf Umum Israel, Letnan Jenderal Herzi Halevi, dikabarkan berencana untuk mengundurkan diri pada akhir Desember 2024.
Berdasarkan laporan dilansir dari Channel 12 Israel, Halevi menetapkan akhir tahun ini sebagai waktu yang tepat untuk mengumumkan pengunduran dirinya, menyusul penyelesaian penyelidikan atas kegagalan militer dalam menghadapi serangan Hamas pada 7 Oktober. Keputusan ini dilaporkan dibuat setelah percakapan pribadi Halevi dengan kerabatnya, di mana dia menyatakan kekecewaannya terhadap kinerja militer yang dipimpinnya.
Gelombang pengunduran diri ini tidak hanya melibatkan Halevi, tetapi juga pejabat tinggi lainnya, termasuk Kepala Intelijen Militer, Mayor Jenderal Aharon Haliva, dan Komandan Divisi Gaza, Avi Rosenfeld. Mereka mundur karena dinilai gagal mencegah serangan besar-besaran oleh Hamas, yang mengakibatkan tewasnya ratusan warga sipil Israel serta penculikan sejumlah besar orang oleh pejuang Palestina tersebut.
Unit intelijen militer Israel, yang dikenal sebagai Unit 8200, juga mengalami goncangan besar. Komandannya, Kolonel Yossi Shari'el, baru-baru ini mengundurkan diri karena merasa bertanggung jawab atas kegagalan intelijen dalam mendeteksi ancaman sebelum serangan terjadi. Dalam surat pengunduran dirinya, Shari'el mengungkapkan permintaan maafnya karena gagal melaksanakan tugas yang diembannya.
Hamas, melalui sayap militernya, Brigade Al-Qassam, melancarkan serangan terhadap 11 pangkalan militer dan 22 pemukiman di sekitar Gaza pada 7 Oktober. Serangan itu adalah respon atas kejahatan yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina setiap hari dan tempat suci umat Islam, terutama Masjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur. Serangan ini, yang menyebabkan Israel mengalami kerugian besar, sekaligus menjadi titik balik dalam perang yang telah berlangsung lama antara kedua pihak.
Serangan ini juga menambah ketegangan dalam hubungan antara pemimpin politik dan militer Israel. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menghadapi kritik tajam dari militer, yang menyalahkannya atas kegagalan strategi politik untuk mendukung keberhasilan militer di lapangan. Selain itu, ketegangan semakin meningkat karena perdebatan mengenai apakah tentara Israel harus tetap berada di Gaza atau menarik diri, sekaligus mempengaruhi negosiasi yang sedang berlangsung antara Israel dan Hamas.
Dengan mundurnya para pejabat militer penting, Israel saat ini berada dalam situasi yang sangat kritis. Selain itu, penyelidikan atas kegagalan intelijen terus berlanjut. Di saat yang sama, Israel akan menghadapi kemungkinan peran lebih lanjut, khususnya dengan Hizbullah di Lebanon.
Meskipun pengunduran diri Halevi dan pejabat lainnya menyoroti krisis dalam kepemimpinan militer Israel, Perdana Menteri Netanyahu tetap bersikukuh dalam keputusannya untuk melanjutkan operasi militer di Gaza, meskipun menghadapi kritik dan tekanan dari berbagai pihak.
(T.RS/S: Anadolu Agency, AFP)