Hilangnya nilai kemanusiaan dalam penutupan perbatasan Rafah

Rafah, SPNA – Penderitaan warga Palestina di Gaza terus berlanjut, meski pihak berwenang Palestina dan Mesir sudah memberikan jaminan mengenai akan dibukanya perbatasan Rafah dalam beberapa minggu.

BY 4adminEdited Sat,19 Aug 2017,10:38 AM
7.jpg

The Palestinian Information Center - Gaza City

Rafah, SPNA – Penderitaan warga Palestina di Gaza terus berlanjut, meski pihak berwenang Palestina dan Mesir sudah memberikan jaminan mengenai akan dibukanya perbatasan Rafah dalam beberapa minggu. Namun hingga kini, di tengah blokade yang terus menghimpit, warga Gaza terus menunggu realisasi dari janji tersebut.

Jeritan anak-anak, air mata kaum wanita dan penindasan terhadap kaum pria, adalah pemandangan yang terlihat setiap kali perbatasan Rafah dibuka pasca penutupan dalam waktu yang begitu lama.

Rabu (16/08/2017), sejak dini hari, ratusan penumpang tiba di ruang tunggu perbatsan Rafah, setelah pihak berwenang Mesir mengumumkan pembukaan perbatasan untuk yang orang-orang yang terdampar di kedua sisi persimpangan tersebut.

Di Rafah, selalu ada cerita yang sama

Perbatasan Rafah selalu menjadi tempat bertemunya banyak orang dengan berbagai cerita yang serupa. Tentang mereka yang kehilangan hak hidup dan melakukan perjalanan, akibat kebijakan yang dikeluarkan oleh musuh dan koalisinya.

Adalah Niveen Abu Azab. Bersama kedua anaknya, berjam-jam lamanya ia menunggu dan berharap namanya tercatat dalam daftar orang yang diperbolehkan melewati perbatasan. Setelah melakukan kunjungan keluarga di Jalur Gaza, selama setahun  ia pun terjebak di sana. Kini ia hendak kembali menemui sang suami yang telah menunggu di Uni Emirat Arab (UEA).

Cerita serupa datang dari Um Muhammad Hammad. Nasib salah seorang putrinya sangat bergantung pada “gerbang hitam” tersebut. Empat tahun lalu, bersama empat orang anaknya, Um Muhammad kembali ke Jalur Gaza. Mahalnya biaya pendidikan di UEA, membuatnya kembali ke wilayah tersebut untuk menyelesaikan pendidikan anak-anaknya. Namun, apa yang terjadi di Gaza justru mengejutkannya. Kenyataan pahit dan sulitnya kehidupan harus ia jalani.

Hamada, salah seorang anaknya, sangat berharap agar pintu perbatasan segera dibuka secara permanen, guna meringankan beban masyarakat yang merasakan dampak akibat krisis berkepanjangan. Ia berharap pula agar diberikannya izin bagi mereka hendak melakukan penjalanan, yang diperkirakan berjumlah 30,000, menurut data dari Kementerian Dalam Negeri Gaza.

Sementara itu, di atas kursi rodanya, Abu Mohammed Al-Attar menunggu giliran untuk bisa melakukan perjalanan guna menjalani pengobatan di Mesir.

Pria berusia 50 tahun tersebut tidak dapat bergerak akibat strok yang ia derita sejak tujuh bulan lalu. Ia menunggu agar diperbolehkan melakukan pengobatan setelah menerima rujukan medis ke rumah sakit di Mesir.

Ia berharap agar otoritas Mesir membuka persimpangan Rafah secara permanan dan mempertimbangkan situasi kemanusiaan di Jalur Gaza, “Kami sangat mencintai dan menghargai saudar-saudara kami di Mesir. Kami berharap agar komunikasi antara Gaza dan Mesir terus terjalin sehingga penderitaan kami di Gaza bisa berakhir,” tutupnya.

Beberapa tahun terakhir, persimpangan Rafah telah mengalami penutupan dalam waktu yang cukup lama, dan hanya sesekali dibuka, itu pun untuk beberapa hari saja.

Selama satu dekade terakhir, Israel semakin memperkuat blokade terhadap Gaza dengan dalih untuk mencegah Hamas -yang menguasai Gaza- dari memperoleh senjata atau material untuk membuatnya.

Namun, Hamas telah menjalin hubungan yang lebih dekat dengan pemerintah Mesir dalam beberapa bulan terakhir dan berharap persimbangan Rafah akan kembali dibuka pada bulan depan. (T.RA/S: The Palestinian Information Center)

leave a reply