Peringati 71 tahun tragedi Nakabah, warga Palestina masih berstatus pengungsi di negara sendiri

Nakabah merupakan momen penting untuk mengingat peristiwa paling suram dalam sejarah Palestina. Tujuh puluh satu tahun berlalu, namun kasus Palestina belum terselesaikan.

BY 4adminEdited Wed,15 May 2019,03:46 PM

Tepi Barat, SPNA - Warga Palestina, hari ini (Rabu, 15/05/2019), sedang memperingati tragedi Nakabah yang ke 71. Sebuah insiden yang disetting untuk mempermudah peletakan batu pertama negara Israel di atas 78 persen tanah Palestina.

Kejadian itu juga merupakan titik mula bagi sebuah kesengsaraan berkepanjangan bagi warga Palestina.

Nakabah secara bahasa berarti bencana dan petaka. Bagi warga Palestina, Istilah ini dipakai merujuk kepada peristiwa pengusiran, perampokan tanah, penghacuran kota dan perkampungan, serta pembunuhan berencana terhadap ratusan ribu warga Palestina, pada tahun 1948.

Peristiwa Nakabah sebenarnya  telah terjadi jauh sebelum 15 Mei 1948. Tanggal yang dipilih untuk memperingati tragedi ini.

Proses pengusiran penduduk asli Palestina tersebut telah dimulai saat para “geng zionis” menghancurkan perkampungan dan kota Palestina. Hal itu dilakukan agar warga Arab Palestina ketakutan dan lari menyelamatkan diri.

Ahli sejarah dan peneliti menyebutkan tragedi Nakabah dilakukan dengan sangat terencana. Pembakaran dan penghancuran rumah warga serta pembunuhan masal, sengaja dilakukan untuk mengusir penduduk asli.

Selama proses Nakabah tersebut berlangsung, Israel berhasil menguasai 774 kota dan desa. Terdapat 531 desa milik warga Palestina lenyap dihancurkan rata dengan tanah. Pembunuhan massal terjadi sebanyak 70 kali.  15 ribu warga Palestina kehilangan nyawa di dalamnya.

Demi menyelamatkan hidup, warga Palestian akhirnya melakukan eksodus besar-besaran. 800 ribu warga Palestina terpaksa melarikan diri ke Tepi Barat,  Gaza dan negara-negara Arab tetangga.

Jumlah warga Palestina terus bertambah

Meski tinggal jauh dari rumah sendiri, jumlah warga Palestina di seluruh dunia, menurut sebuah pendataan akhir 2018 lalu, justru meningkat signifikan. Jumlah mereka bertambah sembilan kali lipat dibandingkan pada saat Nakabah terjadi.

Pusat statistik Palestina mencatat terdapat 13,1 juta jiwa di seluruh dunia. 6,02 juta di antara mereka berstatus sebagai pengungsi.

Dari enam juta jumlah pengungsi, 28,4 persen tinggal di 58 kamp pengungsian resmi milik UNRWA. Dengan detail penyebaran, 10 kamp di Yordania, 9 di Suriah, 12 di Lebanon, 19 di Tepi Barat dan 8 di Gaza.

Sedangkan pada saat Nakabah terjadi tahun 1948, pengungsi Palestina saat itu hanya berjumlah 800 ribu jiwa. Dari 1,4 juta keseluruhan warga Palestina yang tinggal di 300 desa dan kota Palestina.

Pengusiran warga Palestina masih berlangsung

Berlangsungnya peringatan nakabah yang ke-71 hari ini, tidak berarti derita para pengungsi telah berlalu. Khususnya saat Israel menolak keputusan PBB untuk memenuhi hak-hak para pengungsi untuk kembali ke rumah-rumah mereka.

Negara Yahudi tersebut juga menolak untuk membayar atas kerugian dan penderitaan yang di alami oleh warga Palestina.

Proses pengusiran warga Palestina masih terus dilakukan oleh pemerintahan Israel saat ini.  Ribuan rumah warga di Tepi Barat dihancurkan dengan alasan yang tidak logis. Ditambah dengan usaha Israel untuk menguasai Masjid Al-Aqsa dan situs-situs suci lainnya yang ada di Yerusalem.

Sedangkan warga Palestina yang meninggal sejak berlangsungnya eksodus sampai hari ini, berjumlah 100 ribu jiwa. Dan terdapat satu juta warga Palestina lainnya yang ditangkap, sesuai data hasil perhitungan sejak tahun 1967.

Amerika dan sandiwaranya di  Palestina

Peringatan Nakabah yang ke-71 tahun ini juga diselimuti oleh kerisauan menunggu pengumuman agenda konspirasi Amerika yang katanya untuk menyelesaikan kanflik.

Amerika kabarnya akan segera mengumumkan agenda perdamaian The Deal of Century. Banyak pihak memperkirakan bahwa agenda tersebut akan menambah berat beban penderitaan warga Palestina, khususnya para pengungsi.

Sampai saat ini, butir-butir agenda tersebut belum ada yang mengetahuinya. Namun dapat dipastikan sebagai anak kesayangan, Israel akan mendapatkan keuntungan besar.

Pada Desember 2017, Amerika Serikat secara resmi mengumumkan pengakuannya terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Pengumuman itu kemudian juga diikuti dengan pemindahan Kedubes Amerika dari Tel Aviv ke Yerusalem pada bulan Mei 2018.

Kebijakan Amerika mendapat pertentangan keras dari negara-negara Arab, Islam dan internasional.

Untuk memaksa Palestina menerima tawaran perdamaiannya, Amerika kembali menekan Palestina dengan memutuskan bantuan kemanusiaa yang disalurkan melalui badan perlindungan para pengungsi Palestina (UNRWA).

Perlu diketahui bahwa Amerika merupakan donatur terbesar yang berperan menghidupkan Badan bentukan PBB tersebut.

Keluarnya Amerika sebagai donatur membuat UNRWA kocar kacir mencari dana tambahan untuk menutupi kebutuhan para pengungsi. UNRWA juga telah menutupi beberapa pelayannanya dan mengurangi jumlah pengungsi yang mendapatkan jatah bantuan.

Tidak hanya sampai di situ, Amerika turut menutup Kantor Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang ada di Washington. Mereka juga membekukan rekening keuangan organisasi tersebut.

Duta Besar Palestina untuk Amerika, Husam Zamlath, beserta keluarga pada bulan September 2018 juga diusir dari Amerika.

Di pihak lain, Presiden Palestina, Mahmud Abbas, sudah mengumumkan penolakannya untuk menerima tawaran perdamaian Amerika tersebut. Ia mengatakan bahwa Amerika tidak layak untuk menjadi mediator untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel.

(T.HN/S: Qudspress)

leave a reply