Akibat blokade dan krisis ekonomi, ribuan mahasiswa Gaza putus kuliah

Tingginya biaya kuliah telah menyebabkan ribuan mahasiswa Gaza tidak dapat melanjutkan kuliahnya. Krisis ekonomi tersebut dipengaruhi oleh blokade Israel dan tidak adanya dukungan finansial dari Departeman Pendidikan Palestina di Tepi Barat.

BY 4adminEdited Wed,13 Feb 2019,01:42 PM

Gaza, SPNA - Ribuan mahasiswa Palestina di Gaza tidak dapat melanjutkan aktivitas belajar pada semester genap awal tahun 2019, akibat terkendala faktor ekonomi. Hal tersebut disebabkan oleh blokade Israel yang telah berlangsung selama 12 tahun, serta gaji pegawai Gaza yang tidak dibayar oleh Pemerintah Palestina di Tepi Barat.

Berikut beberapa kisah mahasiswa Gaza yang tidak bisa melanjutkan kuliahnya karena tidak sanggup membayar uang kuliah.

Pertama, Ahmad, salah satu mahasiswa akutansi (21 tahun) dari Universitas Al-Azhar Palestina. Ia mengatakan bahwa dirinya tidak dapat melanjutkan studinya sejak 3 semester sebelumnya.  Tahun ini merupakan semester keempat yang kembali terpaksa ia tunda.

Orang tua Ahmad bekerja sebagai seorang pegawai di salah satu sekolah. Akibat pemutusan gaji, ayahnya tidak sanggup membiayai biaya kuliah Ahmad dan tiga saudaranya yang juga duduk di bangku kuliah.

Salah satu di antara mereka malah kuliah di jurusan kedokteran yang tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar.

Hanya tersisa satu semester bagi Ahmad untuk bisa mendapatkan gelar sarjananya. Ia telah berusaha mencari jalan keluar dari kemelut tersebut, namum tidak ada solusi yang dapat ia tempuh.

Hal yang sama juga dialami oleh seorang mahasiswi jurusan literatur Inggris, Yasmin (20 tahun). Ia dan beberapa kawannya berharap dapat membayar biaya kuliah agar dapat mengikuti ujian pada akhir tahun. Tahun lalu ia tidak diizinkan untuk mengikuti ujian karena belum melunasi biaya semester.

Selain biaya sekolah, para mahasiswa juga membutuhkan biaya transportasi dan buku yang diperlukan. Kebanyakan mereka adalah mahasiswa yang berasal dari tempat yang tidak dekat dengan universitas.

Seorang mahasiswi lainnya bernama Sarah, kuliah di jurusan Informatika di Universitas Al-Aqsa. Semester lalu ia sempat berencana menunda kuliahnya karena tidak sanggup membayar bea kuliah. Namun bantuan 100 dolar yang diberikan Qatar kepada setiap keluarga miskin Gaza telah memberinya kesempatan untuk melanjutkan sekolah.

Jika krisis ekonomi terus berlanjut, kecil kemungkinan bagi Sarah untuk melanjutkan kuliah. Sedangkan orangtuanya, jangankan untuk membiayai kuliah, alat tulis, buku dan transportasi, ia bahkan kesusahan untuk mencari nafkah bagi keluarganya.

Situs lokal Palestina mengutip dari Badan Hak Asasi Manusia, melaporkan bahwa biaya rata-rata yang dibutuhkan oleh seorang mahasiswa di Palestina mencapai 7700 USD (108 juta rupiah) pertahun. Jumlah tersebut merupakan 82 persen dari besar pendapatan per keluarga Palestina selama setahun, yaitu 9500 USD atau setara dengan 133 juta rupiah.

Saeb Eid, Ketua organisasi pelajar mahasiswa di Universitas Al-Aqsa, menyampaikan bahwa  Gaza saat ini sedang dihadapkan kepada berbagai tantangan. Namun krisis ekonomi dan tingginya angka kemiskinan memberikan pengaruh paling besar bagi mahasiswa. Kendala yang sama bahkan juga dirasakan oleh mahasiswa yang kuliah di universitas dengan biaya rendah.

Menurut pengakuan Saeb, persentase mahasiswa yang bermasalah ekonomi tahun ini lebih tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Setengah dari 24 ribu mahasiswa Palestina, tidak bisa melanjutkan kuliahnya pada semester ini.

Informasi yang diperoleh dari salah satu sekretariat universitas menyebutkan, banyak sekali mahasiswa yang sampai saat ini belum mendaftarkan diri untuk masuk pada semester selanjutnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor ekonomi.

Sebagian besar universitas di Gaza juga mengalami krisis keuangan. Mereka tidak dapat memberikan bantuan beasiswa kepada mahasiswa. Beberapa Universitas telah mengambil langkah penghematan dengan hanya memberikan setengah gaji kepada para karyawannya.

Absennya dukungan finansial dari Kementerian Pendidikan Palestina di Tepi Barat membuat universitas tidak dapat berbuat banyak untuk membantu para mahasiswa.

Selain biaya kuliah, juga terdapat keputusasaan yang menghantui para mahasiswa dan orang tua terkait masa depan setelah kuliah. Hal tersebut disebabkan oleh sedikitnya lapangan kerja yang tersedia bagi para sarjana muda tersebut.

Disebutkan terdapat 20 ribu sarjana baru yang diwisudakan setiap tahunnya dari sejumlah Universitas yang ada di Gaza. Disamping mereka juga harus bersaing dengan seperempat warga lainnya yang juga berstatus pengangguran. Fakta ini sedikit demi sedikit telah merubah paradigma warga Gaza terhadap pentingnya dunia pendidikan.

(T.HN)

Nuruddin Jamal Al-Harrazin

leave a reply