Forum Zakat Dunia: Perlu Optimalisasi Dana Zakat untuk Mengurangi Kemiskinan

Dana zakat global mencapai $ 550 miliar - 600 miliar per tahun, sementara lembaga zakat resmi mengelola $ 10 miliar -15 miliar per tahun.

BY Edited Mon,11 Nov 2019,10:11 AM

Bandung, SPNA - Dana zakat global belum efektif untuk mengurangi kemiskinan di negara-negara berpenduduk Muslim.

Masalah ini telah diatasi saat Konferensi Forum Zakat Dunia di Bandung, Jawa Barat, awal pekan lalu.

"Terdapat 24 dari 57 negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) membutuhkan bantuan kemanusiaan akibat konflik dan pengungsian," kata Sikander Khan, direktur pusat bantuan darurat UNICEF, Kamis (07/11/2019).

Sebuah studi oleh Bank Dunia dan Lembaga Penelitian dan Pelatihan Islam (IRTI) dari Islamic Development Bank (IDB) memperkirakan bahwa dana zakat global mencapai $ 550 miliar hingga $ 600 miliar per tahun. Sementara itu, lembaga zakat resmi hanya mengelola $ 10 miliar hingga $ 15 miliar per tahun.

Khan mengatakan bahwa jumlah itu tidak dikelola dengan baik dan disalurkan secara strategis melalui program pemberdayaan.

Muslim di beberapa negara masih hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka terkena dampak konflik dan harus tinggal di kamp-kamp pengungsian.

Dia mengatakan bahwa itu adalah seruan untuk membangunkan OKI agar merencanakan tindakan strategis guna mengoptimalkan potensi besar zakat bagi umat Islam yang membutuhkan bantuan kemanusiaan.

Kontribusi zakat untuk pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan populasi Muslim telah menjadi isu berulang yang terus dibahas selama Zakat Forum Dunia (WZF), sebuah forum yang dihadiri oleh lembaga-lembaga zakat dari 33 negara.

"Belum ada data global yang menunjukkan seberapa besar kontribusi dana Zakat untuk membantu populasi Muslim," tambah Sekretaris Eksekutif WZF Irfan Syauqi Beik.

Upaya terpadu diperlukan untuk meningkatkan manajemen zakat sehingga dapat berjalan secara optimal. Selain itu, tidak semua populasi Muslim dunia memahami bahwa zakat dapat memainkan peran dalam memberdayakan masyarakat dalam jangka panjang.

Masih ada Muslim yang memilih untuk membayar zakat secara langsung, tanpa melalui program manajemen dan pemberdayaan jangka panjang.

Kedua, tidak semua negara Muslim memiliki lembaga pengelola zakat yang berkualitas. Ketiga, tidak semua negara berpenduduk Muslim memiliki undang-undang tentang zakat.

"Hanya sepertiga negara anggota WZF yang memiliki undang-undang tentang zakat," kata Irfan.

Tetapi di beberapa negara - seperti Indonesia dan Malaysia - Irfan mengatakan distribusi zakat cukup efektif dalam meningkatkan standar hidup penerima.

"Sebenarnya, ada banyak orang yang tidak memiliki kapasitas untuk menilai apakah penerima berhak diberikan zakat," lanjutnya.

Untuk meningkatkan kontribusi zakat, WZF telah meminta anggotanya untuk lebih terlibat dalam program pemberdayaan melalui kolaborasi dengan lembaga-lembaga kemanusiaan seperti Dana Anak-anak PBB (UNICEF) dan Program Pembangunan PBB (UNDP).

WZF menandatangani nota kesepahaman dengan dua lembaga terkait dengan penggunaan dana zakat dalam mendukung pengurangan kemiskinan sebagai salah satu target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG).

Misalnya, dana zakat telah digunakan untuk membangun pembangkit listrik energi terbarukan untuk 803 rumah tangga di empat desa di Jambi, Indonesia.

Proyek ini telah memberi manfaat bagi hampir 5.000 orang pada tahun 2017 dan mampu merangsang pengembangan ekonomi dan produktivitas masyarakat.

WZF berharap negara-negara anggota SDG dapat mereplikasi program serupa, tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga dalam pendidikan, pencegahan stunting, dan lainnya.

Digitalisasi zakat

WZF percaya bahwa penggunaan teknologi digital adalah salah satu cara untuk mengoptimalkan manajemen zakat untuk mencapai target yang tepat. Melalui resolusi ini, WZF meminta semua negara anggota untuk memanfaatkan teknologi terbaru dalam pengelolaan zakat.

Zakat Foundation of India adalah salah satu lembaga yang telah memanfaatkan teknologi untuk pengumpulan dan pemetaan distribusi sedekah.

"Tidak ada yang datang ke kantor kami untuk membayar zakat, semua dibayar secara digital," kata Mahmud.

Dia mengatakan bahwa teknologi digital meningkatkan transparansi penerimaan dan distribusi zakat.

"Setiap sore, saya menerima laporan zakat melalui smartphone," kata Mahmud.

"Transparansi dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat, sehingga mereka ingin mendistribusikan zakat mereka melalui kami," tambahnya.

Sementara itu, di Indonesia, Baznas telah berkolaborasi dengan beberapa platform keuangan digital untuk pembayaran zakat.

Baznas menargetkan bahwa saluran digital akan berkontribusi 30% dari total pengumpulan zakat pada tahun 2020 karena tren distribusi zakat digital terus meningkat.

Masalahnya adalah, bagaimanapun, tidak semua populasi Muslim di dunia melek teknologi, sehingga misi digitalisasi zakat tidak sepenuhnya relevan untuk diterapkan.

Azara Abubakari-Haroun, Penjabat Administrator Zakat, Sadaqat, Trust Fund Ghana mengatakan bahwa 70% dari 5 juta populasi Muslim di Ghana buta huruf dan hidup dalam kemiskinan.

"Itu masalah. Jika 70% Muslim masih buta huruf bagaimana kita bisa mendigitalkan ekonomi?" tuturnya.

Azara menyadari, digitalisasi zakat harus dilakukan di tengah pesatnya perkembangan dunia. Ia menambahkan bahwa lembaga zakat Ghana sedang mengerjakan rencana pembayaran zakat melalui gaji langsung debit.

"Sebanyak 80% dari 1,5 juta populasi Muslim yang memenuhi syarat untuk membayar zakat mengatakan bahwa mereka tertarik dengan metode ini," katanya.

Mengenai situasi ini, WZF mengatakan akan memfasilitasi pendidikan dan meningkatkan kapasitas sumber daya di negara-negara yang membutuhkan bantuan untuk mengembangkan digitalisasi zakat.

"Afrika adalah salah satu perhatian kami. Kami akan memperkuat pendidikan dan meningkatkan kapasitas sumber daya di negara-negara yang membutuhkan bantuan, ini adalah inti dari WZF," kata Beik.

(T.RA/S: Anadolu Agency)

leave a reply
Posting terakhir