Bagaimana Proyek Zionis Israel dan Palestina 74 tahun setelah Nakba?

“Dengan demikian bahwa entitas Israel telah lebih lemah dari masa sebelumnya, meskipun di tingkatan militer mereka masih lebih unggul, tetapi pada tingkat struktur kemanusiaan, entitas Israel kita menyaksikan keretakan besar dalam beberapa tahun terakhir,” kata Bilal Al-Shobaki.

BY 4adminEdited Sat,28 May 2022,03:02 PM

Yerusalem, SPNA - Barangkali orang-orang Palestina yang hidup melalui dan merasakan tragedi Nakba tidak mengharapkan perjuangan Palestina terus berlanjut selama 74 tahun. Begitu juga dengan, para pendiri entitas Zionis Israel yang tentu tidak mengharapkan bahwa orang-orang Palestina akan tetap tabah, terus mengingat tragedi besar ini, dan terus melahirkan generasi baru yang meningkatkan kesadaran dan perjuangan untuk memperoleh hak-hak mereka yang terus dirampas otoritas pendudukan Israel.

Jika bukan karena perlawanan rakyat Palestina selama bertahun-tahun ini, ketabahan maupun kesabaran dalam memperjuangkan hak-hak mereka, proyek Zionis Israel tidak akan berada dalam krisis hari ini.

Pada saat ini, kamp Jenin merupakan salah satu ekspresi Nakba, dan berada di garis depan perlawanan Palestina.

Tepi Barat adalah pusat konflik, ini adalah inti dari ambisi dan propaganda Zionis Israel, yang mewakili ide strategis pendudukan Israel terhadap tanah Palestina. Gerakan perlawanan di dalam kawasan ini sangat penting dalam menggagalkan proyek Zionis.

Tepi Barat melawan dalam Intifada Pertama, dan mengerahkan seluruh kekuatan dalam menghadapi gerakan pendudukan Israel dalam Intifada Kedua. Tepi Barat melawan dengan berbagai cara dan operasi terorganisir yang dilakukan secara berkelompok atau secara individual, terutama dalam membela Al-Aqsha, sehingga ribuan penduduk Palestina ditahan.

 

Adegan Palestina dalam Menghadapi Pendudukan Israel

Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Pusat Informasi Palestina, Bilal Al-Shobaki, profesor ilmu politik dari Universitas Hebron, mengatakan bahwa sejak otoritas pendudukan Israel mendirikan negara mereka hingga saat ini, mereka belum dapat mencapai tahap di mana mereka dapat menyatakan bahwa mereka telah mengalahkan rakyat Palestina.

“Ini bukan ungkapan romantis untuk mempercantik situasi di kalangan Palestina. Palestina belum menang, tetapi mereka belum dikalahkan. Buktinya adalah bahwa konflik dengan otoritas pendudukan Israel masih ada dan terbuka. Perlawanan dan konfrontasi masih ada dan setiap saat terus diperbarui atau diperbaiki, dengan cara yang membuat kita mengatakan bahwa perlawanan itu tidak pernah terputus sejak 1948,” kata Bilal Al-Shobaki.

Bilal Al-Shobaki menyatakan bahwa sejak saat 1948 hingga hari ini kita telah menyaksikan berbagai bentuk perlawanan dan konfrontasi, di mana orang-orang Palestina mampu membentuk kerangka politik dan gerakan nasional, serta perkembangan dalam perjuangan, yang sampai pada tahap ini. Gerakan perlawanan Palestina mampu mempengaruhi jalannya kehidupan sehari-hari rakyat Palestina.Bagi masyarakat Israel, meskipun telah berlalu lebih dari 7 dekade sejak Nakba, rakyat Palestina belum menyerah pada kejahatan penjajahan dan pendudukan.

Sementara itu, dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Pusat Informasi Palestina, peneliti di Pusat Studi Strategis Yabous, Suleiman Bisharat, mengatakan bahwa otoritas pendudukan Israel mempertaruhkan waktu untuk membuat generasi Palestina melupakan pengusiran dan pembantaian yang telah dilakukan oleh geng-geng Zionis Israel sejak tragedi Nakbah 1948 hingga masa Nakbah hari ini, di mana generasi Palestina akan menjalani kehidupan sesuai dengan perubahan waktu atau realitas politik.

“Taruhan ini tidak terwujud. Otoritas pendudukan Israel mungkin lebih khawatir bahwa hubungan nasional dan emosional negara Palestina pada generasi saat ini barangkali telah tumbuh dalam semangat hubungan terhadap tanah dan identitas mereka, lebih daripada periode-periode sebelumnya. Ini dibuktikan dengan bagaimana orang-orang Palestina di wilayah pendudukan pada tahun 1948 menolak konsep asimilasi dengan entitas pendudukan Israel, meskipun terjadi banyak upaya untuk menghapus identitas (Palestina) mereka,” kata Suleiman Bisharat.

Suleiman Bisharat menyatakan bahwa pengungsi Palestina baik yang berada di berbagai kamp pengungsi di Tepi Barat atau Gaza atau bahkan di luar negeri, generasi Palestina masih mengikuti dan melanjutkan ikatan nasional dan menolak untuk menerima solusi kompensasi atau penyelesaian dengan cara mengorbankan hak mereka untuk kembali ke tanah Palestina mereka.

 

Proyek Zionis Setelah 74 Tahun

Terlepas dari perspektif yang tampak proyek Zionis Israel hari ini telah mencapai tahap penyebaran yang massif dan pemaksaan realitas, Suleiman Bisharat percaya bahwa mereka juga sedang mengalami krisis. Otoritas pendudukan Israel, sejauh ini belum dapat menemukan identitasnya.

Suleiman Bisharat menunjukkan dalam sebuah wawancara bahwa menemukan identitas ini, mereka menggunakan banyak langkah atau hukum, termasuk Hukum Nasional Yahudi, di mana mereka mencoba untuk memberikan identitas. Namun, tidak dapat mereka temukan dalam proyek Yahudi, karena sulitnya mengintegrasikan kelompok-kelompok Yahudi yang diimpor dari seluruh dunia.

Otoritas pendudukan Israel, menurutnya, gagal mencapai homogenitas dalam entitas mereka. Oleh karena itu, sekarang terbentuk sejumlah komunitas internal yang kompleks berdasarkan kategori agama dan ideologis.

Adapun Bilal Al-Shobaki, ia percaya bahwa hingga saat ini, tampaknya tidak ada kemunduran di kalangan Zionis terkait penyelesaian proyek mereka. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, transformasi mendasar telah terjadi di dalam entitas Israel. Transformasi ini dimulai dengan entitas Israel ini mulai kehilangan simbol dan kepribadian sejarah pendirinya, yang hampir disepakati dengan suara bulat di tingkat “jalanan Israel”.

 

“Oleh karena itu, negara pendudukan Israel, pada tingkat resmi, telah mirip dengan banyak negara di dunia, di mana korupsi mulai sering muncul di pemerintahan dan ada perbedaan besar dalam masyarakat Israel. Ditambah lagi kebijakan pemerintah pendudukan berturut-turut dalam beberapa tahun terakhir, baik di tingkat internal Israel atau di tingkat hubungan dengan Palestina, atau di tingkat internasional, tidak lagi melayani entitas Israel. Namun, sejauh itu melayani kelangsungan dan keberlangsungan hidup pemerintah,” kata Bilal Al-Shobaki.

Otoritas pemerintah Israel menurut Bilal Al-Shobaki telah beralih dari kebijakan di mana kepentingan entitas Israel lebih didahulukan, ke tahap Israel mengambil langkah-langkah yang melayani elit politik dan kepentingan pihak tertentu di pemerintahan.

“Dengan demikian bahwa entitas Israel telah lebih lemah dari masa sebelumnya, meskipun di tingkatan militer mereka masih lebih unggul, tetapi pada tingkat struktur kemanusiaan, entitas Israel kita menyaksikan keretakan besar dalam beberapa tahun terakhir,” kata Bilal Al-Shobaki.

 

Tepi Barat Adalah Kawasan Penting Perlawanan

Menurut Bilal Al-Shobaki, profesor ilmu politik di Universitas Hebron, Tepi Barat menderita sejumlah kebijakan berbahaya, yang tidak hanya mempengaruhi struktur organisasi faksi-faksi Palestina, melainkan juga bertujuan untuk menciptakan gaya hidup penduduk Palestina, yang dimotivasi dengan pola ekonomi dan sosial, untuk menghalangi keterlibatan penduduk Palestina di Tepi Barat dalam perjuangan melawan pendudukan.

Menurutnya, kebijakan tersebut dimulai sejak pembentukan otoritas Palestina pada pertengahan ke-20, tetapi Intifada Kedua merupakan menjadi kemunduran bagi kebijakan ini. Mereka kemudian melanjutkan kebijakan ini setelah berakhirnya intifada kedua.

“Tetapi kebijakan ini tidak membuahkan hasil, meskipun miliaran dolar dihabiskan untuk membangun kembali masyarakat Palestina di Tepi Barat, sehingga akan menjadi komunitas yang disibukkan dengan masalah hidup dan ekonomi, dengan sejumlah gaji karyawan atau undang-undang solidaritas sosial yang baru. Semuanya merupakan kebijakan sistematis dan terencana yang bertujuan untuk menciptakan pola baru bagi warga Palestina di Tepi Barat. Kebijakan ini mempengaruhi generasi tertentu di Tepi Barat Palestina, generasi yang terkait dengan kewajiban keuangan dan sosial, tetapi tidak mempengaruhi generasi muda yang bebas dari semua Batasan tersebut dan orang-orang yang terlibat dalam perjuangan melawan pendudukan,” sebut Bilal Al-Shobaki.

Sementara itu, peneliti di Pusat Studi Strategis Yabous, Suleiman Bisharat, percaya bahwa kita tidak dapat memisahkan realitas Palestina di Tepi Barat dari setiap kehadiran Palestina, semua alun-alun Tepi Barat selalu terikat dengan perjuangan Palestina.

Setiap kawasan mungkin berbeda dalam bentuk dan ekspresi, tetapi hubungan dengan perjuangan Palestina berdasarkan kelangsungan gerakan perlawanan dan penolakan terhadap proyek permukiman ilegal dan pendudukan Israel di tanah Palestina.

“Semua kawasan Palestina penting dalam situasi masa depan. Siapa pun yang mengatakan bahwa salah satu dari kawasan Tepi Barat ini tidak penting telah salah dalam melakukan penilaian. Definisi gerakan perjuangan Palestina tidak hanya berkaitan dengan satu bentuk perlawanan, melainkan keberhasilannya terletak pada keragaman, formasi, dan bahwa harus ada kerja saling keterkaitan,” kata Suleiman Bisharat.

Hal ini menurutnya terkonfirmasi oleh konfrontasi yang terjadi pada tahun lalu setelah peristiwa Sheikh Jarrah, di mana jika tidak saling melengkapi dan saling terkait dalam perlawanan, hasilnya tidak akan tercapai seperti yang diinginkan.

“Sejak Intifada Kedua, Tepi Barat mungkin telah banyak diduduki dengan tujuan untuk tidak membiarkan tindakan perlawanan institusional. Dengan alasan ini banyak rencana yang dipaksakan dan dilaksanakan, dimulai dengan perdamaian ekonomi dan kemudian mengubah geografi Tepi Barat dengan memperkuat proyek permukiman ilegal dan mencoba untuk mengisolasi kawasan-kawasan di Tepi Baratnya dan sebagainya,” kata Suleiman Bisharat.

Meskipun demikian, kata Bisharat, generasi Palestina tumbuh kembali untuk menegaskan bahwa sulit untuk memberantas atau menghancurkan semangat perlawanan penduduk Palestina.

“Ini yang mungkin membuat otoritas pendudukan Israel lebih takut pada masa sekarang ini, di mana segala upaya upaya yang mereka lakukan telah gagal,” kata Suleiman Bisharat.

Adapun peneliti Sari Orabi, seorang direktur Pusat Studi Yerusalem, mengatakan bahwa karena beberapa alasan Tepi Barat adalah kawasan utama konflik, beberapa di antaranya berkaitan dengan ideologi dan propaganda Zionis, yang menganggap Tepi Barat adalah tanah bersejarah bangsa Yahudi. Alasan lainnya akibat terjadinya gelombang permukiman ilegal, serta berkaitan dengan peta geopolitik karena merupakan proyek strategis entitas pendudukan Israel.

“Tepi Barat selain sebagai wilayah terbesar dan memiliki populasi terbesar Palestina di wilayah Palestina yang diduduki pada tahun 1967. Tepi Barat termasuk berkaitan  dengan masalah Yerusalem, permukiman ilegal, tahanan, perbatasan, dan akses air,” sebut Sari Orabi.

Untuk alasan ini, Sari Orabi melihat perlunya memperkuat aksi perlawanan di Tepi Barat, seperti yang terjadi dalam Intifada Pertama dan Intifada Kedua Palestina, di mana menjadi tindakan paling nyata dalam menentang kejahatan pendudukan Israel.

Ini juga merupakan outlet untuk perlawanan setelah berdirinya Otoritas Palestina, terutama di pertengahan tahun sembilan puluhan, dan

Hari ini, menurut Sari Orabi, Tepi Barat adalah kawasan aksi perlawanan Palestina sehari-hari, dalam berbagai cara perlawanan, yang memberikan motivasi dalam perjuangan saat ini sejak awal tahun 2022. Tepi Barat memiliki sumber manusia yang dapat berusaha untuk bersatu bersama orang-orang Yerusalem dalam melindungi Masjid Al-Aqsha, terlepas dari berbagai tindakan kejahatan otoritas pendudukan Israel untuk mengisolasi Yerusalem dari Tepi Barat.

(T.FJ/S: Palinfo)

leave a reply
Posting terakhir