Sepenggal kisah mahasiswa asing di Gaza...

BY Mahmoud Abu ShariaEdited Tue,24 Jan 2017,08:29 AM

Sepenggal kisah mahasiswa asing di Jalur Gaza; masih ada kehidupan yang berhak untuk terus diperjuangkan di tanah Palestina

 

Kisah Ruqiah Dumir, mahasiswi asal Turki

Dari daratan Mesopotamia  yang terkenal dengan kesuburan tanahnya, air yang melimpah dari bentangan dua sungai besar Eufrat dan Tigris yang mengapitnya, seorang wanita asal Turki bernama  Ruqia Hussen Dumir memberanikan diri datang ke Jalur Gaza untuk melanjutkan studi S2-nya.

Ruqia datang ke Jalur Gaza yang dikenal sebagai “Penjara terbesar” di dunia, di mana rakyatnya hidup dalam blokade total Israel sejak lebih dari 10 tahun lalu.

Tidak biasanya, dan sulit diterima secara logis, Ruqia (26) yang notabene seorang wanita kini berada di Universitas Islamiyah Jalur Gaza demi melanjutkan kuliah pasca sarjana jurusan Psikologi Sosial, sementara di sisi lain terdapat banyak pemuda Palestina yang terus mencari celah agar bisa keluar dari wilayah Gaza untuk study dan mencari kerja di luar negeri.

Ruqia  berada di Jalur Gaza sejak lima bulan lalu. Kedatangannya di wilayah yang masih dibawah kontrol penuh  Israel ini, menimbulkan rasa heran dari penduduk setempat, meski yang lain menilai itu sesuatu yang wajar jika melihat Jalur Gaza dari prespektif yang lain.

Ruqia sebelumnya menyelesaikan jenjang S1 di Malaysia. Saat berada di sana, pikirannya sering terusik dengan sejumlah rencana yang menurut orang lain sulit untuk diwujudkan. Antara lain, niatnya  untuk melanjutkan studi di Jalur Gaza Palestina  yang dalam pandangan mayoritas orang, sebagai negara yang rawan dan penuh resiko besar.

“Ini adalah cita-cita saya sejak dulu yang terpatri di jiwa, saya terus terobsesi untuk mewujudkannya, dan saya percaya mimpi ini tidak bisa tercapai jika hanya terus berkhayal saja,” kata Ruqia.

Dengan bahasa Arab yang masih sederhana, Ruqia lanjut bercerita, “Setelah proses administrasi berbulan-bulan, maka datanglah kabar yang saya tunggu-tunggu.”

Yang menelepon dirinya berkata, “Ruqia, selamat surat izin  untuk memasuki Jalur Gaza untukmu telah keluar.”

Saat itu saya menyambutnya dengan penuh girang. “Rasanya dunia ini terlalu sempit untuk meluapkan kegimbiraanku,”ungkap Ruqia.

Awal berada di Jalur Gaza, Ruqia tinggal dan menempati  camp Jabalia yang merupakan kawasan paling padat dan termiskin di dunia. Namun saat ini, ia telah pindah dan tinggal di tengah kota Gaza yang cukup baik dari aspek infrastruktur.

Ruqia berpendapat, meski kehidupan serba sulit seperti  ketiadaan  listrik, tidak berarti kehidupan menjadi mustahil, atau bahkan tidak lagi indah.

“Di luar tanah Palestina ini, orang hidup dan fokus  mementingkan materi, sedangkan yang membuatku takjud di tempat ini, warganya cukup ramah terhadap pendatang,”lanjut Ruqia.

Selain fokus studi, saat ini Ruqia melakukan aktivitas jurnalistik dengan mengadakan wawancara dengan masyaratkan setempat, berbaur, serta berusaha untuk lebih mengenal kondisi di sekitarnya.

Ruqia juga kerap menuju pantai dan berenang di pesisir Gaza. Meski dirinya cukup pandai berenang, namun ia akui ombak Gaza terlalu keras sekuat jiwa para penduduknya yang terus bertahan menghadapi sulitnya kehidupan dibawah blokade Israel.

Abdillah Onim, mahasiswa asal Indonesia yang mempersunting gadis Palestina

Ruqia bukanlah satu-satunya mahasiswa asing yang belajar di Jalur Gaza. Adalah Abdillah Onim, pemuda asal Indonesia ini juga memiliki keberanian untuk tinggal dan hidup di Jalur Gaza.

Pada awalnya Bang Onim –sapaan akrab Abdilah Onim- masuk ke Jalur Gaza bersama rombongan relawan kemanusiaan beberapa hari setelah agresi militer Israel  yang membombardir Gaza tahun 2008.

Bang Onim (34) kemudian datang lagi pada tahun 2010 bersama misi kemanusiaan di atas kapal Mavi Marmara yang berencana menembus blokade Jalur Gaza melalui jalur laut, tidak berhasil melajutkan misi karena kapal mereka dibajak oleh militer Israel dan para aktivis dijebloskan ke dalam penjara Israel.

Sebelumnya, Bang Onim magang di salah satu bank ternama di Indonesia setelah menempuh pendidikan ekonomi dan perbankan Syariah di Universitas Prof. DR. Hamka tahun 2007.

Awalnya rencana Bang Onim untuk kembali ke Jalur Gaza mendapat penentangan dari pihak keluarga. Mereka megatakan, “Bagaimana mungkin dirimu ingin menuju kawasan rawan perang, apakah kamu mencari mati?”

Namun demikian, Bang Onim tetap bersikukuh untuk kembali ke Gaza.

“Ketika saya kembali lagi menemui mereka pada beberapa kesempatan, saya mencoba meyakinkan kondisi ril di Palesitina dan situasi kehidupan warga yang sebenarnya,”jelas Bang Onim

Kini Bang Onim mendalami ilmu bahasa Arab di Fakultas Sastra Univerisitas Islam di Jalur Gaza. Meski di awal tahun akademik, sempat merasakan kesulitan belajar namun berhasil dilaluinya, begitu besar kecintaannya terhadap bahasa Arab terus memacunya untuk menyelesaikan studi nantinya di kampus tersebut, semester pertama berhasil bang Onim lalui dan menyabet nilai ujian sangat memuaskan/lulus, kini melanjutkan semester dua.

“Saya berharap kelak bisa lancar berbahasa Arab seperti bangsa Arab, karena bahasa Arab adalah bahasa umat Islam dan Al-Qur’an,”paparnya

Saat ini Bang Onim diamanahi untuk mengelola Darul Qur’an Indonesia Cabang Gaza. Ia juga menjadi sukarelawan dalam pembangunan dan pengawasan rumah sakit Indonesia di Jalur Gaza hingga tahun 2012.

Bang Onim menilai,  bahwa dapat membantu sesama memiliki rasa tersendiri dan kepuasaan tersendiri, muncul kebahagian batin ketika kita dapat membantu sesama saudara, terutama saat melihat senyuman kebahagian berbagi dengan mereka.

Bang Onim yang menikah dengan wanita asal Gaza 2011 kini telah dikarunia dua orang anak; seorang putri bernama Filind alias filistin Indonesia (4,7th) dan seorang putra bernama Nusantara (2 th). Keduanya adalah warga Negara Indonesia. Saat ini, Bang Onim sedang merintis Kantor Berita Suara Palestina (SPNA) yang dengan intensif mengabarkan berita-berita terbaru seputar Palestina termasuk kabar masjid al-Aqsa dalam bahasa Indonesia, dengan mempekerjakan tak kurang dari 20 orang pemuda Palestina. Sejak 2015 hingga awal 2017 tak kurang dari 112,000 orang telah menjadi follower fanpage beliau.

Terkait dengan situasi di Jalur Gaza, Bang Onim mengatakan dan berdialog dengan batinnya, “Kehidupan seperti apa ini? Dirimu meninggalkan negara yang punya segalanya, lalu engkau memilih tinggal di “kawasan perang” atau di wilayah yang cukup menantang.”

“Situasi cukup sulit. Semua pintu perbatasan ditutup, demikian pula arus masuk bantuan kemanusiaan dalam kontrol dan pengawasan ketat Israel. Semua ini saya hadapi dengan sabar.”

“Semakin lama, saya makin terbiasa dan dapat memahami serta menyesuaikan diri dengan situasi yang ada. Ini semua anugerah dari Allah yang menumbuhkan dalam jiwaku akan kecintaan terhadap Palestina dan masjid al-Aqsa.”

Data Mahasiswa Asing di Jalur Gaza

Menurut data Kementrian Pendidikan Tinggi Palestina, saat ini terdapat lima orang mahasiswa asing di Jalur Gaza. Semuanya terdaftar belajar di Universitas Islam Gaza. Tiga orang berasal dari Indonesia, satu orang dari Malaysia, dan satu orang lagi dari Turky.

Menurut salah satu peneliti pendidiakn di Jalur Gaza ‘Atha Darwish, bahwa kesungguhan para mahasiswa asing ini memiliki makna tersendiri dan cukup besar bagi kehidupan kampus Universitas Islam Gaza.

“Meski kampus ini tidak luput dari serangan udara Israel, tapi keberadaan mereka ini setara dengan 1.000 mortir yang menunjukan kekuatan ilmu itu sendiri. Fisik bangunan boleh rusak, tapi pancaran ilmu yang kuat  akan terus ada,”jelas Darwish.

 

Penulis    : Ibrahim Muqbil (Jurnalis Palestina di Jalur Gaza)

Penerjemah: Ihsan Zainuddin (Traslator @ SPNA- Jalur Gaza)

leave a reply