Yahudisasi Kawasan Sekitar Al-Aqsha, Israel Daftarkan Tanah Palestina Sebagai Milik Yahudi

Definisi ini memberikan wewenang kepada otoritas pendudukan Israel dan Unit Penjaga Properti di Kementerian Kehakiman Israel untuk menyita bangunan atau properti orang-orang Palestina yang dianggap absen. Tujuan dari undang-undang tersebut adalah untuk mencegah kembalinya orang-orang Arab-Palestina yang terlantar ke tanah atau properti yang ditinggalkannya sebelum, selama atau setelah perang pendudukan Israel terhadap tanah Palestina.

BY 4adminEdited Wed,29 Jun 2022,01:30 PM

Yerusalem, SPNA - Otoritas pendudukan Israel, melalui Kementerian Kehakiman, sebagaimana dilaporkan pada Senin (27/06/2022), mulai melakukan upaya Yahudisasi wilayah dengan cakupan yang luas di kota Yerusalem yang diduduki, dengan mendaftarkan kepemilikan wilayah yang luas di kota Palestina tersebut, termasuk wilayah di sekitar Kota Tua dan kompleks Masjid Al-Aqsha, atas nama orang-orang Yahudi.

Berdasarkan laporan media Israel, Haaretz, bahwa prosedur pendaftaran tersebut telah dimulai pada pekan lalu, dan termasuk tanah yang terletak di dalam rencana “Taman Nasional” di sekitar tembok Kota Tua, selatan Masjid Al-Aqsha.

Laporan tersebut menyatakan bahwa prosedur pendaftaran bergantung pada anggaran yang telah dialokasikan oleh pemerintah pendudukan Israel dengan klaim untuk “mengurangi kesenjangan dan meningkatkan kualitas hidup bagi penduduk Palestina yang tinggal di Yerusalem,” akan tetapi pada  kenyataannya pendaftaran dilakukan dengan mendaftarkan tanah dengan kepemilikan orang-orang Yahudi Israel.

Pendaftaran tanah yang termasuk dalam rencana Taman Arkeologi di Yerusalem, dapat menyebabkan keberatan dari Lembaga Dewan Wakaf Urusan Islam dan Tempat Suci di Yerusalem, pihak pemerintah Yordania, dan Palestina terhadap tindakan yang menargetkan banyak orang Palestina dari tanah pendudukan, dengan tujuan melakukan Yahudisasi Yerusalem yang diduduki.

Laporan menunjukkan bahwa petugas pendaftaran tanah di Yerusalem, David Rothenberg, telah memulai prosedur pendaftaran banyak distrik (daerah yang akan diprioritaskan untuk dilakukan pendaftaran) di Yerusalem dalam dua tahun terakhir, menyusul keputusan pemerintah pada tahun 2018.

Tindakan ini secara luas ditentang oleh kelompok hak asasi manusia, karena menargetkan tanah yang dimiliki oleh “Unit Penjaga Properti orang-orang yang absen atau tidak hadir atau tidak ada” yang mencakup bagian sejumlah proyek dan pemukiman ilegal Israel yang direncanakan di masa depan.

Proses pendaftaran hampir berakhir di lingkungan Sheikh Jarrah di Yerusalem yang diduduki, dan mengatakan bahwa “hampir semua tanah didaftarkan atas nama pemilik Yahudi”.

Pada 20 Maret 1950, otoritas pendudukan Israel menerbitkan Undang-undang Hukum Properti Absentee. Hukum ini mendefinisikan siapa saja yang mengungsi atau meninggalkan perbatasan Palestina yang diduduki sampai November 1947, dengan alasan apapun, terutama karena perang, ia dianggap “absen”, yang berarti ia dianggap tidak ada.

Definisi ini memberikan wewenang kepada otoritas pendudukan Israel dan Unit Penjaga Properti di Kementerian Kehakiman Israel untuk menyita bangunan atau properti orang-orang Palestina yang dianggap absen. Tujuan dari undang-undang tersebut adalah untuk mencegah kembalinya orang-orang Arab-Palestina yang terlantar ke tanah atau properti yang ditinggalkannya sebelum, selama atau setelah perang pendudukan Israel terhadap tanah Palestina.

Laporan Haaretz tersebut mengindikasikan bahwa operasi pendaftaran tanah di kawasan Yerusalem tersebut juga menargetkan area di kawasan French Hill, di mana direncanakan pembangunan kawasan permukiman ilegal baru yang disebut Givat HaShaked, di selatan Yerusalem.

Proses Yahudisasi juga menargetkan kawasan yang terletak di antara permukiman Harhoma dan kota Sur Baher, yang terletak di dekat permukiman Haredi “Har Shlomo”, terdaftar pada “Unit Penjaga Properti” termasuk kawasan di samping area lain di mana permukiman ilegal baru dijadwalkan akan didirikan di permukiman Atarot, utara Yerusalem. Diduduki, juga terdaftar sebagai milik “Unit Penjaga Properti”.

Haaretz mensinyalir bahwa proses Yahudisasi pendaftaran tanah di Yerusalem dilakukan dengan anggaran yang semula dimaksudkan dengan “menciptakan masa depan yang lebih baik bagi penduduk Yerusalem Timur”, sebagaimana tercantum dalam publikasi Kementerian Urusan Yerusalem pada masa pemerintah pendudukan Israel.

Pada tahun 2018, pemerintah pendudukan Israel menyetujui, rencana lima tahun untuk “mengurangi kesenjangan” di Yerusalem Timur yang diduduki. Otoritas pendudukan Israel mengalokasikan anggaran hingga berjumlah lebih dari dua miliar shekel, yang dialokasikan ke berbagai kementerian. Di bawah tekanan Menteri Kehakiman pada saat itu, Ayelet Shaked, Kementerian Kehakiman menerima anggaran untuk membangun sistem pendaftaran tanah di timur kota Yerusalem yang diduduki.

Sejak pendudukan Yerusalem pada tahun 1967, otoritas pendudukan Israel belum mendaftarkan kepemilikan tanah di Yerusalem Timur, dan hingga hari ini lebih dari 90% tanah di Yerusalem Timur tidak diatur atau didaftarkan dengan status kepemilikan siapa pun dalam catatan Kementerian Kehakiman Israel.

Haaretz mengatakan bahwa ini mengganggu prosedur untuk mendapatkan izin bangunan di daerah tersebut.  Hal ini juga mendorong interaksi dengan pasar gelap di real estate di Yerusalem.

Penduduk Palestina di Yerusalem menghindari berurusan dengan kementerian Israel di bidang pendaftaran tanah karena takut akan pengalihan, yahudisasi, atau penipuan yang dilakukan otoritas pendudukan Israel untuk mengendalikan tanah atau bangunan mereka untuk dieksploitasi dalam proyek permukiman atau pencurian, dan mengklaim status kepemilikan properti tersebut milik Israel.

Israel mengandalkan Hukum Properti Absentee, yang memungkinkan “Unit Penjaga Properti” untuk merampas aset atau properti Palestina jika terdaftar atas nama pemilik yang hadir di tanah yang diklaim sebagai tanah “musuh”.

Dalam hal ini, Gal Yanovsky, pengacara organisasi hak asasi manusia Israel, Ir Amim, yang menolak permukiman ilegal Israel, menjelaskan bahwa penyelesaian pendaftaran tanah seharusnya untuk kepentingan warga.

“Tetapi jelas bahwa tidak ada yang bisa mendapatkan keuntungan dari penyelesaian pendaftaran (tanah). Ini adalah tahap lain dari proses kontrol negara atas wilayah (Yerusalem Timur) tersebut,” sebut Gal Yanovsky.

Ia menambahkan bahwa pada tahap ini, prosedur pendaftaran merupakan batu lompatan ke dalam rencana yahudisasi Yerusalem. Proyek permukiman ilegal di sebelah Masjid Al-Aqsha adalah upaya Israel untuk menguasai wilayah paling sensitif di kota Yerusalem itu.

Sementara itu, Sari Kronish, dari lembaga hak asasi manusia Israel, Bimkom, menyebutkan bahwa program pendaftaran tanah tersebut dieksploitasi negara.

“Dengan berjalannya waktu, kami melihat bahwa proyek pendaftaran tanah dieksploitasi untuk kepentingan negara dan proyek permukiman. Bukan untuk kepentingan penduduk Yerusalem, kata Sari Kronish.

Bimkom merupakan salah satu organisasi hak asasi manusia Israel. Bimkom bertujuan untuk memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia di bidang perencanaan tata ruang dan kebijakan perumahan, di Israel dan di Area C Tepi Barat, yang berada di bawah kendali otoritas pendudukan Israel.

Laporan tersebut menunjukkan bahwa Kementerian Kehakiman Israel sedang berusaha untuk menyelesaikan proses pendaftaran tanah di lingkungan Abbet Al-Tur, Wadi Ibn Hanum dan daerah lain di sekitar tembok Kota Tua dalam beberapa minggu mendatang.

Pada hari Kamis, Dewan Wakaf Urusan Islam dan Tempat Suci di Yerusalem mengeluarkan pernyataan keras mengutuk penggalian yang terjadi di sekitar Kota Tua Yerusalem yang diduduki.

Lembaga yang bertanggung jawab terhadap Al-Aqsha ini mengungkapkan adanya retakan baru yang muncul sisi barat kompleks Al-Aqsha, dekat Museum Islam, dan Gerbang Mughrabi yang berdekatan dengan Tembok Al-Buraq sampai ke area Istana Umayyah, sebagai akibat dari penggalian terus menerus di bawah kompleks Al-Aqsha yang dilakukan oleh otoritas pendudukan Israel.

Para peneliti Yerusalem telah memperingatkan ancaman serius baru terhadap Masjid Al-Aqsah, akibat penggalian terus menerus yang dilakukan otoritas pendudukan Israel di wilayah barat, yang bertujuan untuk memaksakan fakta historis atau realitas baru, dengan dalih mengejar warisan sejarah Yahudi dan berusaha untuk menghapus historis bangsa Arab-Palestina.

Pada awal Juni 2022, Organisasi PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan di Wilayah Pendudukan Palestina (OCHA), mengeluarkan laporan yang menyebutkan bahwa otoritas pendudukan Israel telah menghancurkan sebanyak 300 bangunan Palestina di Tepi Barat, termasuk Yerusalem yang diduduki, sejak awal tahun 2022 ini.

Laporan tersebut menyatakan bahwa dalih otoritas pendudukan Israel dalam melakukan penghancuran di Wadi Qaddoum adalah kurangnya syarat izin bangunan, seperti yang terjadi di sebagian besar penghancuran rumah-rumah dan bangunan Palestina lainnya.

“Hampir tidak mungkin bagi orang Palestina untuk mendapatkan izin semacam itu di Yerusalem yang diduduki. Ini mengacu pada birokrasi dan kebijakan pembatasan (ruang hidup) yang dilakukan oleh otoritas pendudukan Israel terhadap orang-orang Palestina di Yerusalem dan Area C, di mana Israel mengendalikan konstruksi. yang konstruksinya dikontrol oleh Israel,” sebut laporan OCHA.

Otoritas pendudukan bekerja untuk memperuntukkan tanah dan ruang yang tersedia untuk konstruksi di Yerusalem dan kawasan Zona C untuk kepentingan perluasan permukiman ilegal, yang secara internasional dilarang dan bertentangan dengan hukum internasional.

“Orang-orang Palestina di Tepi Barat hidup dalam kondisi sulit, akibat serangkaian kebijakan dan praktik pendudukan jangka panjang, akibat sistem perencanaan yang membatasi dan diskriminatif diterapkan di Zona C, Yerusalem Timur, dan daerah-daerah yang berada di bawah kendali Israel. Ini mencegah orang-orang Palestina untuk memenuhi kebutuhan rumah atau tempat tinggal, mata pencaharian, dan kebutuhan layanan dasar,” kata laporan OCHA.

Hukum internasional menganggap Tepi Barat dan wilayah pendudukan Yerusalem, dan semua kegiatan pembangunan pemukiman di kawasan tersebut sebagai hal yang ilegal dan bertentangan dengan hukum internasional.

PBB sering kali menyatakan keprihatinan besar atas pembangunan unit permukiman ilegal Israel di Tepi Barat yang diduduki. Tahun lalu, utusan PBB untuk proses penyelesaian Timur Tengah, Tor Wencesland, mengatakan dalam sebuah pernyataan pers bahwa PBB menyatakan menyatakan keprihatinan atas pembangunan unit permukiman baru, dan kelanjutan perluasan permukiman ilegal di wilayah pendudukan Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur.

“Semua permukiman tersebut ilegal menurut hukum internasional, dan akan tetap menjadi hambatan utama bagi perdamaian, serta harus segera dihentikan,” sebut Tor Wencesland.

(T.FJ/S: Palinfo)

leave a reply
Posting terakhir