Selama 75 Tahun Tanpa Paspor, Pengungsi Palestina Sulit Bepergian

“Hal yang diminta dari Lebanon dan negara-negara Arab dan Islam pada khususnya adalah memperlakukan pengungsi Palestina sebagai warga negara Arab dan Islam yang memiliki hak untuk mendapatkan visa dan hak untuk melakukan perjalanan ke negara mana pun yang dituju, baik untuk urusan pekerjaan, pendidikan atau pengobatan,” kata Sami Hammoud.

BY 4adminEdited Sun,23 Jul 2023,01:15 PM

Beirut, SPNA - Harapan pengungsi Palestina, Amer Darwish, yang tinggal di Lebanon, pupus, meskipun ia memiliki sejumlah rekor inovasi yang berhasil diraihnya dalam skala internasional. Permasalahan paling nyata adalah Amer Darwish adalah seorang pengungsi, ia ditolak untuk ikut berpartisipasi dalam kompetisi dan konferensi ilmiah setelah tidak dapat bepergian karena hanya memiliki dokumen perjalanan sementara, yang tidak setara denga paspor.

Amer Darwish, dikenal sebagai “penemu Palestina” di antara teman dan kerabatnya di kamp pengungsi Beddawi di utara Lebanon, karena berhasil membuat sejumlah inovasi selama bertahun-tahun meskipun di tengah kondisi hidup yang sulit.

Amer Darwish, lahir di kamp Beddawi. Ia memperoleh gelar master dalam administrasi bisnis, tetapi gagal mendapatkan pekerjaan di bidangnya karena undang-undang Lebanon melarang penduduk Palestina bekerja di sejumlah profesi.

Berdasarkan sebuah survei yang dilakukan oleh Universitas Amerka di Beirut dan Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) pada tahun 2015, pengungsi Palestina tidak menikmati sebagian besar hak sipil, sosial atau ekonomi dengan dikeluarkan dari 30 profesi dan dilarang memiliki real estate di Lebanon.

Amer Darwish adalah salah satu dari jutaan pengungsi Palestina yang tersebar di seluruh dunia yang masih menderita karena kehilangan hak untuk melakukan perjalanan normal, di mana mereka hanya memiliki dokumen perjalanan sementara atas nama negara tempat mengungsi, dokumen yang tidak setara dengan paspor resmi. Tanpa paspor mereka tidak dapat bepergian dan bergerak dengan mudah.

Darwish membenarkan bahwa tidak mampunya pengungsi Palestina untuk mendapatkan identitas nasional dan hanya memiliki dokumen perjalanan sementara biasa menimbulkan banyak kendala baginya dan bagi pengungsi Palestina lainnya.

Ia menjelaskan, upayanya untuk mendaftarkan paten tingkat internasional di World Intellectual Property Organization (WIPO) terbentur dengan syarat pemohon harus memiliki tanah air. Sementara sebagai pengungsi, Amer Darwish digolongkan sebagai orang yang tidak memiliki tanah air. Sedangkan syarat kedua tanah air tersebut harus berada dalam organisasi WIPO.

Amer Darwish mengindikasikan bahwa upayanya untuk mendaftarkan paten di sejumlah negara Arab dan Islam juga terbentur dengan syarat mendapatkan tempat tinggal di negara tersebut. Namun, karena dokumen perjalanan sementara, tidak mungkin mendapatkan tempat tinggal tersebut.

Ia menunjukkan bahwa dokumen perjalanan sementara beberapa kali membuatnya tidak dapat berpartisipasi dalam pertemuan insinyur dan konferensi ilmiah, karena ia tidak dapat memperoleh visa perjalanan berdasarkan dokumen tersebut.

Amer Darwish dia menekankan pentingnya menemukan solusi bagi permasalahan ini. Ia bertanya-tanya bagaimana Zionis Israel yang menduduki tanah Palestina dapat membanggakan paten dan dapat mendaftarkannya, sementara penduduk asli Palestina, pemilik sah tanah, harus menjadi pengungsi dan digolongkan tidak memiliki tanah air.

“Permasalah ini harus dicarikan solusinya dari segi hukum,” kata Amer Darwish.

Pengungsi Palestina memiliki banyak dokumen perjalanan berdasarkan negara-negara Arab, tempat mereka berimigrasi, tetapi semuanya menjadi penghalang yang merampas kebebasan bepergian dan bergerak bagi mereka.

 

Masalah Rumit dan Kompleks

Direktur Jenderal Komisi 302 untuk Pembelaan Hak Pengungsi, Ali Huwaidi, menegaskan bahwa dokumen tersebut merupakan masalah yang rumit yang terkait dengan negara tuan rumah.

“Adalah hak asasi manusia untuk dapat bergerak, melakukan perjalanan, dan kembali ke negaranya kapan pun ia mau. Namun, semua ini tidak dapat dicapai secara alami jika ia hanya memiliki dokumen perjalanan sementara,” kata Ali Huwaidi.

Ia menunjukkan bahwa Libanon mengeluarkan dokumen perjalanan yang berlaku selama 5 tahun. Tidak mudah untuk mendapatkan visa apa pun dengan dokumen perjalanan yang digunakan oleh pengungsi, baik visa ke negara asing maupun visa negara Arab.

Ali Huwaidi menunjukkan bahwa hal ini mendorong pengungsi untuk meninggalkan negara (melalui imigrasi yang tidak resmi), bahkan jika hal ini menyebabkan keluarganya terancam bahaya, baik penculikan, pembunuhan, eksploitasi, atau tenggelam di laut.

 

Sudah Berlangsung 75 tahun

Meskipun permasalahan pemberian dokumen perjalanan pengungsi Palestina dilakukan setelah Nakba, pada tahun 1948, setelah ratusan ribu pengungsi Palestina mengungsi ke negara-negara Arab sekitarnya. Namun, hingga hari ini tetap tidak memiliki solusi yang serius.

Pengungsi tidak mendapatkan paspor dari negara tempat mereka berimigrasi, dengan dalih bahwa status pengungsi bersifat sementara dan pemberian kewarganegaraan kepada pengungsi dianggap melemahkan upaya untuk memulangkan dan memberi mereka kompensasi.

Setelah rumitnya permasalahan ini dan beban tambahan bagi negara yang menerima pengungsi, pada tanggal 14 September 1952, Liga Arab menuntut dikeluarkannya paspor terpadu bagi para pengungsi Palestina untuk memfasilitasi perjalanan dan pergerakan mereka, asalkan prosedur ini tidak merupakan penerimaan situasi politik pada saat itu, atau pengurangan hak-hak pengungsi di Palestina. Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Naim Qassem, lagi-lagi keputusan ini hanyalah “hitam di atas putih” dan tidak diterapkan oleh negara Arab mana pun.

Hampir satu setengah tahun setelah tanggal ini, pada 27 Januari 1954, Liga Arab mengeluarkan resolusi lain yang meminta semua pemerintah yang menampung pengungsi Palestina untuk memberi mereka dokumen perjalanan sementara, asalkan pengungsi tersebut belum memperoleh kewarganegaraan negara lain.

Pada 14 Oktober 1955, resolusi lain dikeluarkan oleh Liga Arab, menyerukan pemberian dokumen perjalanan (pengganti paspor) kepada pengungsi Palestina yang tinggal di luar dunia Arab. Liga Arab juga mengeluarkan keputusan yang melarang negara-negara Arab mengizinkan kombinasi dua negara Arab. Kewarganegaraan Arab tidak diberikan kepada pengungsi Palestina untuk menjaga identitas mereka sebagai pengungsi. Oleh karena itu, Suriah, Lebanon, dan Irak tidak memberikan kewarganegaraan kepada pengungsi Palestina untuk menghindari penutupan berkas masalah pengungsi.

Berdasarkan penelitian Naim Qassem, ada dokumen perjalanan Mesir, Lebanon, Suriah, Irak, dan Yaman, semuanya berstatus sementara yang mengizinkan pemegangnya untuk melakukan perjalanan terbatas, dan beberapa di antaranya sedikit berbeda, tetapi semuanya tidak dapat dengan mudah memenuhi keinginan para pengungsi Palestina untuk kebebasan bepergian.

 

Hambatan Bepergian

Direktur Thabet Organization for the Right of Return, Sami Hammoud, menegaskan bahwa masalah surat jalan bagi pengungsi Palestina di Lebanon (yang berlaku bagi pemegang dokumen lain) masih menjadi kendala bagi mereka untuk bergerak dan bepergian ke luar negeri, jika untuk alasan pekerjaan atau kesempatan pendidikan.

Hammoud menjelaskan bahwa hal ini disebabkan lebih dari satu alasan, termasuk sifat dokumen tersebut, yang telah dikeluarkan selama bertahun-tahun dengan cara non-teknis dan tidak digunakan di semua negara di dunia. Ini menyebabkan banyak masalah bagi para turis pengungsi selama perjalanan melalui bandara, seperti dokumen yang ditulis tangan.

Sami Hammoud menunjukkan bahwa banyak negara tidak memberikan visa masuk kepada pengungsi Palestina dari Lebanon karena alasan politik. Ini merampas hak pengungsi Palestina terkait kebebasan bergerak dan bepergian.

“Hal yang diminta dari Lebanon dan negara-negara Arab dan Islam pada khususnya adalah memperlakukan pengungsi Palestina sebagai warga negara Arab dan Islam yang memiliki hak untuk mendapatkan visa dan hak untuk melakukan perjalanan ke negara mana pun yang dituju, baik untuk urusan pekerjaan, pendidikan atau pengobatan,” kata Sami Hammoud.

Bertahun-tahun yang lalu, Otoritas Palestina mulai mengeluarkan paspor khusus untuk pengungsi Palestina (tanpa nomor nasional) yang diberikan kepada pengungsi Palestina yang tidak memiliki kartu identitas di Tepi Barat atau Yerusalem yang berada di Suriah, Lebanon, Irak, dan negara-negara lain. Paspor khusus ini dikeluarkan oleh kedutaan Palestina di negara-negara tersebut, tetapi paspor ini tidak memberikan hak kepada turis pengungsi Palestina untuk bergerak di sebagian besar negara di dunia.

Krisis dokumen perjalanan masih menjadi salah satu masalah bagi para pengungsi Palestina setelah puluhan tahun tragedi Nakba 1948 dan menghambat perjalanan dan hak pengungsi Palestina untuk bergerak atau bepergian seperti orang lain di dunia. Jadi sampai kapan penderitaan ini berlanjut?

(T.FJ/S: Palinfo)

leave a reply
Posting terakhir