Washington, SPNA - Presiden AS Donald Trump dilaporkan telah memberi tahu Presiden Prancis Emmanuel Macron bahwa ia siap untuk menekan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu guna memfasilitasi rencana perdamaian antara Israel dan Palestina, koresponden berita Channel 10 Israel, Barak Ravid menulis di Axios.
Mengutip sumber-sumber diplomatik Barat yang menjelaskan tentang pertemuan antara kedua presiden selama Majelis Umum PBB, Ravid melaporkan bahwa Macron mempertanyakan mengapa Trump hanya menekan pemimpin Palestina Mahmoud Mahmoud Abbas dan bukan pemimpin Israel juga.
Ketika keduanya membahas masalah Israel-Palestina, Macron dilaporkan mengamati bahwa Netanyahu tidak tertarik untuk melanjutkan rencana perdamaian karena "dia mencintai status quo." Trump dilaporkan menyetujui pengamatan itu.
Namun, Trump menanggapi dengan mengatakan bahwa ia memberikan tekanan pada pihak Palestina karena mereka "tidak ingin berbicara dengan tim perdamaian AS," yang ia temukan tidak dapat diterima, tetapi ia juga bersedia memberi tekanan pada Netanyahu ketika saatnya tiba, Ravid melaporkan.
"Saya bisa sekeras Bibi (Netanyahu) karena saya telah bersama orang-orang Palestina," para diplomat mengutip ucapan Trump.
Menurut berbagai sumber, Trump mencatat bahwa AS telah memberi Israel banyak hal, termasuk memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem dan memberikan bantuan militer senilai $ 5 miliar setiap tahun. Namun, Ravid mencatat bahwa presiden melebih-lebihkan angka ini, yang pada kenyataannya hanya $ 3,8 miliar.
Ini adalah pertama kalinya Trump dilaporkan berbicara tentang tekanan pada Netanyahu, yang secara luas diketahui sebagai salah satu sekutu terdekat Trump.
Tiga hari setelah percakapannya yang dilaporkan dengan Macron, Trump bertemu dengan Netanyahu dan mengumumkan dukungannya untuk solusi perdamaian dua negara bagi Israel dan Palestina, Axios melaporkan. Selama pertemuan yang sama dengan perdana menteri Israel, Trump dilaporkan mengumumkan bahwa dia akan mempresentasikan rencana perdamaiannya sendiri dalam rentang waktu dua hingga empat bulan. Gedung Putih tidak membantah atau mengakui laporan itu.
(T.RA/S: Sputnik News)
