Israel Eksploitasi Pencari Suaka Afrika untuk Direkrut Sebagai Tentara di Jalur Gaza

Pejabat pertahanan menyadari bahwa mereka dapat menggunakan bantuan para pencari suaka dan mengeksploitasi keinginan mereka untuk memperoleh status permanen di Israel sebagai insentif,” kata sumber dari pejabat pertahanan Israel kepada Haaretz.

BY 4adminEdited Mon,16 Sep 2024,02:12 PM

Tel Aviv, SPNA - Militer Israel, sebagaimana dilansir media Israel Haaretz, pada hari Minggu (15/09/2024), merekrut pencari suaka dari Afrika untuk bertempur di Jalur Gaza dengan menjanjikan bantuan untuk memperoleh status penduduk tetap di Israel.

Pejabat pertahanan yang berbicara secara rahasia kepada Haaretz mengatakan bahwa proyek tersebut dilakukan secara terorganisasi, dengan bimbingan penasihat hukum lembaga pertahanan.

“Pejabat pertahanan menyadari bahwa mereka dapat menggunakan bantuan para pencari suaka dan mengeksploitasi keinginan mereka untuk memperoleh status permanen di Israel sebagai insentif,” kata sumber dari pejabat pertahanan Israel kepada Haaretz.

Namun, pejabat Israel belum memberikan status permanen kepada pencari suaka mana pun yang telah menjadi sukarelawan untuk bertempur di Jalur Gaza sejauh ini dan menolak untuk mengatakan secara pasti bagaimana rekrutan baru tersebut digunakan.

“Tidak ada pencari suaka yang berkontribusi pada upaya perang yang telah diberikan status resmi,” tulis Haaretz, meskipun mempertaruhkan nyawa mereka, sementara cara tentara Israel mengerahkan para pencari suaka “dilarang dipublikasikan”.

Haaretz melaporkan kasus seorang pemuda Afrika yang meminta untuk diidentifikasi hanya dengan inisial, A. Ia tiba di Israel pada usia 16 tahun. Ia harus memperbarui status kependudukan sementaranya secara berkala dengan Otoritas Kependudukan dan Imigrasi Kementerian Dalam Negeri untuk menghindari deportasi. Setelah perang dimulai, A. menerima panggilan telepon dari seseorang yang mengaku sebagai polisi.

“Mereka memberi tahu saya bahwa mereka sedang mencari orang-orang khusus untuk bergabung dengan tentara. Mereka memberi tahu saya bahwa ini adalah perang hidup atau mati bagi Israel,” katanya kepada Haaretz.

Ia memberi tahu bahwa ada masa pelatihan dua minggu jika ia direkrut dan bahwa ia akan menerima gaji yang sama dengan yang ia peroleh di pekerjaannya saat ini.

“Saya bertanya, apa yang saya dapatkan? Meskipun saya tidak benar-benar mencari apa pun. Namun kemudian ia berkata kepada saya bahwa ‘Jika Anda pergi ke sana, Anda dapat menerima dokumen dari Negara Israel’. Ia meminta saya untuk mengirimkan fotokopi identitas saya dan berkata ia akan mengurus semua ini,” kata A.

Sesaat sebelum pelatihannya dimulai, A. berubah pikiran.

“Saya ingin pergi, dan saya sangat serius tentang hal itu, tetapi kemudian saya berpikir, hanya dua minggu pelatihan dan kemudian menjadi bagian dari upaya perang? Saya belum pernah menyentuh senjata seumur hidup saya,” kata A.

Menurut Hebrew Immigrant Aid Society (HIAS), sekitar 45.000 pencari suaka dari Afrika sekarang tinggal di Israel, kebanyakan dari mereka adalah pemuda yang dibayar upah rendah untuk pekerjaan yang tidak diinginkan orang Israel.

Sebagian besar berasal dari negara-negara yang dilanda perang seperti Eritrea dan Sudan. Mereka menyeberangi gurun Sinai dan memasuki Israel secara bergelombang antara tahun 2005-2012.

Pada tahun 2012, Israel membangun pagar pembatas di sepanjang perbatasan dengan Mesir yang mengakhiri gelombang pengungsi. Sejak saat itu, hanya sekitar 100 orang yang memasuki Israel. Pada awal tahun 2018, Israel mengadopsi rencana untuk mengusir puluhan ribu pencari suaka Afrika.

Perdana Menteri Netanyahu mencatat bahwa setelah membangun pagar pembatas di perbatasan Mesir dan mendeportasi sekitar 20.000 migran Afrika melalui berbagai kesepakatan, Israel telah mencapai tahap ketiga dari upaya “pemindahan yang dipercepat”.

“Pemindahan ini terjadi berkat perjanjian internasional yang saya sepakati yang memungkinkan kita untuk memindahkan 40.000 penyusup yang tersisa, memindahkan mereka tanpa persetujuan mereka,” katanya kepada para menteri.

Pemerintah Israel juga menyebut penduduk Palestina yang berusaha untuk kembali ke rumah mereka di tempat yang sekarang menjadi Israel setelah tahun Nakba pada tahun 1948 sebagai “penyusup”. Pada tahun itu, milisi Zionis menggunakan pembantaian dan pemerkosaan untuk membersihkan etnis sekitar 750.000 warga Palestina dari rumah mereka, menjadikan mereka pengungsi di Gaza, Tepi Barat, Yordania, Lebanon, dan Suriah. Lalu Israel memberi ruang dan tanah bagi pengungsi dan imigran Yahudi dari seluruh dunia dengan merampas ruang dan tanah milik penduduk Palestina yang telah menjadi pengungsi di berbagai negara.

Sejak tanggal 7 Oktober 2023 hingga saat ini, dengan dukungan Amerika dan Eropa, tentara Israel terus melanjutkan genosida penduduk Palestina di Jalur Gaza dan juga melakukan serangan di berbagai kawasan di Tepi Barat. Pesawat tempur Israel mengebom kawasan di sekitar rumah sakit, gedung, apartemen, dan rumah penduduk sipil Palestina. Israel juga mencegah dan memblokade masuknya air, makanan, obat-obatan, dan bahan bakar ke Jalur Gaza.

Israel terus menerus melakukan kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional. Penduduk Palestina di Jalur Gaza hidup dalam kondisi kemanusiaan dan Kesehatan yang memprihatinkan.

Berdasarkan laporan pihak berwenang Jalur Gaza dan organisasi internasional, sekitar 90 persen atau sekitar 1,9 juta penduduk Palestina di Jalur Gaza terpaksa harus mengungsi setelah kehilangan tempat tinggal dan penghidupan akibat pemboman Israel.

Sementara itu, kekejaman Israel juga meningkat di Tepi Barat termasuk Yerusalem timur, di mana 708 penduduk Palestina dibunuh Israel, termasuk 146 anak-anak, sejak 7 Oktober 2023. Lebih 5.600 penduduk Palestina terluka akibat kekerasan dan kejahatan tentara dan pemukim ilegal Israel.

(T.FJ/S: The Cradle)

leave a reply
Posting terakhir