Israel Mengembalikan Jasad Remaja Palestina Setelah ‘Menahannya’ Selama 355 Hari

Jasad Emad Khalil Ibrahim Shahin dikembalikan dengan disimpan dalam nitrogen cair pada suhu yang sangat dingin. Terdapat bekas luka pada dadanya hingga perutnya sepanjang 15 sentimeter, yang menunjukkan jahitan, dan pola yang sama terlihat memancar sejauh 13 sentimeter dari sisi kiri dada.

BY Edited Sun,08 Dec 2019,01:29 PM

Gaza, SPNA - Misteri masih mengelilingi kematian Emad Khalil Ibrahim Shahin (17), yang ditangkap pada 4 November 2018. Oleh Israel, Emad ditangkap karena melanggar pagar pembatas Israel-Gaza.

Setelah menyelinap melalui pagar keamanan Israel, Emad Khalil Ibrahim Shahin dan teman-temannya menyelinap ke barak yang ditinggalkan dan menyalakan api, khawatir mereka akan ditemukan, mereka melarikan diri dari tempat kejaian.

“Kami berlari sampai kami menemukan gundukan pasir untuk bersembunyi di balik pagar, tetapi kemuian melihat Emad tidak bersama kami. Ia berlari lebih lambat karena ia memakai kruk,” tutur salah seorang temannya, yang tidak ingin disebutkan namanya.

"Kami melihatnya di tanah dan menyuruhnya merangkak, tetapi kemuian sebuah kendaraan militer melaju dan seorang tentara menembakinya di kaki kanan. Tak lama kemuian sebuah helikopter datang dan membawanya pergi."

355 hari berlalu sebelum ia, yang telah menjadi mayat, dikembalikan ke Gaza, pada 23 Oktober 2019, dengan kantong mayat.

Sekarang keluarganya dan beberapa LSM Palestina serta Israel bertanya mengapa militer Israel menahan jasad itu begitu lama, dan bagaimana ia kehilangan nyawanya setelah tampaknya hanya ditembak di kaki.

Simbol Perlawanan

Shahin adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara. Ayahnya adalah petugas kebersihan di sebuah sekolah dengan gaji kecil.

Adik perempuannya, Monira, mengatakan bahwa kakaknya adalah peserta yang bersemangat dalam protes Great March of Return, sama seperti anggota keluarganya yang lain.

Protes, yang iadakan setiap hari Jumat sejak Maret 2018, menyerukan agar pemerintah Israel menghentikan blokade atas Jalur Gaza yang telah berlangsung selama 11 tahun. Mereka juga menuntut agar pengungsi Palestina, hampir 70% dari penduduk Gaza, untuk bisa kembali ke desa dan kota mereka di tempat yang sekarang disebut Israel.

Sekali seminggu, warga Palestina terlihat berdemonstrasi di sepanjang pagar yang memisahkan Israel dari daerah kantong pantai yang diblokade itu. Meskipun pasukan Israel paling sering menargetkan pengunjuk rasa di dekat pagar, warga Palestina yang berada jauh di belakang tak luput dari sasaran.

Takut pada penembak jitu Israel, Monira dan kerabat Shahin lainnya relatif menjaga jarakdari pagar saat demonstrasi. Namun, Shahin berulang kali mendekati penghalang itu, membakar ban untuk tujuan menghalangi penglihatan tentara yang mengarah pada pengunjuk rasa.

Tidak lama kemuian para penembak jitu menembak Shahin di kaki, pada 17 Mei 2018.

"Ia sembuh dengan cepat," kata Monira, menambahkan bahwa hanya dua minggu kemuian ia kembali ke protes dengan menggunakan kruk.

"Ketika foto-foto dirinya berpartisipasi dalam protes, meskipun cederanya banyak dibagikan di meia sosial, ia merasa bangga, ia melihat dirinya sebagai simbol protes."

Dua puluh satu Jumat kemuian, Shahin ditembak lagi, dengan kaki yang sama, namun masih kembali ke protes di perbatasan.

Ketika ia ditembak ketiga kalinya, kali ini di kaki yang lain, ahli bedah dipaksa untuk mengamputasi tiga jari kakinya.

"Ibu kami berusaha menghentikannya untuk kembali, seluruh keluarga mengatakan kepadanya bahwa ia telah melakukan tugasnya untuk negaranya dan harus beristirahat sekarang," kata Monira.

"Tetapi ia mengatakan bahwa ia tidak takut mati, bahwa kematian tidak bisa dihindari, dan ia lebih baik mati untuk negaranya, menentang pendudukan, daripada dengan cara lain yang tidak ada gunanya."

Melintasi Batas

Tertatih-tatih, dan menggunakan tongkat penyangga, pada tanggal 1 November 2018, Shahin dan dua temannya memutuskan untuk menyeberang melalui pagar, mencoba mencapai barak tentara Israel yang kosong hampir 300 meter di dalam pagar, saudara perempuannya menjelaskan.

Ia mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk menantang pengepungan, membawa kembali "piala" seperti sabuk amunisi tentara atau plat jip.

Meskipun daerah itu sangat militeristik, namun Emad dan teman-temannya berhasil mencapai markas. Terengah-engah dan bersemangat. Ia memanggil saudara perempuannya saat mereka bersiap untuk pergi.

"Ia ingin berbagi momen kemenangannya, tetapi aku berteriak padanya, memerintahkannya untuk segera keluar sebelum ia terbunuh, aku takut," kata Monira.

"Ketika ia sampai di rumah, ibuku menangis, memintanya untuk tidak melakukannya lagi."

Sabtu berikutnya, Emad bangun pagi-pagi, memberi tahu ibunya bahwa ia akan pergi untuk tugas singkat setelah sarapan, sebagai gantinya, ia kembali ke barak, membawa bensin.

Pada pukul 4:30 sore pada 3 November 2018, Emad ditembak di kaki dekat pagar di timur kamp pengungsi Maghazi di Gaza tengah.

Menurut saksi mata, ia ditangkap oleh sejumlah tentara Israel, yang membawanya pergi dengan helikopter dalam waktu 20 menit setelah ditembak, tampaknya ke pusat medis Soroka di Negev.

Segera setelah remaja itu menghilang, Monira mengatakan bahwa keluarganya menghubungi berbagai LSM Palestina dan Israel, dengan panik mencari informasi.

Pada awalnya, pihak berwenang Israel menyatakan bahwa ia hanya menderita luka "sedang", tetapi sehari setelah ia ditembak, LSM Physician for Human Rights yang bermarkas di Tel Aviv diberitahu bahwa Emad telah wafat.

Selama beberapa hari berikutnya, Dokter untuk Hak Asasi Manusia mendesak jawaban dan meminta laporan medis tentang kematian Emad.

Pada 11 November, LSM itu diberitahu bahwa catatan medis Emad tidak dapat dirilis karena tubuhnya belum diidentifikasi, sebagai gantinya, ia diberitahu untuk menghubungi Institut Forensik Abu Kabir Israel.

"Saya menghubungi dr. Maya Hoffman dari Abu Kabir, yang mencoba menemukan mayat itu tanpa hasil, jadi saya dirujuk ke bagian arsip," kata Dokter untuk Hak Asasi Manusia, Ran Yaron.

"Bagian arsip mengatakan bahwa tidak ada mayat tanpa nama yang dipindahkan dari Soroka, jadi kami berasumsi tentara menahan mayat itu."

Setelah itu, HaMoked, sebuah organisasi hak asasi manusia Israel, meminta tentara Israel untuk informasi tentang tubuh Emad, tetapi tidak ada jawaban yang diterima.

"Saya tidak mengerti apa yang Israel lakukan dengan tubuh remaja Palestina itu selama setahun," kata Ran Yaron, dari Physicians for Human Rights.

Ketika dimintai komentar tentang kematian Emad dan alasan tubuhnya ditahan selama hampir setahun, militer Israel merujuk Middle East Eye ke kementerian pertahanan.

Setelah dihubungi, kementerian pertahanan mengatakan bahwa itu hanya masalah yang bisa diomentari militer.

Kematian yang Tidak Bisa Dijelaskan

Keluarga Shahin sangat terpukul mengetahui kematiannya.

"Kami tahu dia akan dipenjara, tetapi tidak dibunuh," kata Monira. Dengan ketiadaan tubuhnya, keluarga itu berpegang pada harapan kecil bahwa Emad benar-benar hidup.

Ketika Palang Merah Internasional memberi tahu keluarga bahwa tubuh Emad telah tiba di Rumah Sakit Al-Shifa di Kota Gaza, mereka bergegas menemuinya.

Menurut dr. Emad Shihada, dokter penerima, tubuh itu telah disimpan dalam nitrogen cair pada suhu yang sangat dingin untuk waktu yang lama.

Kekurangan peralatan yang tepat untuk mencairkan tubuh dan otopsi, tampaknya hanya bisa dilakukan jika dibiarkan di bawah sinar matahari selama dua hari.

Sebaliknya, keluarga lebih memilih untuk menguburnya daripada menunggu, sesuai dengan tradisi Islam yang merekomendasikan pemakaman segera setelah kematian.

Meskipun tidak dilakukan otopsi penuh, keluarga Emad melihat beberapa tanda yang mengganggu di tubuhnya.

Dari tengah dadanya hingga perutnya, ada bekas luka 15 sentimeter, yang menunjukkan jahitan, dan pola yang sama terlihat memancar sejauh 13 sentimeter dari sisi kiri dadanya.

Sayatan misterius itu menimbulkan kecurigaan keluarga Emad bahwa organ-organnya telah diambil untuk diperdagangkan, sebuah praktik terkenal yang berusaha dimusnahkan Israel sejak 2008.

Namun, Shihada menyarankan bahwa mungkin saja tubuh telah dibuka oleh dokter dalam upaya untuk menghentikan pendarahan internal.

Pemeriksaan eksternal menunjukkan bahwa Emad telah ditembak tiga kali di kaki kanan. "Satu atau lebih peluru akan memutuskan arteri femoralis. Menyebabkannya pendarahan tanpa perawatan selama lebih dari 15 menit. itu saja bisa menyebabkan kematiannya," kata dokter.

"Emad hanya anak laki-laki," kata Monira. "Israel bisa memperlakukannya (sebagai anak laki-laki) setelah dia diculik. Tapi tidak, mereka malah membunuhnya."

Menahan Jasad

Menurut Pusat Hak Asasi Manusia Al-Mezan, otoritas Israel terus menahan mayat 15 warga Palestina dari Jalur Gaza yang terbunuh sejak 30 Maret 2018, termasuk jasad dua orang anak.

Meskipun keluarga Shahin menunggu hampir satu tahun untuk tubuh remaja 17 tahun itu dikembalikan, keluarga Palestina lainnya yang ditinggalkan dalam 'tempat pembuangan' mungkin tidak akan pernah melihat kerabat mereka kembali.

Pekan lalu, Menteri Pertahanan Naftali Bennett memerintahkan semua mayat warga Palestina yang ditahan oleh Israel untuk dijauhkan dari keluarga mereka sebagai "pencegah terhadap terorisme".

Israel adalah satu-satunya negara di dunia yang menerapkan kebijakan menyita mayat, menggunakan undang-undang yang berasal dari tahun 1945 selama Mandat Inggris.

Namun, kematian Shahin dan ancaman penangkapan Israel tidak membuat Monira atau keluarganya gentar untuk ikut dalam protes Great March of Return.

"Perlawanan adalah satu-satunya cara untuk membebaskan tanah kami," kata Monira. "Dan sekarang kami uga pergi untuk menghormati Emad, sekarang seluruh keluarga siap mati untuk mengalahkan penjajah."

(T.RA/S: IMEMC)

leave a reply
Posting terakhir