Nelayan Gaza Menangkap Ikan dalam Ketakutan dan Lumuran Darah

Para nelayan sangat menderita akibat menurunnya volume penangkapan ikan setiap hari. Di samping itu, mereka menjadi sasaran tembak pasukan pendudukan Israel, ditangkap, ditahan, dan peralatan mereka dihancurkan atau disita, serta perahu mereka sengaja dirusak.

BY 4adminEdited Mon,09 Oct 2023,02:01 PM

Gaza, SPNA - Masalah besar yang dihadapi sektor perikanan di Jalur Gaza adalah otoritas pendudukan Israel mencegah masuknya alat-alat untuk perawatan dan pemeliharaan kapal. Ini membatasi kemampuan nelayan-nelayan Palestina di Jalur Gaza untuk menangkap ikan dalam jarak jauh.

Jarak 6 mil dari bibir pantai adalah jarak yang diperbolehkan oleh otoritas pendudukan Israel bagi nelayan Jalur Gaza untuk menangkap ikan di sepanjang 45 kilometer wilayah pesisir Jalur Gaza. Pada jarak tersebut nelayan akan berhadapan dengan kapal-kapal Angkatan laut lengkap dengan persenjataan militer yang telah menunggu nelayan Gaza. Hal ini membatasi kemampuan nelayan Gaza untuk menangkap berbagai jenis ikan yang hanya tersedia di jarak yang agak jauh dari pantai.

Para nelayan sangat menderita akibat menurunnya volume penangkapan ikan setiap hari. Di samping itu, mereka menjadi sasaran tembak pasukan pendudukan Israel, ditangkap, ditahan, dan peralatan mereka dihancurkan atau disita, serta perahu mereka sengaja dirusak.

Selain itu, nelayan Gaza dilarang mengekspor ikan ke Tepi Barat, yang dulunya merupakan salah satu pasar terpenting untuk menjual ikan dengan harga lebih tinggi, di mana pasar Gaza menderita lemahnya daya beli, akibat tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan.

Kebutuhan ikan di Jalur Gaza sebanyak 20.000 ton, sedangkan tangkapan setiap tahunnya tidak melebihi 3.000 ton. Ini artinya terjadi defisit sekitar 17.000 ton.

Salah satu nelayan Jalur Gaza, Nafez Salah (22 tahun), kini terpaksa harus terbaring di tempat tidur, tidak mampu bangun. Ia tidak mampu bekerja untuk menghidupi keluarganya yang beranggotakan delapan orang. Kejahatan pasukan pendudukan Israel dan penderitaannya di penyeberangan Beit Hanoun, begitu membekas dalam ingatannya.

Sekitar tiga pekan lalu, pada Senin (11/09/2023) tepat pukul satu tengah malam, Salah berangkat berlayar ke selatan Jalur Gaza bersama sejumlah temannya sesama nelayan lainnya. Sesaat sebelum mereka kembali, dua peluru yang ditembakkan pasukan pendudukan Israel mengenai tangan dan kepalanya, yang menyebabkan dirinya pingsan. Ketika bangun, Salah mendapati tubuhnya lumpuh.

Meskipun mengalami luka parah, angkatan laut pendudukan Israel menangkapnya dan membawanya ke pelabuhan Israel di Ashdod, dekat Gaza. Dari sana, Salah dibawa ke Rumah Sakit Soroka, di mana ia mengalami koma selama seminggu, akibat luka parah tersebut.

Selanjutnya, Salah ditemukan tergeletak di dekat penyeberangan Beit Hanoun di utara Jalur Gaza. Ia dilarikan ke rumah sakit di Gaza untuk menjalani perawatan.

Insiden yang dialami Nafez Salah bukanlah kasus pertama dan terakhir. Terlalu banyak insiden kejahatan yang dilakukan oleh angkatan laut pendudukan Israel terhadap nelayan Palestina di Gaza, yang berdampak negatif terhadap jumlah pekerja di sektor perikanan.

Berdasarkan data Komite Persatuan Nelayan Gaza, jumlah nelayan di Jalur Gaza diperkirakan sekitar 5 ribu nelayan, yang menghidupi 50 ribu orang dari populasi Jalur Gaza.

Mengenai realitas penangkapan ikan, koordinator Komite Nelayan, Zakaria Bakr, dalam perbincangannya membahas derita sektor perikanan di Jalur Gaza. Ia menyebutkan bahwa blokade Israel telah membuat para nelayan kesulitan memperbaiki dan merawat perahu dan kapal penangkapan ikan para nelayan-nelayan di Jalur Gaza.

“Masalah besar yang mengancam sektor perikanan adalah gagal atau sulitnya mendapatkan peralatan yang memungkinkan perahu nelayan memasuki laut, sedangkan mesin motor penggerak sebuah perahu atau kapal mempunyai umur lima tahun,” kata Zakaria Bakr.

Zakaria Bakr menyebutkan bahwa blokade yang dilakukan otoritas pendudukan Israel di Jalur Gaza selama 17 tahun, menghalangi masuknya peralatan penangkapan ikan. Ia menyebutkan bahwa kerusakan yang terjadi pada peralatan penangkapan ikan dialami oleh sekitar 95 persen nelayan. Kerusakan ini telah memberikan dampak negatif pada jarak tangkap ikan yang bisa dijelajah oleh para nelayan.

“Situasinya menyedihkan, terutama mengingat adanya larangan ekspor ikan ke Tepi Barat. Kami biasanya mengekspor 160 ton per bulan, akan tetapi otoritas pendudukan Israel menguranginya menjadi 40 ton. Kadang-kadang ekspor dilarang secara total dengan menutup pintu penyeberangan atau perbatasan, seperti yang terjadi baru-baru ini. Nelayan hampir tidak dapat hidup karena kondisi hidup dan ekonomi yang sangat sulit,” kata Zakaria Bakr.

Zakaria Bakr menunjukkan bahwa otoritas pendudukan Israel melakukan kejahatan sistematis dan terorganisir terhadap nelayan Palestina di Jalur Gaza, termasuk: blokade laut yang ketat dan membagi laut menjadi beberapa wilayah laut, beberapa di antaranya mengizinkan aktivitas dalam radius tiga mil, dan diperbolahkan menangkap ikan dalam radius mencapai enam mil.

Perjanjian Oslo, yang ditandatangani Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Israel pada tahun 1994, menetapkan bahwa penduduk Palestina diizinkan untuk berlayar hingga 20 mil laut (37 kilometer) di lepas pantai Jalur Gaza. Namun, penduduk Palestina selalu dicegah untuk mencapai jarak tersebut dan hanya diperbolehkan menjangkau jarak yang kurang dari 12 mil laut dan bahkan jaraknya berubah-ubah sesuai kehendak pasukan pendudukan Israel.

Zakaria Bakr membantah klaim otoritas pendudukan Israel terkait hal ini. Ia menekankan bahwa jarak yang sebenarnya dimiliki para nelayan Palestina di Jalur Gaza hanya di darat atau pantai, yaitu nol mil. Dengan kata lain, nelayan Gaza tidak diperbolehkan menangkap ikan di laut mereka sendiri. Ini bisa dilihat dari berbagai serangan berulang kali yang dilakukan angkatan laut pendudukan Israel terhadap nelayan Gaza.

Zakaria Bakr menambahkan, bahaya yang paling mengancam para nelayan adalah serangan langsung yang dilakukan pasukan pendudukan Israel menggunakan segala jenis senjata yang mungkin atau tidak mungkin dilakukan secara akal sehat, seperti serangan menggunakan meriam air yang ditembakkan ke arah perahu nelayan Palestina agar perahu tersebut karam.

“Seperti (serangan) menggunakan meriam air. Secara global (di negara lain). ini tidak terjadi kecuali di Jalur Gaza,” kata Zakaria Bakr.

Zakaria Bakr juga menyebutkan bahwa bebarap peralatan penangkapan ikan dapat masuk secara terbatas, seperti “fiberglass”, yang masuk dalam jumlah yang sangat terbatas setelah adanya intervensi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan sejumlah negara pengamat.

Menurut data statistik Komite Nelayan, sejak awal tahun 2023 ini, pasukan pendudukan Israel telah menangkap 23 nelayan (mereka kemudian dibebaskan) dan menyerang beberapa nelayan yang membuat mereka mengalami luka-luka, termasuk luka parah. Pasukan pendudukan Israel juga merampas 12 perahu nelayan, dan menghancurkan 12 perahu lainnya sehingga mengalami rusak sebagian. Pasukan pendudukan Israel melakukan lebih dari 200 operasi Penembakan terhadap pemburu liar dan juga merusak hampir 200 jaring ikan para nelayan.

Nelayan Palestina terus-menerus meminta lembaga internasional dan hak asasi manusia untuk menekan otoritas pendudukan Israel agar menghentikan kejahatan terhadap nelayan. Nelayan Palestina di Jalur Gaza juga meminta lembaga internasional untuk mendukung profesi nelayan Palestina, mengingat memburuknya situasi ekonomi akibat blokade Israel di Jalur Gaza.

Pasukan pendudukan Israel berulang kali melakukan kejahatan yang menargetkan para nelayan Gaza, baik dengan mengintimidasi, menembak, menjarah, mengejar, menenggelamkan kapal, menangkap para nelayan, menghancurkan atau menyita kapal-kapal penangkapan ikan. Kejahatan ini sering terjadi bahkan di wilayah penangkapan ikan yang diperbolehkan oleh otoritas pendudukan Israel.

Profesi nelayan di Jalur Gaza mencakup sekitar 5000 nelayan. Sementara itu, sebanyak 1.000 kapal nelayan bekerja di Jalur Gaza. Angkatan laut pendudukan Israel terus-menerus menargetkan para nelayan yang bekerja di laut Jalur Gaza, yang menghalangi dan merampas mata pencaharian mereka.

 

Serangan dari Jalur Gaza

Sejak Sabtu pagi (07/10/2023), kelompok pejuang Palestina melakukan serangan terhadap kawasan di sekitar Jalur Gaza. Sementara itu pasukan pendudukan Israel melakukan serangan balik terhadap Jalur Gaza dengan membom sejumlah kawasan padat penduduk di Gaza.

Pada Minggu malam (18/10), Kementerian Kesehatan Palestina menyatakan bahwa lebih dari 400 penduduk Palestina meninggal dunia dalam serangan udara yang dilakukan Israel yang menargetkan rumah-rumah penduduk, jalanan, dan masjid. Angka ini akan terus bertambah karena serangan masih terus berlansung hingga saat ini.

Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, menyampaikan arahan untuk memberikan perlindungan bagi rakyat Palestina. Ia menegaskan hak rakyat Palestina untuk membela diri.

Sementara itu, terkait aksi perlawanan Palestina di Jalur Gaza, aktivis Palestina, Muhammed El-Kurd, menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Palestina yang diduduki adalah respons terhadap invasi militer Israel setiap hari ke kota-kota Palestina selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun, pembunuhan penduduk Palestina, dan fakta bahwa jutaan penduduk Palestina di Jalur Gaza diblokade Israel.

Sangat tidak mungkin memahami kondisi di Jalur Gaza tanpa mengetahui fakta bahwa sebanyak 247 desa di selatan Palestina dibersihkan secara etnis oleh pasukan Zionis pada tahun 1948. Para pengungsi dari desa-desa tersebut kemudian dipaksa masuk ke kamp konsentrasi yang kemudian dikenal sebagai Jalur Gaza.

(T.FJ/S: Wafa)

leave a reply