Opini: Rencana Yahudisasi di balik tawaran ‘intensif ekonomi” untuk warga Yerusalem

Bertolak belakang dengan apa yang telah dilakukan sejak 1967, pemerintah Israel, untuk pertama kalinya, memilih menggunakan "pemikat" alih-alih “tongkat” untuk .....

BY 4adminEdited Wed,26 Dec 2018,03:08 PM

Oleh: Saleh Al-Naami

Bertolak belakang dengan apa yang telah dilakukan sejak 1967, pemerintah Israel, untuk pertama kalinya, memilih menggunakan "pemikat" alih-alih “tongkat” untuk mendorong Yahudisasi kota Yerusalem yang diduduki. Pemerintah Israel menawarkan insentif ekonomi kepada orang-orang Palestina di Yerusalem Timur. Sebuah langkah yang diklaim bertujuan untuk mengurangi kesenjangan ekonomi dan sosial antara warga Palestina dan pemukim Yahudi di seluruh kota yang diduduki.

Rencana tersebut menyebutkan sejumlah proyek perbaikan ekonomi dan perumahan di Yerusalem Timur. Masalah yang sebenarnya disebabkan oleh otoritas pendudukan Israel sendiri, yang menolak untuk mengeluarkan izin bagi orang-orang Palestina untuk membangun rumah atau meningkatkan infrastruktur mereka. Proyek ini juga diharapkan bisa mengintegrasikan warga Yerusalem dalam pasar tenaga kerja Israel.

Namun, ketika didalami, sangat jelas bahwa proyek tersebut bertujuan untuk mempengaruhi pola pikir orang-orang Yerusalem agar mereka lebih kooperatif dalam Yahudisasi Israel di kota mereka. Paling tidak, "Israelisasi" rakyat seperti itu dimaksudkan untuk mencegah mereka menolak rencana semacam itu.

Proses berbahaya ini mengakibatkan perubahan kurikulum sekolah yang digunakan di Yerusalem Timur. Dengan demikian, akan mengubah cara berpikir para pemuda Palestina. Ini bukan hal baru. Sejak tahun 2000, Israel mulai menyensor kurikulum di Yerusalem Timur, menyaring dan menghapus semua referensi yang menjurus ke Palestina dan konten negatif apa pun yang ditujukan kepada Israel. Referensi rencana baru untuk menghilangkan perbedaan antara warga Yerusalem dan pemukim berpotensi untuk menyatukan kurikulum yang “tepat” untuk "Israelisasi" pemikiran orang-orang Palestina di kota itu.

Proposal peningkatan kondisi ekonomi di Yerusalem Timur didasarkan pada asumsi bahwa hal itu akan mengubah kondisi kehidupan dan sosial mereka. Dengan demikian, warga Yerusalem akan dicegah untuk terlibat dalam perlawanan terhadap pendudukan dan akan mendorong pengurangan yang sesuai dalam keberatan mereka terhadap kebijakan Yudaisasi negara. Diyakini, hal itu juga akan meyakinkan warga Palestina untuk tidak ikut campur ketika para pemukim Yahudi menodai Masjid Al-Aqsa, seperti yang sering terjadi.

Mengecilkan perlawanan orang-orang Palestina di Yerusalem adalah prioritas utama bagi layanan keamanan Israel. Paling tidak, karena mereka memiliki kebebasan untuk memasuki Israel yang relatif lebih daripada mereka yang tinggal di wilayah Palestina yang diduduki lainnya. Karena itu, mereka dianggap lebih sebagai ancaman terhadap keamanan internal.

Bagi pemerintah Benjamin Netanyahu, meningkatkan lingkungan keamanan di Yerusalem sangat penting karena membantu rencananya untuk mengubah keseimbangan demografis antara orang-orang Palestina dan pemukim Yahudi guna tercapainya "Yerusalem Raya". Pemerintah Israel ingin meningkatkan jumlah orang Yahudi di Kota Suci menjadi satu juta, termasuk pemukim ilegal.

Netanyahu dan para menterinya percaya bahwa peningkatan keamanan di Yerusalem akan meyakinkan lebih banyak pemukim Yahudi -yang belum tinggal di sana atas alasan agama- untuk pindah ke kantong pemukiman ilegal di Yerusalem Timur dan mengepung kota itu. Otoritas pendudukan memahami bahwa kegiatan perlawanan di Yerusalem menghalangi pemukim untuk pindah ke sana, meskipun ada bujukan resmi bagi mereka untuk melakukannya.

Pada saat yang sama, pemerintah percaya bahwa jika rencana itu berhasil menaklukkan orang-orang Yerusalem dan mengurangi keberatan mereka terhadap Yahudisasi kota mereka, ini akan meningkatkan lingkungan regional Israel. Tidak ada keraguan Israel atas tindakannya di Yerusalem yang diduduki itu. Terutama terhadap Masjid Al-Aqsa, yang berpotensi merusak hubungan dengan Yordania, yang dianggap sebagai mitra penting dan pilar utama keamanan nasionalnya sendiri.

Pada saat yang sama pula, tindakan apa pun yang mengurangi sorotan pada langkah-langkah Yudaisasi di Yerusalem akan membantu menciptakan lingkungan yang memungkinkan normalisasi yang lebih besar antara Israel dan negara-negara Arab.

Namun, terlepas dari optimisme Israel tentang rencana tersebut, hal itu tidak akan berhasil. Ini bukan kekuatan pendudukan pertama yang  coba mempengaruhi pola pikir orang-orang di bawah pendudukan dengan memaksakan kurikulum sekolah yang mendorong narasi penjajah. Tidak ada upaya seperti itu yang pernah berhasil.

Selain itu, kenyataan konflik antara rakyat Palestina dan pendudukan Israel telah menunjukkan bahwa memperbaiki situasi ekonomi tidak berkontribusi pada pengurangan kegiatan perlawanan. Menjelang pecahnya Intifada pertama pada akhir 1987, misalnya, kondisi ekonomi di Tepi Barat, Jalur Gaza dan Yerusalem sangat baik dibandingkan dengan keadaan saat ini. Namun demikian, orang-orang Palestina menolak untuk hidup berdampingan dengan pendudukan dan berjuang selama tujuh tahun pemberontakan yang mengubah konflik secara mendalam.

Terlebih lagi, polarisasi antara hak beragama dan kekuatan sekuler di belakang pemerintah koalisi Israel akan berkontribusi pada kegagalan rencana ekonomi ini. Moshe Ya'alon, misalnya, adalah kandidat yang secara luas diharapkan menjadi walikota Yerusalem dan didukung oleh sayap kanan religius. Dia telah berjanji untuk melakukan serangkaian langkah Yahudisasi di kota itu. Sebuah langkah yang merugikan, tidak diragukan lagi. Janji semacam itu akan melahirkan pembatasan perencanaan yang lebih keras terhadap warga Palestina di kota tersebut. Dalam satu pukulan, ia akan memberi penduduk pribumi lebih banyak alasan untuk menentang pendudukan Israel.

(T.RA/S: PIC)

leave a reply
Posting terakhir