Petugas medis di Gaza membutuhkan "keajaiban" untuk bisa bertahan hidup

Di Gaza, "keberuntungan" adalah alasan yang menjadikan seseorang selamat dari pembunuhan.

BY 4adminEdited Sun,21 Jul 2019,12:27 PM

Gaza, SPNA - Setiap orang di Gaza, tak terkecuali para petugas medis, telah menjadi sasaran kejahatan Israel. "Keberuntungan" adalah alasan yang menjadikan seseorang selamat dari pembunuhan.

Pekerja medis Muhammad al-Judaili nampaknya telah kehabisan "keberuntungan" itu.

Pada 3 Mei, ia bekerja di Great March of Return - protes mingguan untuk menuntut agar hak-hak pengungsi Palestina dihormati sepenuhnya. Dia berada di sebelah ambulans yang diparkir sekitar 100 meter dari pagar yang memisahkan Gaza dan Israel.

Ketika itu, Muhammad menyaksikan seorang anak yang tertembak di lengannya. Bergegas dia menuju ke arah anak itu, dengan maksud untuk memberikan pertolongan pertama. Namun, sebelum bisa menolong anak tersebut, Muhammad sendiri terjatuh ke tanah. Penembak jitu Israel menembak hidungnya dengan peluru baja berlapis karet.

Muhammad kemudian dilarikan ke rumah sakit al-Quds di Gaza selatan, tempat dia sebelumnya bekerja. Setelah tiga minggu, ia dipulangkan sehingga ia bisa merayakan Idul Fitri bersama keluarganya di kamp pengungsi al-Bureij.

Ketika berada di apartemennya, Muhammad kehilangan kesadaran. Dia dibawa kembali ke rumah sakit, di mana jantungnya berhenti selama beberapa menit.

Meskipun jantungnya kembali berdetak, namun berada dalam keadaan koma. Tim medis khawatir otaknya akan rusak akibat cedera yang ia derita.

Pada 4 Juni, Muhammad dipindahkan ke rumah sakit al-Ahli di Hebron, sebuah kota di Tepi Barat yang diduduki. Enam hari kemudian, dia meninggal dalam usia 36 tahun.

"Saya tidak pernah berharap menjadi janda dan memiliki beban membesarkan empat anak sendirian," kata istrinya Muna Shurrab. "Muhammad memiliki hati yang besar yang mencintai kami semua."

Putra Muhammad yang berusia 10 tahun Adel ingat bagaimana mereka pergi berbelanja bersama ketika Idul Fitri.

"Kami sangat senang," kata Adel. "Kami pikir kami bisa memiliki kehidupan normal kami kembali."

"Tugas"

Muhammad adalah petugas medis keempat di Gaza yang terbunuh sejak  Great March of Return dimulai tahun lalu.

Satu pembunuhan serupa - yaitu pembunuhan perawat Razan al-Najjar - telah mendapatkan liputan media internasional.

Namun kekerasan yang dilakukan oleh Israel pada petugas medis pada umumnya ditanggapi dengan ketidakpedulian oleh pemerintah Barat.

Kementerian kesehatan Gaza berpendapat bahwa pembunuhan petugas medis sengaja dilakukan. Juru bicara kementerian Ashraf al-Qedra mengatakan bahwa Israel membidik para korban "langsung di kepala atau dada."

Ahmad Abu Foul menyaksikan penembakan rekannya, Muhammad al-Judaili. Kedua pria itu telah bekerja bersama pada banyak kesempatan.

Ketika Abu Foul terluka oleh Israel selama Operasi Cast Lead - serangan besar-besaran Israel pada akhir 2008 dan awal 2009 - Muhammad-lah yang memberinya pertolongan pertama.

Abu Foul sendiri telah terluka empat kali sejak the Great March of Return dimulai tahun lalu. Satu minggu sebelum Muhammad cedera, Abu Foul tertembak di kakinya.

Terlepas dari bahaya yang dia hadapi, Abu Foul telah berjanji untuk melanjutkan pekerjaannya. "Itu tugas," katanya. "Saya tidak pantas dibunuh karena melakukan apa yang saya lakukan."

Dia juga bagian dari kru medis yang ditargetkan dengan rudal yang ditembakkan dari pesawat tak berawak Israel selama serangan 51 hari Israel di Gaza lima tahun lalu. "Adalah keajaiban kami bisa selamat," katanya.

Keberanian

Ali Saqir, seorang pemilik toko sepatu, adalah tetangga dan teman dekat Muhammad al-Judaili. Dia ingat sekalai bagaimana keberanian Muhammad selama serangan Israel tahun 2014.

Ketika kamp al-Bureij dihujani tembakan oleh Israel, Saqir memanggil Muhammad untuk meminta bantuan dalam mengevakuasi penduduk. Meskipun pada saat itu Muhammad bekerja di bagian lain Gaza dan perjalanan darat sangat berbahaya, dia bersikeras membawa ambulans ke al-Bureij sehingga dia bisa membantu tetangganya.

Pada hari lain selama serangan 2014, Muhammad bekerja di daerah Beit Hanoun di Gaza utara. Israel telah menghancurkan rumah-rumah di daerah itu dan banyak dari mereka yang mengungsi berkumpul di sekitar ambulans dengan putus asa.

Pasukan Israel memerintahkan agar orang-orang menjauh dari ambulans. Tapi Muhammad tidak mematuhi perintah dan pergi dengan cepat, membawa ambulans yang penuh dengan orang.

Ketika ambulans berangkat, pasukan Israel menembakkan rudal ke arahnya. "Untungnya, Muhammad berhasil berbelok dan dia selamat, bersama para penumpangnya," kata Saqir.

“Pertama kali saya merasa tidak berdaya”

Peringatan lima tahun serangan 2014 membawa kembali kenangan menyakitkan bagi petugas medis Gaza.

Total 23 petugas kesehatan Palestina terbunuh dalam serangan itu, 16 di antaranya saat bertugas. Para petugas medis yang selamat, dalam banyak kasus, harus menghadapi duka cita.

Basem al-Batsh bekerja untuk departemen pertahanan sipil Gaza. Menjelang sore pada 29 Juli 2014, ia menerima telepon yang mengatakan bahwa Israel membombardir kamp pengungsi Jabaliya, tempat ia tinggal.

Basem berangkat ke rumah. Namun ketika dia sampai di pintu masuk lingkungannya, langkahnya terhenti. Ia tidak mungkin melangkah lebih jauh lagi.

Israel menembakkan rudal "pada semua yang bergerak," katanya. "Aku bisa melihat keluargaku berlari di jalan, melarikan diri dari rumah."

Keluarga besar al-Batsh tinggal di gedung bertingkat. Ketika mereka mencoba melarikan diri, pasukan Israel menyerang mereka.

Lima anggota keluarga terbunuh. Di antara mereka adalah ibu Basem, Halima. "Aku menyaksikan ibuku sekarat," katanya. "Pada saat itu, Israel juga mencoba membunuhku."

Begitu dia merasa cukup aman untuk bergerak, Basem mengangkat tubuh ibunya dan meletakkannya di belakang ambulans.

"Aku duduk di kursi depan dan tidak bisa melihat ke tubuh ibuku di belakang," katanya. “Itu adalah pertama kalinya saya merasa tidak berdaya. Saya seorang tenaga medis dan pembela warga sipil, yang tidak bisa menyelamatkan nyawa ibunya."

(T.RA/S: IMEMC)

leave a reply
Posting terakhir