Roma, SPNA - Paus Fransiskus di Vatikan, rela berlutut dan mencium kaki para pejabat pemerintahan Sudan Selatan yang pernah terlibat perang saudara. Ia mengajak mereka untuk tidak kembali terjebak dalam konflik berdarah.
Fransiskus meminta masing-masing dari Presiden Sudan Selatan, Salva Kiir Mayardit, dan mantan wakilnya yang kemudian menjadi pemimpin oposisi, Riek Machar, dan tiga pejabat lainnya, untuk menjaga perdamaian serta komitmen untuk menciptakan pemerintahan baru dalam satu bulan ke depan.
Dalam sebuah pesan singkatnya, Fransiskus mengatakan, “Sebagai seorang saudara, saya meminta Anda untuk mempertahakan perdamaian. Saya memintanya dari hari paling dalam. Mari kita melangkah ke depan. Kita akan melihat banyak tantangan, namun hal itu tidak akan merusak persaudaraan kita.”
Para pejabat pemerintahan tersebut terkejut dengan apa yang dilakukan oleh pemimpin tertinggi agama Kristen Katolik tersebut. Pasalnya Fransiskus berumur 82 yang juga mengalami penyakit kronis di kakinya, rela berlutut dan mencium kaki mereka.
Ajakan untuk menjaga perdamaian menjadi sangat penting pasca tumbangnya Presiden negara tetangga mereka, Sudan, Omar Al-Bashir pada hari Kamis (11/04). Pergolakan politik tersebut ditakutkan akan merusak perdamaian yang telah menghentikan perang saudara yang berlangsung selama lima tahun di Sudan Selatan.
Vatikan mengajak para pemimpin Sudan Sulatan, untuk melakukan doa bersama di kediaman Paus Fransisku, sebelum membentuk pemerintahan baru.
Dengan menggunakan bahasa Italia, Fransiskus berpesan, “Tentunya akan ada perbedaan, namun cukuplah perbedaan itu di antara kalian. Sedangkan di depan rakyat, kalian harus terlihat bahu membahu.”
Dua tahun pasca pisahnya Sudan Selatan dari Sudan Utara tahun 2011, terjadilah perang saudara saat Presiden Salva Kiir memecat wakilnya Riek Machar. Riek dituduh mencoba melakukan kudeta terhadap Presiden.
Perang saudara tersebut telah menyebabkan sekitar 400 orang meninggal dan sepertiga penduduk lainnya melarikan dari negara, mengungsi. Serta menyebabkan terjadinya konflik imigrasi terburuk di Afrika sejak insiden genosida di Rwanda tahun 1994.
(T.HN/S: Aljazeera)