Kelaparan Membunuh Gaza Ketika Ribuan Truk Bantuan Menumpuk di Seberang Rafah

“Bahkan pakan ternak yang kami gunakan (untuk makan) sekarang tidak ada lagi. Tumbuhan liar pun telah habis,” kata Marwan Awadieh.

BY 4adminEdited Mon,26 Feb 2024,12:22 PM

Gaza, SPNA - Momok kelaparan membayangi berbagai wilayah di Jalur Gaza, di mana sekitar 2,2 juta orang menderita kekurangan makanan, obat-obatan, dan bahkan tempat berlindung, sementara Al-Jazeera memantau banyaknya penumpukan truk bantuan di sisi lain penyeberangan Rafah.

Di Jalur Gaza bagian utara, kekurangan makanan yang parah semakin meningkat di wilayah-wilayah yang dikepung oleh pasukan Israel.

Para pengungsi berkerumun dalam antrean panjang untuk mendapatkan apa yang bisa mereka gunakan untuk bertahan hidup, meskipun kekurangan sumber daya dan kekurangan bahan makanan pokok, yang mengancam kelaparan.

Truk Menumpuk

Foto drone penyeberangan Rafah pada 22 Februari yang diperoleh Al-Jazeera menunjukkan ratusan truk menumpuk di penyeberangan Rafah, sementara sekitar dua juta hingga 200 ribu orang menderita ancaman kelaparan parah.

Berdasarkan laporan PBB, situasi kemanusiaan terus memburuk di Jalur Gaza, di mana sebagian besar penduduknya kini terancam oleh kelaparan massal. Pada 16 Februari, Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA) mengumumkan bahwa antara 1 Januari dan 12 Februari, Israel menolak akses ke 51 persen misi di bidang kemanusiaan untuk memberikan bantuan dan melaksanakan misi kemanusiaan ke wilayah utara Jalur Gaza.

Masuknya bantuan ke Gaza harus mendapat persetujuan Israel. Bantuan kemanusiaan yang sangat terbatas mencapai Jalur Gaza melalui penyeberangan Rafah dengan Mesir. Bantuan yang terbatas ini pun mengalami kendalam pengangkutan ke utara Jalur Gaza, yang penuh dengan risiko penghancuran dan target serangan.

Di Jabalia, sebelah utara Jalur Gaza, video menunjukkan puluhan orang berebut untuk mendapatkan makanan dengan membawa peralatan kosong. Di tengah kerumunan pengungsi tersebut, seorang pria yang tampaknya bertanggung jawab membagikan sup berteriak, “Ini sudah habis”, sebagai seruan untuk menghentikan kerumunan orang yang ingin mendapatkan makanan karena kelaparan.

“Biarkan seluruh dunia melihat di mana kami berada dan apa yang terjadi pada kami,” kata alah satu dari para pengungsi tersebut.

Dalam foto lainnya, puluhan pengunjuk rasa berkumpul memprotes kurangnya makanan, termasuk anak-anak, sambil membawa slogan-slogan yang berbunyi: “Anak-anak kami sekarat karena kelaparan,” “Bawa bantuan ke utara Gaza”, dan lain-lain.

Banyak penduduk Palestina di utara Jalur Gaza yang mengungsi ke tengah Jalur Gaza, dan di antara mereka adalah Samir Abd Rabbo, yang tiba dari Jabalia ke Nuseirat pada Minggu pagi, mengungsi karena kelaparan. Ia mengungsi bersama istri dan anak-anaknya yang masih kecil.

“Saya berjalan kaki dari utara Jalur Gaza. Saya tidak bisa menggambarkan parahnya kelaparan di sana. Saya mempunyai seorang gadis kecil berumur satu setengah tahun, tidak ada susu. Saya mencoba memberinya makan roti yang saya buat dari sisa pakan ternak dan jagung, tapi dia tidak bisa mencernanya. Tidak ada yang menolong. Harapan kami hanya kepada Tuhan kami,” kata Samir Abd Rabbo.

Lebih dari empat bulan setelah perang, keluarga-keluarga yang putus asa di utara Gaza terpaksa mencari makanan karena perang. Ratusan penduduk Palestina menuju ke selatan dengan cara apa pun yang mereka bisa, berjalan menyusuri jalan-jalan yang dipenuhi sampah di antara bangunan-bangunan yang dibom.

Seorang pengungsi di Jabalia, utara Jalur Gaza, Marwan Awadieh, mengatakan bahwa kawasan utara Jalur Gaza benar-benar tidak bisa dihuni dan makanan sangat langka.

“Bahkan pakan ternak yang kami gunakan (untuk makan) sekarang tidak ada lagi. Tumbuhan liar pun telah habis,” kata Marwan Awadieh.

Relawan Bulan Sabit Merah, Ezzedin Halaweh, mengatakan kekurangan makanan di wilayah utara Jalur Gaza menyebabkan masalah kesehatan yang parah, khususnya bagi anak-anak.

Peringatan Internasional

Save the Children telah memperingatkan bahwa risiko kelaparan diperkirakan akan meningkat selama pemerintah Israel terus menghalangi masuknya bantuan ke Jalur Gaza.

Adriana Zega, petugas media dan komunikasi di Oxfam, mengatakan bahwa jumlah harian truk bantuan yang memasuki Jalur Gaza tidak mencukupi.

“Kami sedang menunggu 3.000 kotak pasokan kesehatan untuk dibawa ke Gaza,” kata Adriana Zega kepada Al-Jazeera.

Sementara itu, penasihat media Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan bahwa Israel berusaha untuk meleyapkan UNRWA dengan tujuan memperparah masalah pengungsi Palestina.

Penasihat UNRWA tersebut menyebutkan bahwa tim UNRWA mencoba membawa truk bantuan kemanusiaan ke utara Jalur Gaza beberapa kali, akan tetapi Israel mencegah mereka melakukannya.

Dua hari lalu, PBB memperingatkan bahwa pembatasan yang dilakukan Israel pada sektor layanan dasar dan bantuan kemanusiaan di Jalur Gaza menyebabkan meningkatnya kekhawatiran akan penyebaran kelaparan, kehausan, dan penyakit.

Blokade yang dilakukan di Jalur Gaza mungkin berarti hukuman kolektif, ditambah penggunaan kelaparan sebagai alat perang, yang merupakan sebagai kejahatan perang. PBB menyebut bahwa 100 hari pertama perang di Gaza adalah hari yang paling berdarah di abad ke-21.

Sejak 7 Oktober 2023, Israel yang telah diadili di hadapan pengadilan internasional atas tuduhan melakukan genosida terhadap warga Palestina, masih terus melancarkan perang dahsyat di Gaza yang hingga hari Minggu (25/02), telah membunuh 29.692 dan melukai 69.879 orang, di mana sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan. Ribuan penduduk Palestina di Jalur Gaza masih hilang di bawah reruntuhan bangunan yang dibom Israel.

Sementara itu, berdasarkan laporan pihak berwenang Jalur Gaza dan organisasi internasional, lebih dari 85 persen atau sekitar 1,9 juta penduduk Palestina di Jalur Gaza terpaksa harus mengungsi setelah kehilangan tempat tinggal dan penghidupan akibat pemboman Israel.

(T.FJ/S: Palinfo, Aljazeera)

leave a reply
Posting terakhir