Gaza, SPNA - Kementrian Kesehatan (Kemenkes) Palestina, Ahad (03/06/2018) menjelaskan, sampai saat ini pihaknya telah menangani sekitar 13 ribu pasien yang luka-luka akibat bentrok fisik antara demonstran Palestina dengan tentara Israel di perbatasan. Dari jumlah tersebut, sekitar tujuh ribu pasien sudah berhasil dievakuasi ke sejumlah rumah sakit di Jalur Gaza. Adapun sisanya, mereka mendapat pananganan pada sejumlah posko kesehatan yang tersebar di beberap titik yang tidak jauh dari lokasi demonstrasi.
Hal di atas diutarakan oleh Kemenkes Palestina dalam konferensi pers yang digelar hari ini (03/06/2018). Turut hadir mewakili Kemenkes, sejumlah pejabat Kemenkes antara lain, Dr. Medhat, Direktur Utama Rumah Sakit Al-Shifa, dan dr. Ashraf Al-Qudrah, Jubir Kemenkes Palestina. Keduanya menjelaskan secara khusus bagaimana Kemenkes menangani pasien korban aksi damai Great March of Return di sepanjang perbatasan Gaza-Israel.
Dr. Ashraf Al-Qudrah, Jubir Kemenkes Palestina juga menyatakan kepada media, bahwa militer Israel dengan sangat jelas menyasar para tenaga medis yang sedang bertugas di lapangan. Dan peristiwa meninggalnya Razan El-Najjar ini merupakan korban terbaru, dan sebagai bukti atas kejahatan dan kekejian militer Israel. Al-Qudrah menambahkan, saat ini militer Israel juga melancarkan serangan peluru gas air mata dan senjata tajam dari dataran tinggi yang sangat jelas ingin membunuh para demonstran.
Hal lain yang disampaikan dalam konferensi pers tersebut, bahwa saat ini Kemenkes sedang mengalami krisis obat-obatan. Bahkan kelangkaan ini mencapai 50 % di sejumlah rumah sakit di Jalur Gaza. Dan total dana yang dibutuhkan untuk memenuhi kekurangan tersebut mencapai 19,5 juta Dollar Amerika.
Kemenkes Palestina juga terus melakukan komunikasi dengan Organiasasi Amnesty Internasional dan Bulan Sabit Merah serta sejumlah lembaga internasional lainnya, untuk menjelaskan kondisi masalah dan kebutuhan medis yang mendesak, termasuk menyinggung masalah kelangkaan obat-obatan seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Tantangan terbesar yang dihadapi oleh tim medis adalah ketika menghadapi korban luka dalam jumlah besar, khususnya pada hari Jum’at setiap pekannya. Di mana, korban luka-luka bisa mencapai 700 orang setiap lima jamnya.
Korban rata-rata menderita luka berat di bagian kepala, dada, perut dan, paling banyak pada organ tubuh bagian bawah. Mereka terkena tembakan peluru tajam, dan tembakan senjata peledak yang sejatinya dilarang dalam aturan internasional. Karena peluru ini dengan seketika mempu merobek bagian atau organ yang terkena tembakan.
Hal yang paling dibutuhkan oleh tim medis di lapangan, antara lain persediaan kantong darah untuk melakukan proses penyelamatan /evakuasi awal pasien. Dan rata-rata pasien yang mengalami luka parah harus menjalani operasi yang berkelanjutan. Namun tidak sedikit dari mereka yang meninggal dunia akibat kurangnya sarana dan prasarana medis yang tersedia.
Hal penting lain adalah, bahwa sejak terjadi ketegangan di perbatasan Gaza-Israel dalam satu bulan terakhir ini, Kemenkes untuk sementara waktu tidak memberi izin libur atau cuti bagi para tenaga medis. Kurang lebih 14 ruang operasi yang terus aktif dengan jumlah bangsal sekitar 2260 ranjang pasien,.
Meski tim medis menghadapi krisis obat-obatan dan keterbatasan dalam hal medis, namun terdapat ratusan pasien yang berhasil diselamatkan. Dan Kemenkes, dengan sangat terpaksa melakukan kebijkaan prioritas, di mana para pasien selain demonstran untuk sementara proses operasinya ditunda untuk mengutamakan korban yang lebih membutuhkan penanganan saat itu juga. Hal ini dalam rangka efektivitas pengguanaan sarana kesehatan dan perobatan yang sangat terbatas di Jalur Gaza.
Terakhir, Kemenkes menghimbau agar masyarakat Internasional, khususnya dunia Arab dan Islam tetap memberi perhatian kepada bidang kesehatan di Jalur Gaza, dan Palestina secara umum, yang saat ini sedang mengalami krisis kesehatan secara serius, dan tentunya diperlukan solusi untuk menyelamatkan ribuan pasien yang sedang antri untuk mendapatkan perawatan medis.
(IZ/SPNA)